1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Makin Banyak Warga Turki Jadi Ateis

Tunca Ögreten
10 Januari 2019

Sebuah survei baru menunjukkan, jumlah warga Turki yang jadi ateis meningkat tiga kali lipat dalam 10 tahun terakhir. Banyak pengamat Turki berpendapat, Presiden Recep Tayyip Erdogan salah satu alasannya.

Türkei Präsident Recep Tayyip Erdogan in Ankara
Foto: picture-alliance/Anadolu Agency/V. Furuncu

Menurut survei terbaru yang dilaksanakan lembaga jajak pendapat Konda, makin banyak warga Turki yang sekarang menyatakan mereka berpaling ke ateisme. Selama sepuluh tahun terakhir, jumlahnya naik tiga kali lipat. Sementara warga Turki yang menyatakan menganut agama Islam dan benar-benar menjalankannya turun dari 55 menjadi 51 persen.

"Memang terjadi koersi agama di Turki," kata Ahmet Balyemez yang berusia 36 tahun. Dia mengaku sudah lebih 10 tahun menjadi ateis. Berbeda dengan ateisme di Indonesia, di Turki orang bebas-bebas saja mengaku menjadi ateis.

"Banyak orang yang bertanya pada dirinya: Inikah wajah Islam yang sebenarnya?" kata Ahmet Balyemez yang bekerja sebagai spesialis komputer. "Karena kalau mengamati perilaku para tokoh politik Islam, kelihatan bahwa mereka sekarang mencoba meniru praktik Islam pada masa-masa awal kelahirannya. Jadi, yang kita saksikan saat ini adalah Islam primordial."

Ahmet Balyenez, lebih 10 tahun menjadi ateis di TurkiFoto: Tunca Ögreten

Balyemez mengatakan, dia dibesarkan dalam keluarga yang sangat religius. "Puasa dan salat adalah hal terpenting bagi saya waktu itu." Tapi suatu saat, dia memutuskan untuk menjadi seorang ateis.

Ritual atau etika?

Direktorat Urusan Agama di Turki, Diyanet, tahun 2019 mendeklarasikan bahwa 99 persen warga Turki mengidentifikasi dirinya sebagai penganut Islam. Namun survei yang dilakukan Konda menunjukkan perkembangan yang sangat lain. Hanya 51 persen warga Turki yang menyatakan mereka beragama Islam dan memang menjalankannya. Hasil survei Konda langsung menyulut debat kontroversial.

Tapi Ahli Teologi Cemil Kilic berpendapat, kedua angka itu sama-sama betul. Memang secara formal, 99 persen warga Turki mungkin merasa mereka beragama Islam. Tapi banyak dari mereka yang hanya memahami Islam dalam konteks kultural dan sosiologis, bukan dalam konteks keagamaan, katanya.

Cemil Kilic menambahkan, menjadi penganut agama Islam bukan sekadar memakai busana Islam dan melakukan ritual-ritual tertentu saja. "Menilai apakah seseorang religius atau tidak harus berdasar pada pengamatan, apakah orang itu memang menganut nilai-nilai etis dan kemanusiaan (dari suatu agama)." Kalau melihat dari praktiknya, "tidak sampai 60 persen warga Turki yang bisa dibilang menjalankan agama Islam," tandas Kilic.

Erdogan membawa agama ke ranah politik

Di Turki, lanjut Kilic, agama sekarang menjadi erat dengan kepentingan dan praktik politik. "Acara salat besar-besaran sering jadi ajang untuk menunjukkan loyalitas kepada kepemimpinan politik. Dan khotbah di masjid-masjid jadi lebih mencerminkan pandangan politik penguasa."

Ahli Teologi Cemil KilicFoto: DW/T. Ögreten

Kilic menjelaskan, meningkatnya warga Turki yang mengaku ateis tidak berarti hilangnya nilai-nilai moral dan etika. "Sebagian ateis malah punya nilai-nilai etika dan moral yang jauh lebih kuat ketimbang banyak warga yang mengaku Muslim," kata dia.

Menurut Cemil Kilic, perkembangan ini tidak lepas dari hampir 16 tahun pemerintahan Recep Tayyip Erdogan. Karena sejak dia menjadi Perdana Menteri tahun 2014 dan kemudian sekarang menjadi presiden, menyebar kebiasaan bahwa para pejabat pemerintahan menggunakan agama untuk melegitimasi kebijakan politik mereka. Kecenderungan ini malah membuat makin banyak orang jadi skeptis terhadap Islam.

Laman Facebook organisasi ateis Turki "Ateizm Dernegi"Foto: Facebook/Ateizm Derneği

Pemaksaan interpretasi tertentu bangkitkan skeptisisme

"Makin banyak orang yang menolak interpretasi Islam yang dipaksakan oleh instansi dan organisasi kenegaraan, termasuk kelompok-kelompok agama yang dekat ke pemerintahan," kata Kilic. Banyak yang tidak senang agama dipaksakan menjadi satu bentuk resmi yang dilegitimasi pemerintah. "Itu sebabnya, jumlah warga yang menjadi ateis makin banyak," jelasnya.

Selin Ozkohen, perempuan yang menjadi Ketua Organisasi Ateis Turki "Ateizm Dernegi", mengatakan, upaya Erdogan menjadikan Turki negara yang makin religius malah berdampak sebaliknya.

"Organisasi agama malah mendiskreditkan dirinya sendiri," katanya dan melanjutkan: "Pemerintahan dan kebijakan politik seharusnya tidak didominasi satu sekte agama, karena ini hanya akan membuat makin banyak orang mempertanyakan agama itu dan lebih senang menjadi ateis yang humanis."

Selin Ozkohen menuturkan: "Sekarang, makin banyak orang yang secara terbuka mengaku mereka adalah ateis." Sekalipun masih ada tekanan dari masjid dan pemerintah. "Tahun 2019 misalnya, anak-anak sekolah masih tetap diwajibkan belajar agama (Islam)," katanya.

(Ed:hp/ts)