1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Makna Lebaran di Tengah Dera Pandemi Hingga Inflasi

2 Mei 2022

Banyak peristiwa penting global mengiringi Lebaran tahun ini, mulai dari pandemi COVID 19 hingga inflasi. Bagaimana menyikapinya? Cendikiawan muslim asal Indonesia yang bermukim di Jerman berbagi pemikiran.

Suasana salat Ied di Jakarta pada tahun 2021
Suasana salat Ied di Jakarta pada tahun 2021Foto: Willy Kurniawan/REUTERS

Hamzah Fansuri, cendekiawan muslim yang tengah menjalani program doktoral bidang antropologi di Universitas Heidelberg, Jerman ini, berbagi pandangannya tentang bagaimana menyikapi situasi dunia yang tengah dirundung berbagai persoalan saat ini, mulai dari pandemi COVID 19, serangan Rusia ke Ukraina hingga inflasi.

Menurutnya pandemi ini hanya akan mungkin bisa teratasi dengan baik, salah satunya misalnya yaitu mengatasi ketimpangan vaksinasi antara negara kaya dan miskin. Sehingga kebutuhan untuk kerjasama global sangat diperlukan."Dalam konteks ini, saya melihat bahwa Presidensi G20, yang Indonesia di situ memainkan peran penting, itu punya kesempatan strategis untuk memperkuat kerja sama global tersebut, begitu."

Hamzah Fansuri, cendekiawan muslim yang tengah menjalani program doktoral bidang antropologi di Universitas HeidelbergFoto: privat

Perang harus ditentang

Masalah lain yang juga sedang dihadapi bersama yaitu invasi Rusia ke Ukraina.  Keadaan ini menurut Hamzah punya dampak turunannya, yaitu di antaranya adalah inflasi dan kenaikan harga-harga barang. Ia menekankan sekali lagi bahwa dalam bentuk dan maksud apapun, perang harus ditentang bersama-sama. "Kita tidak perlu lagi membutuhkan pemahaman apapun untuk bagaimana kita harus berdiri di atas nilai-nilai kemanusiaan. Perang itu sudah mencederai nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri dan tentunya juga perdamaian global," tuturnya.

Sementara inflasi dan kenaikan harga barang itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di daratan Eropa dan Jerman khususnya. Hamzah mengatakan: "Inflasi dan kenaikan harga saya alami sendiri, bagian dari yang mesti dilihat secara bersama-sama, melihat dampak dari perang di Ukraina tersebut,” tandasnya.

Hoaks di mana-mana, kembali berdialog kuncinya

Banyak berita palsu maupun hoaks di media sosial yang menurutnya harus dicermati. Ia mengamati bagaimana orang sekarang, khususnya di Indonesia itu terdorong atau tergiring untuk ikut serta di dalam ruang-ruang digital semacam itu. Nampak baginya, masyarakat itu terbelah, terjebak dengan ‘hoaks'. Ia membagi pengalamannya di Jerman. Menurutnya masyarakat di Jerman tidak begitu bergantung dengan media sosial.

Ia mengusulkan agar generasi muda khususnya pelajar dan milenial, mengimbangi aktivitas mereka di media sosial itu dengan aktivitas-aktivitas yang sifatnya di luar lingkup-lingkup digital, misalnya membudayakan kembali membaca buku, berdiskusi, bertemu langsung dengan teman, berbincang, bercengkrama dan lain sebagainya. "Bagi saya, itu akan dengan sendirinya bisa menyaring kecanduan terhadap media sosial. Menanamkan budaya membaca kepada anak-anak kita itu, menjadi salah satu media atau cara untuk mengimbangi itu tadi," tambahnya.

Membangun toleransi

Di hari raya Idulfitri ini Hamzah mengingatkan pentingnya kembali menguatkan toleransi. Yang ia maksud toleransi di sini lebih pada bagaimana  masyarakat pada bisa menerima perbedaan, kemudian menyikapi perbedaan itu dengan lapang dada, menerima kritik dan segala macam konsekuensi dari perbedaan itu.

Menurutnya, Jerman mungkin bisa menjadi tolak ukur toleransi,”Meskipun tidak bisa dimungkiri juga, sejumlah diskriminasi itu masih bisa dijumpai di beberapa kasus. Walaupun itu tidak banyak. Misalnya, berhadapan dengan perbedaan agama, perbedaan orientasi seksual atau etnis, misalnya. Tapi itu jumlahnya tidak begitu banyak."

Satu hal yang menurut Hamzah penting adalah bagaimana di Jerman setiap orang berada dalam posisi yang setara. "Soal kesetaraan itu, saya melihat bahwa di sini apapun profesi kita, apapun pekerjaan yang sedang kita geluti, itu akan diposisikan sama. Tidak ada sesuatu yang lebih tinggi, lebih istimewa ketimbang yang lain, begitu. Jadi, pekerjaan apapun tidak dipandang: Ini lebih baik, atau yang satu lebih rendah," tandasnya.

Sementara dalam hal kebebasan beragama menurutnya di Jerman, umat beriman masih bisa mengekspresikan keyakinan dalam beragama, "Misalnya saya atau beberapa komunitas muslim itu masih bisa dengan leluasa menjalankan puasa atau mengadakan pengajian di sebuah komunitas, tanpa ada konflik atau ada gesekan dengan masyarakat lokal," Menurut Hamzah, di Jerman yang terkenal kosmopolitan, ia merasa punya ruang kebebasan yang sama, baik itu dari kalangan muslim atau agama lain, atau etnis lain.

Di momen Idulfitri ini Hamzah juga mengingatkan masyarakat untuk secara reflektif memulai kehidupan baru, melihat bahwa setiap perbedaan itu adalah berkah, "bahwa perbedaan Itu adalah sebuah keniscayaan, karena kita hidup di negara yang majemuk seperti Indonesia. Jadi perbedaan-perbedaan yang kita jumpai di Indonesia itu, mesti bisa kita sikapi dengan pikiran terbuka," ujar Hamzah.

Sementara itu, trend forecaster  Isti Dhaniswari yang bermukim di Jerman menambahkan, Lebaran atau Idulfitri itu tidak hanya mengenai pencapaian pribadi untuk "kembali suci” setelah berpuasa dan melakukan serangkaian ibadah Ramadan. Melainkan juga kesadaran untuk menjadi manusia yang lebih baik, dengan bermaafan yang berarti merendahkan hati untuk memohon maaf atas apapun kesalahan yang pernah kita perbuat kepada siapapun. "Kerendahan hati ini yang wajib kita pelihara untuk menjaga  hubungan antar manusia yang wajib hukumnya dalam Islam, tanpa tanpa melihat suku, agama, ras dan kebangsaan," pungkas perempuan yang dikenal sebagai desainer industrial ini.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait