Apa makna penting dalam penyelenggaraan konferensi tingkat tinggi perubahan iklim COP 23 yang berlangsung tahun ini di Bonn, Jerman? Berikut opini Kuki Soejachmoen.
Iklan
COP (Conference of the Parties to the UNFCCC) merupakan otoritas tertinggi dalam upaya global penanganan dan pengendalian perubahan iklim di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). COP telah diselenggarakan sejak tahun 1995 di Berlin setelah UNFCCC berkekuatan hukum pada tahun 1994.
Sejak tahun 2005, COP diselenggarakan bersamaan dengan CMP (Conference of the Parties serving as Meeting of the Parties to the Kyoto Protocol) dan sejak tahun 2016 lalu dilaksanakan bersamaan pula dengan CMA (Conference of the Parties serving as Meeting of the Parties to the Paris Agreement).
Sebagaimana diketahui, UNFCCC merupakan payung internasional yang diterjemahkan implementasinya melalui Protokol Kyoto (yang diadopsi pada 1997 dan berkekuatan hukum pada 2005) serta Persetujuan Paris (yang diadopsi pada 2015 dan berkekuatan hukum pada 2016). Tahun ini, COP23 yang juga merupakan CMP13 dan CMA1.2 dilaksanakan di Bonn dengan Fiji sebagai Presiden COP23.
Dengan telah berkekuatan hukumnya Persetujuan Paris, sebagaimana yang tercermin dalam agenda, sebagian besar tema pembahasan akan terfokus pada bagaimana Persetujuan Paris dapat diimplementasikan, yaitu dengan memastikan disepakati dan diadopsinya aturan main, modalitas serta berbagai guidance yang diperlukan.
Bagaimana komitmen masing-masing negara?
Pembahasan mengenai bagaimana komitmen masing-masing negara yang dikenal sebagai nationally determined contribution (NDC) akan menjadi salah satu tema terpenting. Pembahasan ini akan mencakup berbagai elemen, termasuk bagaimana NDC masing-masing negara akan diterjemahkan dalam aksi serta bagaimana penghitungan dapat dilakukan secara transparan dan kredibel, termasuk apa saja modalitas aksi yang dapat masuk sebagai aksi di bawah NDC yang dapat dipertanggungjawabkan.
Selain itu, pembahasan mengenai periode implementasi NDC juga menjadi agenda penting sehingga penghitungan secara global dapat dilakukan dengan baik dan bertanggung jawab.
Mengingat perbedaan mendasar antara Persetujuan Paris dan Protokol Kyoto dalam hal nature-nya, komitmen dan kewajiban Para Pihak pada Protokol Kyoto ditentukan secara top-down, sementara bagi Para Pihak pada Persetujuan Paris, komitmen ini ditetapkan sendiri oleh masing-masing yang berarti bottom-up.
Untuk itu, Para Pihak menyepakati diperlukannya aturan main yang jelas terkait dengan pelaporan dan transparansi dari implementasi aksi dalam pemenuhan komitmen tersebut. Pertemuan di Bonn kali ini diharapkan dapat memperoleh perkembangan yang signifikan terkait dengan Transparency Framework (TF) yang akan digunakan oleh seluruh Para Pihak dalam pelaporan pelaksanaan aksi sebagai bentuk tanggung jawab atas komitmen yang telah disampaikan.
Pendanaan iklim, pengembangan dan alih teknologi serta capacity building
Para Pihak tidaklah sama, maka disepakati pula adanya capacity building untuk memastikan semua negara pada waktunya dapat menerapkan TF sebagaimana yang disepakati. Dalam hal pelaporan dan transparansi ini, yang akan dilaporkan dan dipertanggungjawabkan bukan hanya terkait dengan aksi iklim secara langsung tetapi juga terkait dengan dukungan bagi implementasi yang dikenal sebagai means of implementation (MoI), yaitu pendanaan iklim, pengembangan dan alih teknologi serta capacity building.
Satu hal mendasar di bawah Persetujuan Paris yang dengan jelas menekankan peran dan kewajiban negara maju sebagai Para Pihaknya adalah terkait dengan penyediaan dana iklim (climate finance).
Dalam Pasal 9 Persetujuan Paris secara jelas dinyatakan bahwa negara majulah yang memiliki kewajiban untuk melakukan mobilisasi dan menyediakan dana untuk membantu negara berkembang dalam pelaksanaan aksi iklimnya, meskipun dalam pasal ini juga dibuka kemungkinan bagi negara berkembang maupun organisasi lain untuk turut menyediakannya.
Dana yang dimaksud tidak hanya terbatas pada dana untuk mendukung aksi mitigasi, yaitu aksi untuk menekan dan menurunkan emisi gas rumah kaca, melainkan juga untuk mendukung aksi adaptasi terhadap dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim serta dukungan untuk proses pengembangan dan alih teknologi serta peningkatan kapasitas (capacity building) di negara berkembang. Untuk itu, dalam perundingan di Bonn akan dibahas pula bagaimana berbagai mekanisme pendanaan iklim yang selama ini berjalan dapat melanjutkan perannya pada saat implementasi Persetujuan Paris nanti. Hal ini, tidak dapat pula dilepaskan dari upaya untuk mendapatkan kepastian dan komitmen negara maju dalam mobilisasi dan penyediaan dana yang telah dijanjikan.
Pembangunan Situs Konferensi Iklim COP23 di Bonn
Kota Bonn, Jerman persiapkan diri untuk penyelenggaraan konferensi iklim global COP23, 6- 17 November 2017. Situs konferensi ini di tepi sungai Rhein dengan konsep ramah lingkungan.
Foto: DW/S.Diehn
Bonn mempersiapkan diri
Bonn menjadi lokasi konferensi iklim dunia COP23 dari tanggal 6 sampai 17 November 2017. Sejak beberapa bulan, bekas ibukota Jerman itu mempersiapkan diri. Area utama konferensi adalah kota tenda di tepi sungai Rhein.
Foto: DW/S. Diehn
Selamat datang di COP23!
Welcome! Willkommen! Bula! Bahasa Inggris, bahasa Jerman dan bahasa Fiji. Mengapa ada "Bula" yang bahasa Fiji? Karena pada COP23, negara tuan rumah secara resmi adalah Kepulauan Fiji. "Bula" berarti "selamat datang" atau "pertemanan".
Foto: DW/I. B. Ruiz
Ketika dunia berkumpul dan berunding
Aula besar di dekat Sungai Rhein ini akan menerima delegasi dari seluruh dunia. Ada sekitar 40 paviliun yang dibangun sebagai ruang rapat, di mana delegasi dari 196 negara membahas berbagai masalah perlindungan iklim.
Foto: DW/H. Weise
Paviliun Jerman dengan konsep berkelanjutan
Paviliun Jerman antara lain akan diterangi dan didekorasi lampu LED berukuran 3 meter. Akan ada semacam amfiteater kecil, pameran virtual Kementerian Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan Jerman (BMZ) dan Kementerian Lingkungan Hidup Jerman (BMUB).
Foto: DW/H. Weise
India jadi sorotan
Paviliun lain yang cukup besar adalah paviliun India, yang mungkin bakal jadi sorotan utama dalam konferensi ini. Semua ingin tau bagaimana posisi India dalam isu perubahan iklim. Puluhan pekerja menyiapkannya paviliun agar rampung sebelum tanggal 6 November 2017.
Foto: DW/H. Weise
Zona pekerja media
Dalam setiap konferensi internasiomal, tidak hanya delegasi pemerintahan dan tim ahli yang bekerja keras, melainkan juga para jurnalis yang siap menurunkan berita siang dan malam. Selain di aula Media Center, di dalam tenda juga disiapkan ruang kerja untuk para jurnalis dengan fasilitas memadai.
Foto: DW/H. Weise
Jangan khawatir, ada cukup kopi!
Di sela-sela kerja, perlu juga tempat untuk minum kopi. Panitia penyelenggara menyediakan kopi khusus dari Kosta Rika. Tentu tersedia juga teh dan minuman dingin.
Foto: DW/H. Weise
Makan siang
Ada kantin yang cukup luas dengan dua lantai dalam sebuah tenda besar dengan kapasitas 1500 orang. Sebagian besar pilihan menu terdiri dari bahan organik dan produk lokal. Selalu akan ada pilihan untuk vegetarian. Harga menu berkisar antara 10 sampai 12 Euro.
Foto: DW/H. Weise
Peran penting NGO
Organisasi non-pemerintah, NGO, akan memainkan peran penting dalam konferensi iklim. Mereka berbicara mewakili masyarakat sipil dan bekerja untuk meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat. Ada sekitar 500 LSM yang akan menampilkan kegiatan mereka dalam tempat khusus di di area pameran ini.
Foto: DW/H. Weise
Bonn sudah siap..!
Foto terakhir ini dibuat sekitar satu minggu sebelum konferensi dimulai. ini diambil hampir seminggu sebelum konferensi dimulai. Sekarang, kota Bonn sudah siap menerima tamu-tamu dari berbagai penjuru dunia.
Foto: DW/S.Diehn
10 foto1 | 10
Indonesia wajib kedepankan kepentingan nasional
Selain isu-isu tersebut, beberapa isu lain juga akan dibahas dan dirundingkan dalam pertemuan di Bonn. Pencapaian target global dalam menghadapi perubahan iklim tidak hanya dilaksanakan melalui Persetujuan Paris, melainkan telah dilaksanakan melalui Protokol Kyoto. Karena itu, pertemuan di Bonn juga akan membahas dan merundingkan berbagai elemen di bawah Protokol Kyoto. Selama minggu pertama hingga pertengahan minggu kedua dari pertemuan di Bonn, pembahasan dan perundingan akan dilaksanakan di bawah badan-badan subsider, yaitu: Subsidiary Body for Scientific and Technological Advices (SBSTA), Subsidiary Body for Implementation (SBI) dan the Adhoc Working Group on the Paris Agreement (APA).
Rangkaian pembahasan dan perundingan di berbagai badan ini sudah tentu akan memerlukan perhatian dan tenaga serta konsentrasi para juru runding. Karenanya, sudah selayaknya Indonesia sebagai salah satu Pihak pada UNFCCC yang juga telah menjadi Pihak pada Protokol Kyoto dan Pihak pada Persetujuan Paris dapat mengikuti seluruh proses ini dengan mengedepankan kepentingan nasional dan pada saat bersamaan juga mendukung upaya global dalam mengatasi perubahan iklim dan dampaknya.
Penulis: Kuki Soejachmoen, pengamat masalah perubahan iklim.
@KukiMHS
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Kiamat Iklim Kian Dekat
Ilmuwan memperingatkan umat manusia hanya punya waktu tiga tahun untuk menyelamatkan Bumi dari dampak terburuk perubahan iklim. PBB mengusulkan enam butir rencana untuk menanggulanginya.
Berlomba dengan Waktu
Lewat jurnal ilmiah Nature, ilmuwan mewanti-wanti betapa manusia kehabisan waktu buat mencegah laju perubahan iklim menjadi tidak terkendali. Sisi positifnya, saintis meyakini manusia masih bisa menyelamatkan Bumi dari ancaman kekeringan, banjir, gelombang panas dan kenaikan permukaan air laut. Namun untuk itu kita hanya punya waktu tiga tahun.
Foto: Getty Images/L. Maree
Enam Langkah buat Bumi
Kelompok ilmuwan yang juga beranggotakan bekas Direktur Iklim PBB, Christiana Figueres, itu menyimpulkan jika kadar emisi bisa ditekan secara permanen hingga 2020, maka ambang batas temperatur yang bisa berdampak pada perubahan iklim tak terkendali tidak akan dilanggar. Untuk itu mereka mengusulkan rencana enam butir kepada dunia internasional.
Foto: picture-alliance/R4200
1. Energi Terbarukan
Saat ini energi terbarukan memenuhi sedikitnya 30% kebutuhan energi dunia. Angka tersebut banyak meningkat dari kisaran 23,7% pada 2015. Meski pertumbuhan produksi energi ramah lingkungan meningkat, pemerintah dan industri tidak boleh lagi membangun pembangkit listrik tenaga batu bara pasca 2020 dan semua pembangkit yang sudah beroperasi harus dipensiunkan.
Foto: picture-alliance/AP Images/Chinatopix
2. Infrastruktur Nol Emisi
Kota dan negara di dunia sudah berkomitmen untuk menghilangkan jejak karbon sepenuhnya pada sektor konstruksi dan infrastruktur pada 2050. Untuk itu Perjanjian Iklim Paris menyediakan program pendanaan senilai 300 milyar Dollar AS setiap tahun. Kota-kota wajib mengganti struktur konstruksi pada sedikitnya 3% bangunan/tahun di wilayahnya menjadi lebih ramah lingkungan atau nol emisi.
Foto: Getty Images
3. Transportasi Ramah Energi
Tahun lalu sebanyak 15% dari total penjualan kendaraan bermotor di seluruh dunia berbahan bakar elektrik. Jumlahnya meningkat 1% dari tahun sebelumnya. Namun pemerintah dan industri tetap diminta untuk menggandakan efisiensi bahan bakar untuk transportasi, yakni sebesar 20% untuk kendaraan berat dan pengurangan 20% emisi gas rumah kaca per kilometer untuk pesawat terbang.
Foto: picture-alliance/dpa/O. Berg
4. Penghijauan Lahan
Kebijakan penggunaan lahan harus diarahkan untuk mengurangi kerusakan hutan dan bergeser ke arah penghijauan kembali. Saat ini emisi gas rumah kaca dari pembalakan hutan dan pembukaan lahan mencapai 12% dari emisi global. Jika emisi tersebut bisa dikurangi menjadi nol, maka hutan yang ada bisa digunakan untuk mempercepat pengurangan emisi CO2 global.
Foto: picture-alliance/AP Photo/R. Abd
5. Efisiensi Industri Sarat Emisi
Industri berat seperti industri baja, semen, kimia, minyak dan gas, saat ini menghasilkan seperlima emisi CO2 di dunia, termasuk untuk kebutuhan energi. Baik pemerintah maupun swasta harus berkomitmen memangkas emisi CO2 industri berat menjadi separuhnya pada 2050. Hal ini bisa dicapai dengan pertukaran teknologi dan efisiensi energi.
Foto: Reuters/M. Gupta
6. Pendanaan Mitigasi Iklim
Sektor keuangan berkomitmen memobilisasi dana senilai 1 trilyun Dollar AS per tahun untuk program iklim. Kebanyakan berasal dari swasta. Pemerintah dan lembaga keuangan seperti bank dunia harus mengeluarkan "obligasi hijau" lebih banyak untuk membiayai program mitigasi perubahan iklim. Langkah itu berpotensi mampu menciptakan pasar yang mengelola dana senilai hampir 1 trilyun Dollar AS pada 2050.
Foto: picture-alliance/dpa/F. Rumpenhorst
Kiamat Tak Terbendung?
Celakanya bahkan jika manusia berhasil mencapai target dua derajat seperti yang tertera pada perjanjian iklim Paris, separuh populasi Bumi akan tetap menglami gelombang panas mematikan lebih sering pada 2100. Indonesia dan Amerika Selatan termasuk kawasan yang paling parah. Ilmuwan meyakini tren tersebut tidak bisa dicegah lagi. (rzn/hp - nature, unfccc, guardian)