Malala Kecam 'Apartheid Gender' Taliban di Afganistan
13 Januari 2025
Peraih Nobel Perdamaian, Malala Yousafzai, memperingatkan bahwa penguasa Taliban di Afganistan telah menerapkan lebih dari 100 undang-undang yang melanggar hak perempuan. Ia juga mengecam serangan Israel di Jalur Gaza.
Iklan
Peraih Nobel Perdamaian, Malala Yousafzai, mendesak para pemimpin muslim dunia untuk tidak "melegitimasi" penguasa Taliban di Afganistan.
Malala menyampaikan pernyataan tersebut pada pertemuan puncak tentang pendidikan anak perempuan di negara-negara Islam, yang diselenggarakan oleh Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Liga Muslim Dunia di Islamabad, Pakistan, Minggu (12/01).
Malala: Tolak 'apartheid gender' Taliban
Malala mengatakan bahwa Taliban telah menerapkan lebih dari 100 undang-undang yang melanggar hak-hak perempuan, yang ia kecam sebagai "apartheid gender."
Iklan
"Tidak ada yang Islami tentang ini," kata Malala. "Di Afganistan, seluruh generasi anak perempuan akan dirampas masa depannya. Sebagai pemimpin muslim, sekaranglah saatnya untuk bersuara dan menggunakan kekuatan Anda."
Sejak mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2021, Taliban telah memberlakukan pembatasan yang secara efektif melarang perempuan dari kehidupan publik.
Larangan Kuliah oleh Taliban, Hak Perempuan Afganistan Dirampas
Sejak merebut kekuasaan pada pertengahan 2021, Taliban semakin membatasi hak-hak perempuan dan anak perempuan Afganistan. Kini, mereka membatasi akses perempuan ke pendidikan tinggi hingga memicu kemarahan internasional.
Foto: AFP
Perpisahan untuk selamanya?
Perempuan tidak akan diizinkan untuk kembali berkuliah. Dalam pernyataan pemerintah pada hari Selasa (20/12), Taliban menginstruksikan semua universitas di Afganistan, baik swasta maupun negeri, untuk melarang perempuan mengenyam pendidikan. Sekarang ini semua mahasiswa perempuan dilarang masuk ke universitas
Foto: AFP
Perempuan disingkirkan
Pasukan Taliban menjaga pintu masuk sebuah universitas di Kabul, sehari setelah larangan untuk perempuan berkuliah diberlakukan. Para mahasiswi diberitahu bahwa mereka tidak bisa masuk kampus. Larangan diberlakukan hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Namun, sudah ada aksi protes di universitas, di mana siswa laki-laki batal mengikuti ujian dan beberapa dosen laki-laki juga mogok mengajar.
Foto: WAKIL KOHSAR/AFP/Getty Images
Pendidikan tinggi hanya untuk laki-laki
Sejumlah pembatasan telah diberlakukan sebelum ini. Setelah Taliban mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2021, universitas harus memisahkan pintu masuk dan ruang kuliah berdasarkan jenis kelamin. Mahasiswi hanya boleh diajar oleh dosen perempuan atau oleh pria tua. Gambar ini menunjukkan ada batas pemisah untuk mahasiswi di Universitas Kandahar.
Foto: AFP/Getty Images
Angkatan terakhir
Mahasiswi Universitas Benawa di Kandahar, masih bisa ikut wisuda Maret lalu dengan gelar di bidang teknik dan ilmu komputer. Pembatasan baru atas hak-hak perempuan di Afganistan mengundang kecaman keras dari dunia internasional. Human Rights Watch menyebut larangan kuliah bagi perempuan sebagai "keputusan yang memalukan", sementara PBB menyatakan keputusan itu melanggar hak asasi perempuan.
Foto: JAVED TANVEER/AFP
Dampaknya menghancurkan masa depan negara
Ribuan perempuan dan anak perempuan mengikuti ujian masuk universitas pada Oktober lalu, salah satunya di Universitas Kabul. Banyak yang ingin belajar kedokteran atau menjadi guru. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, larangan Taliban "tidak hanya melanggar persamaan hak perempuan dan anak perempuan, tetapi akan berdampak buruk pada masa depan negara."
Foto: WAKIL KOHSAR/AFP/Getty Images
Tutup peluang pendidikan untuk perempuan
Larangan untuk perempuan berkuliah adalah satu lagi pembatasan pendidikan bagi perempuan dan anak perempuan. Selama lebih dari setahun, gadis remaja hanya bisa bersekolah sampai kelas tujuh di sebagian besar provinsi. Gadis-gadis yang berjalan ke sekolah di Afganistan timur ini beruntung karena beberapa provinsi yang jauh dari pusat kekuatan Taliban mengabaikan larangan tersebut.
Foto: AFP
Negeri tanpa kehadiran perempuan
Perempuan dan anak perempuan sekarang disingkirkan dari sebagian besar aspek kehidupan publik Afganistan. Mereka tidak diizinkan mengunjungi gym atau taman bermain di Kabul selama berbulan-bulan. Taliban membenarkan larangan tersebut dengan berkilah, peraturan tentang pemisahan jenis kelamin tidak dipatuhi, dan banyak perempuan tidak mengenakan jilbab seperti yang diwajibkan oleh mereka.
Foto: WAKIL KOHSAR/AFP/Getty Images
Realitas distopia
Sejumlah perempuan mengumpulkan bunga safron di Herat. Ini adalah pekerjaan yang boleh mereka lakukan, tidak seperti kebanyakan profesi lainnya. Sejak berkuasa, Taliban telah memberlakukan banyak peraturan yang sangat membatasi kehidupan perempuan dan anak perempuan. Misalnya, mereka dilarang bepergian tanpa pendamping laki-laki dan harus mengenakan hijab di luar rumah setiap saat.
Foto: MOHSEN KARIMI/AFP
Sebuah aib yang memalukan
Banyak perempuan Afganistan menolak penghapusan hak-hak mereka dan berdemonstrasi di Kabul pada November lalu. Sebuah plakat bertuliskan "Kondisi Mengerikan Perempuan Afganistan Merupakan Noda Aib bagi Hati Nurani Dunia." Siapapun yang ikut protes perlu keberanian besar. Demonstran menghadapi risiko represi kekerasan dan pemenjaraan. Para aktivis hak-hak perempuan juga dianiaya di Afganistan.
Foto: AFP
9 foto1 | 9
Malala, yang berasal dari Kota Mingora di Lembah Swat, wilayah barat laut Pakistan yang didominasi suku Pashtun, selamat dari luka tembak di kepala oleh seorang militan Taliban Pakistan pada tahun 2012 saat berada di dalam bus sekolah. Ia kemudian dipindahkan ke Inggris untuk menjalani perawatan medis dan melanjutkan pendidikan di sana.
Malala mengungkapkan kebahagiaannya bisa mengunjungi negara asalnya, dengan mengatakan: "Pakistan adalah tempat saya memulai perjalanan dan tempat hati saya akan selalu berada."
Ia juga menyebutkan bahwa lebih dari 12 juta anak perempuan di Pakistan tidak bersekolah.
Pada Desember lalu, Taliban menyerang target di dalam Pakistan setelah serangan udara Pakistan dilaporkan menewaskan puluhan orang. Islamabad menuntut agar Taliban mengendalikan kelompok militan Tehrik-e-Taliban Pakistan (TTP) yang bertanggung jawab atas berbagai serangan di Pakistan.
Malala kecam serangan Israel di Gaza
Malala juga mengecam serangan Israel di Jalur Gaza, menyoroti bencana kemanusiaan di wilayah Palestina.
"Di Gaza, Israel telah menghancurkan seluruh sistem pendidikan," katanya. "Mereka telah mengebom semua universitas, menghancurkan lebih dari 90% sekolah, dan menyerang warga sipil yang berlindung di gedung sekolah tanpa pandang bulu."
Pada September 2024, UNICEF melaporkan bahwa 45.000 siswa kelas satu di Gaza tidak dapat memulai pendidikan mereka dan 625.000 pemuda tidak dapat bersekolah untuk tahun kedua.
Israel telah berulang kali mengatakan bahwa Hamas dan kelompok militan lainnya menggunakan fasilitas sipil seperti sekolah dan rumah sakit di Gaza untuk tujuan militer.
Malala menjadi peraih Nobel termuda pada usia 17 tahun karena kampanyenya untuk hak anak-anak memperoleh pendidikan.