1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Malaysia Ancam Hentikan Ekspor Sawit ke Eropa

13 Januari 2023

Pemerintah Malaysia mengecam regulasi baru Uni Eropa untuk membatasi penggunaan minyak sawit bermasalah. Brussels sebaliknya membantah tuduhan diskriminasi dan merujuk pada komitmen bersama untuk meredam deforestasi.

Pembukaan kebun sawit di Indonesia
Pembukaan kebun sawit di IndonesiaFoto: Willy Kurniawan/REUTERS

Menteri Perdagangan dan Komoditi Malaysia, Fadillah Yusof, mengatakan pihaknya menjalin komunikasi dengan Indonesia terkait larangan impor sawit bermasalah oleh Uni Eropa. Aturan baru tersebut dibuat untuk meredam laju deforestasi yang antara lain digerakkan oleh ekspansi sawit.

"Kalau kita harus berhubungan dengan pakar dari luar negeri untuk membalas langkah Uni Eropa, maka kita harus melakukannya,” kata Fadillah, Kamis (12/1). "Atau opsi lainnya adalah menghentikan ekspor ke Eropa dan fokus ke negara lain jika mereka mempersulit proses ekspor dari Malaysia.”

Pernyataannya itu tidak mengulas rekam jejak industri sawit dalam menggerakkan deforestasi di Asia Tenggara. Malaysia dan Indonesia selama ini berpegang pada sertifikasi berkelanjutan yang diwajibkan bagi pelaku eskpor sawit.

Memproduksi Minyak Sawit dengan Lebih Berkelanjutan

06:48

This browser does not support the video element.

Fadillah, yang juga menjabat wakil perdana menteri Malaysia, berniat melobi negara anggota Dewan Negara-negara Produsen Minyak Sawit (CPOPC) untuk bekerja sama melawan "tuduhan tak berdasar” Uni Eropa dan Amerika Serikat terhadap minyak sawit.

CPOPC saat ini diketuai Indonesia dan Malaysia sebagai dua negara produsen sawit terbesar di dunia.

Hambatan dagang

Pernyataan Fadillah ditepis Duta Besar Uni Eropa untuk Malaysia, Michalis Rokas. Menurutnya, regulasi UE tidak diniatkan untuk melarang impor sawit atau menciptakan hambatan dagang demi melindungi petani lokal.

"UU tersebut berlaku secara merata untuk semua komoditas yang diproduksi oleh semua negara, termasuk negara anggota Uni Eropa, dan disusun untuk memastikan bahwa produksi komoditas tidak semakin mendorong laju deforestasi dan kerusakan hutan,” kata dia kepada Reuters.

Rokas menambahkan dirinya siap bertemu dengan Fadillah untuk membahas kekhawatiran Malaysia.

Kisruh tersebut diyakini tidak berdampak pada konsumsi sawit Uni Eropa yang memang diperkirakan akan merosot dalam sepuluh tahun ke depan. Tren ini menguat sejak 2018 silam, ketika UE menetapkan larangan konsumsi sawit sebagai bahan bakar kendaraan selambatnya pada 2030. 

Tenggat tersebut dipilih karena bertepatan dengan berakhirnya siklus ekonomis pohon sawit di kedua negara yang harus diganti setiap 30 tahun.

Meski demikian, Indonesia dan Malaysia tetap melayangkan gugatan terpisah kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), karena menilai aturan baru itu bersifat diskriminatif dan bisa digolongkan sebagai hambatan dagang.

Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Anwar Ibrahim pekan ini sepakat untuk "melawan diskriminasi terhadap minyak sawit”, serta memperkuat kerja sama melalui CPOPC.

Uni Eropa saat ini adalah konsumen minyak sawit terbesar ketiga di dunia, setelah Indonesia, India dan Cina. Setidaknya 46 persen impor sawit Eropa digunakan untuk bahan bakar kendaraan dengan nilai 2 miliar Euro per tahunnya.

Menurut pemerintah Malaysia, penjualan sawit ke UE mewakili 9,4 persen dari total nilai ekspor pada 2022, atau setara dengan 1,47 miliar ton. 

rzn/hp (rtr,ap)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya