Pemerintah Malaysia mengecam regulasi baru Uni Eropa untuk membatasi penggunaan minyak sawit bermasalah. Brussels sebaliknya membantah tuduhan diskriminasi dan merujuk pada komitmen bersama untuk meredam deforestasi.
Iklan
Menteri Perdagangan dan Komoditi Malaysia, Fadillah Yusof, mengatakan pihaknya menjalin komunikasi dengan Indonesia terkait larangan impor sawit bermasalah oleh Uni Eropa. Aturan baru tersebut dibuat untuk meredam laju deforestasi yang antara lain digerakkan oleh ekspansi sawit.
"Kalau kita harus berhubungan dengan pakar dari luar negeri untuk membalas langkah Uni Eropa, maka kita harus melakukannya,” kata Fadillah, Kamis (12/1). "Atau opsi lainnya adalah menghentikan ekspor ke Eropa dan fokus ke negara lain jika mereka mempersulit proses ekspor dari Malaysia.”
Pernyataannya itu tidak mengulas rekam jejak industri sawit dalam menggerakkan deforestasi di Asia Tenggara. Malaysia dan Indonesia selama ini berpegang pada sertifikasi berkelanjutan yang diwajibkan bagi pelaku eskpor sawit.
Memproduksi Minyak Sawit dengan Lebih Berkelanjutan
06:48
Fadillah, yang juga menjabat wakil perdana menteri Malaysia, berniat melobi negara anggota Dewan Negara-negara Produsen Minyak Sawit (CPOPC) untuk bekerja sama melawan "tuduhan tak berdasar” Uni Eropa dan Amerika Serikat terhadap minyak sawit.
CPOPC saat ini diketuai Indonesia dan Malaysia sebagai dua negara produsen sawit terbesar di dunia.
Iklan
Hambatan dagang
Pernyataan Fadillah ditepis Duta Besar Uni Eropa untuk Malaysia, Michalis Rokas. Menurutnya, regulasi UE tidak diniatkan untuk melarang impor sawit atau menciptakan hambatan dagang demi melindungi petani lokal.
"UU tersebut berlaku secara merata untuk semua komoditas yang diproduksi oleh semua negara, termasuk negara anggota Uni Eropa, dan disusun untuk memastikan bahwa produksi komoditas tidak semakin mendorong laju deforestasi dan kerusakan hutan,” kata dia kepada Reuters.
Sawit Indonesia yang Gegerkan Dunia
Larangan ekspor turunan minyak sawit membuat banyak negara gerah. Tiba-tiba disadari sawit Indonesia memainkan peranan vital dalam ketahanan pangan dunia. Bahan minyak goreng itu kini jadi gorengan politik global.
Foto: Yuli Seperi/Zumapress/picture alliance
Faktor Pemicu
Minyak goreng di dalam negeri tiba-tiba langka. Antrian panjang warga untuk membeli minyak goreng jadi pemandangan mengenaskan sekaligus ironi di negara penghasil “Crude Palm Oil” tebesar sedunia. Permainan mafia migor terbongkar, beberapa orang kini dijadikan tersangka. Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan tegas: Setop sementara ekspor produk turunan sawit.
Foto: Eko Siswono Toyudho/AA/picture alliance
Perkebunan Sawit Terluas Sedunia
Kelangkaan migor, ibarat sebuah tamparan keras untuk pemerintah Indonesia. Betapa tidak, Indonesia adalah produsen CPO global terbesar yang memiliki lahan perkebunan sawit paling luas sedunia sekitar 22,6 juta hektar (data 2021). Total produksi tahunan sawit Indonesia sekitar 36 juta ton. Disusul Malaysia dengan produksi separuh kapasitas Indonesia.
Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
Komoditas Ekspor Unggulan
Dari rata-rata produksi tahunan global 77 juta ton minyak sawit, sekitar 59%-nya diproduksi di Indonesia. Saat dunia alami kelangkaan minyak nabati dan harga melambung naik akibat perang di Ukraina, pengusaha oportunis dibantu pejabat korup, mengekspor sebagian besar produksi minyak sawit ke luar negeri. Inilah yang diduga kuat memicu kekosongan pasokan minyak goreng di dalam negeri.
Isu Kerusakan Lingkungan
Sawit bukan hanya berkah. Pembukaan lahan untuk perkebunan sawit di Indonesia, juga berdampak negatif pada kelestarian alam. Biasanya industri melakukan tebang habis dan pembakaran hutan. Organisasi pelindung lingkungan kerap mengangkat topik ini di forum dunia. Juga sejumlah negara ikut menggoreng isu ini, untuk menekan Indonesia dan Malaysia terkait isu lingkungan dari perkebunan sawit.
Foto: Ulet Ifansasti/Getty Images
Dari Makanan, Biodiesel hingga Sabun
Minyak sawit punya kegunaan luas dan sangat beragam. Memang sebagian besarnya diolah menjadi minyak goreng. Namun minyak nabati yang harganya paling murah ini, oleh sejumlah industri raksasa di Eropa, juga digunakan sebagai campuran biodiesel, makanan, kosmetik hingga keperluan sehari-hari di rumah tangga seperti sabun atau sampo.
Foto: AP
Berkontribusi Pada Ketahanan Pangan Global
Setelah dihantam kelangkaan pasokan gandum, merosotnya suplai minyak nabati di pasar dunia dan melonjaknya harga, membuat banyak negara menjerit kebingungan. Terlepas dari efek negatif industri sawit bagi lingkungan, ternyata manfaatnya bagi ketahanan pangan global juga tidak bisa diremehkan. IMF mencemaskan kelangkaan ini akan memicu krisis pangan di negara-negara miskin di dunia.
Peran minyak sawit yang harganya murah dan kapasitas produksinya tinggi, saat ini sulit tergantikan oleh minyak nabati lainnya. Setiap hektar kebun sawit, bisa memproduksi 3,3 ton minyak per tahun. Sementara bunga matahari dan rapa hanya 0,7 ton minyak per ha/tahun. Harga minyak sawit saat ini terus naik, dan menembus rata-rata 1.300 USD/ton.
Foto: dpa
Kelangkaan Migor Juga Landa Eropa
Kenaikan harga minyak nabati global, tidak hanya dirasakan di Indonesia, juga di Eropa rak minyak goreng di sejumlah supermarket mulai kosong. Di Jerman pemicunya adalah "panic buying" dipicu perang Ukraina dan perilaku tidak logis warga. Namun di beberapa negara memang ada kekurangan pasokan dan menetapkan pembatasan, satu orang hanya boleh membeli satu botol minyak goreng. (as/vlz
Foto: MiS/IMAGO
8 foto1 | 8
Rokas menambahkan dirinya siap bertemu dengan Fadillah untuk membahas kekhawatiran Malaysia.
Kisruh tersebut diyakini tidak berdampak pada konsumsi sawit Uni Eropa yang memang diperkirakan akan merosot dalam sepuluh tahun ke depan. Tren ini menguat sejak 2018 silam, ketika UE menetapkan larangan konsumsi sawit sebagai bahan bakar kendaraan selambatnya pada 2030.
Tenggat tersebut dipilih karena bertepatan dengan berakhirnya siklus ekonomis pohon sawit di kedua negara yang harus diganti setiap 30 tahun.
Meski demikian, Indonesia dan Malaysia tetap melayangkan gugatan terpisah kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), karena menilai aturan baru itu bersifat diskriminatif dan bisa digolongkan sebagai hambatan dagang.
Uni Eropa saat ini adalah konsumen minyak sawit terbesar ketiga di dunia, setelah Indonesia, India dan Cina. Setidaknya 46 persen impor sawit Eropa digunakan untuk bahan bakar kendaraan dengan nilai 2 miliar Euro per tahunnya.
Menurut pemerintah Malaysia, penjualan sawit ke UE mewakili 9,4 persen dari total nilai ekspor pada 2022, atau setara dengan 1,47 miliar ton.