Dengan kunjungannya ke Cina, PM Najib Razak menggariskan reorientasi politik luar negeri Malaysia yang semakin menjauh dari Amerika Serikat. Kedua negara akan menandatangani kesepakatan pertahanan dan perdagangan.
Iklan
Perdana Menteri Malaysia Najib Razak mengawali kunjungannya ke Cina dengan menegosiasikan perjanjian pertahanan yang "signifikan." Kesepakatan tersebut diyakini bakal memicu perubahan peta konflik di Laut Cina Selatan menyusul ketegangan hubungan Kuala Lumpur dan Washington seputar skandal korupsi yang melibatkan Razak.
Kunjungan Razak menandai menyusutnya pengaruh Amerika Serikat di kawasan. Sebelumnya Presiden Filipina Rodrigo Duterte juga telah merapat ke Cina dan mendeklarasikan "perceraian" dengan Washington.
Kepada kantor berita Xinhua Razak mengatakan, kedua negara akan merampungkan draft perjanjian keamanan selama kunjungannya di Cina. Ia juga mengklaim Malaysia dan Cina akan menyepakati 10 perjanjian kerjasama di berbagai bidang, termasuk perdagangan. Kedua negara "berkomitmen menjalin kerjasama di berbagai bidang baru," ujar Razak.
Sejak lama Cina berusaha mengikat negara-negara yang berkonflik di Laut Cina Selatan lewat hubungan bilateral. Hal tersebut ditentang oleh Amerika Serikat dan ASEAN. Namun kunjungan najib mempercepat pergeseran peta politik di Asia Pasifik.
"Ini menjadi norma baru di kawasan," kata analis politik Asia Tenggara Bridget Welsh. "Sekarang Cina yang mengimplementasikan kekuatannya sementara pengaruh Amerika Serikat mensyusut," ujarnya sembari menambahkan bahwa Poros Asia yang diusung Washington "telah mati."
Hubungan Najib dan pemerintah di Washington merenggang sejak munculnya dugaan korupsi dan delik pencucian uang lewat dana investasi pemerintah 1MDB. AS kemudian menyita aset yang dibeli keluarga Najib senilai lebih dari satu milyar Dollar AS. Uang tersebut diduga hasil korupsi dana 1MDB. Namun Najib dan 1MDB menepis dakwaan tersebut dan menuduh skandal tersebut dibuat oleh kekuatan asing.
"Kunjungannya tidak cuma menunjukkan reorientasi geostrategis Malaysia terhadap Cina sebagai 'bankir regional,' tapi juga menggarisbawahi realita betapa Najib sangat membutuhkan sumber keuangan baru," kata Welsh. Perusahaan Cina belakangan menggenjot investasi di Malaysia. Terakhir negeri jiran itu menandatangani kontrak pembangunan rel kereta api cepat senilai lebih dari 15 milyar Dollar AS dengan Cina.
Menurutnya yang perlu dipertanyakan apakah Malaysia harus memberikan kompensasi lain, semisal mendukung Cina dalam isu strategis seperti konflik di Laut Cina Selatan.
Pertaruhan Maut Presiden Duterte
Presiden Filipina Rodrigo Duterte nekat meninggalkan sekutu lama Amerika dan bermain mata dengan Cina dan Rusia. Langkahnya itu bukan tanpa risiko terutama dalam isu Laut Cina Selatan.
Foto: picture-alliance/dpa/M.R.Cristino
Poros Tandingan
Duterte sudah jengah dengan Amerika Serikat. Sebab itu ia ingin membangun poros baru antara Manila, Beijing dan Moskow. "Saya tidak ingin bersama AS lagi, saya ingin bergabung dengan Cina dan Rusia," tukasnya. Untuk membuktikan ucapannya itu Duterte menghentikan latihan perang bersama dengan militer AS yang telah digelar selama 36 tahun dan mengabaikan keputusan Pengadilan Arbitrase Internasional
Foto: picture-alliance/Newscom
Berpaling dari ASEAN
Sebaliknya Duterte mengundang Cina dan Rusia untuk menggelar latihan militer bersama di Laut Cina Selatan. Ia juga mulai mengadopsi narasi Beijing, bahwa konflik seputar jalur laut paling gemuk di dunia itu adalah "murni masalah bilateral. "Saya tidak akan membawanya ke forum internasional, termasuk ASEAN." Dengan cara itu Duterte diyakini berharap bakal mendapatkan ganjaran setimpal dari Beijing.
Foto: picture-alliance/dpa/M.R.Cristino
Misi Ekonomi
Pasalnya kebijakan baru sang presiden bukan tanpa kalkulasi. Filipina sedang tertinggal dalam hal pembangunan infrastruktur. "Ia melihat Cina adalah sumber terbesar dana investasi yang sangat dibutuhkan buat menggenjot perekonomian," kata Nick Bisley, Pakar Hubungan Internasional di Universitas La Trobe, Australia. Ironisnya saat ini AS dan Jepang adalah mitra dagang terbesar Filipina.
Foto: Imago
Kalkulasi Beijing
Namun begitu Cina juga tidak bebas dari rasa curiga. "Beijing masih berusaha menebak kemauan Duterte. Tapi jika sudah ketahuan, mereka akan memainkannya sesering mungkin buat melawan Washington," kata akademisi Filipina Walden Bello kepada Financial Times. Cina diyakini tidak akan memberikan konsensus di Laut Cina Selatan dengan mudah. Kesepakatan dengan Manila akan menjadi preseden di kawasan.
Foto: Reuters/K. Kyung-Hoon
Bumerang di Dalam Negeri?
Sikap keras Cina bisa menjadi bumerang buat Duterte. Saat ini mayoritas penduduk FIlipina cendrung bersikap antipati terhadap Beijing. AS sebaliknya mencatat popularitas sebesar 91% dalam jajak pendapat PEW Research Centre tahun lalu. Kegagalan perundingan dengan Cina bisa mencederai reputasinya di mata masyarakat dan Filipina terancam isolasi diplomatik.
Foto: picture-alliance/dpa/Photoshot
Petaka di Perbatasan
Manila kini berupaya mendekati Cina agar bersedia menunda aktivitas pembangunan di Gosong Scraborough dan mengizinkan nelayannya menangkap ikan di perairan sekitar. Beijing belakangan mulai aktif menyulap pulau-pulau kecil di Spratly buat dijadikan pangkalan militer.
Titian Diplomasi
Pelik buat Duterte. Mayoritas penduduk Filipina juga tidak bersedia membuat konsensus dalam isu Laut Cina Selatan. Sebab itu ia mengklaim, "Tidak seorangpun akan menyerahkan sesuatu di sana," ujarnya merujuk pada LCS. Jelang lawatannya ke Cina, Duterte diwanti-wanti oleh Hakim Mahkamah Agung, Antonio Carpio, agar tidak tunduk pada kemauan Beijing. "Dia benar. Saya bisa dilengserkan," jawabnya.