Malaysia resminya negara demokrasi parlementer, sebuah monarki konstitusional berdasar syariah Islam. Tapi jurnalisme di negara jiran itu mengalami represi lewat pasal karet yang bisa ditafsir seenaknya.
Iklan
Sejatinya, warga bebas berpendapat dan mempublikasikan hasil pemikirannya. Semua dijamin oleh Konstitusi Federal pasal 10, yang menjamin kebebasan berekspresi dengan batasan tertentu. Pemerintah yang saat ini berkuasa juga menjamin bahwa internet akan bebas sensor.
Tapi realitanya, penekanan lebih pada istilah batasan tertentu, dalam wujud undang-undang anti penghasutan atau Sedition Act 1948 yang baru saja diamandemen. Ini semacam pasal karet yang bisa ditafsir apapun oleh penguasa. Mengritik pemerintah atau lembaga yudisial bisa ditafsir sebagai penghasutan publik.
Di zaman internet ini, tafsiran tudingan penghasutan bisa makin melar lagi: membagi status pos facebook, meretweet pesan, menulis blog, atau mengomentari posting. Semua bisa dipelintir oleh para pejabat panyidik kejaksaan dan kehakiman.
Pasal karet itu juga didukung undang-undang keamanan dalam negeri Internal Securty Act, yang mengizinkan penahanan tanpa putusan hukum yang makin kerap digunakan di tahun-tahun silam, untuk membungkam media massa atau tokoh politik oposisi.
Dengan menggunakan aturan pasal karet Sedition Act, penguasa mengekang kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat, beropini dan menyebarkan informasi. Hingga akhir April 2015 sedikitnya 200 orang terdiri dari politisi, wartawan dan aktivis disidik berdasar aturan tersebut.
Ironisnya, mereka disidik samasekali tidak mengatakan atau menulis sesuatu yang dianggap menghasut oleh polisi maupun petinggi partai pemerintah yang sedang berkuasa. Melainkan diusut berdasar Sedition Act terkait aktivitasnya di jalur sosial media Facebook dan twitter atau di jalur online.
Ibaratnya dengan sekali pukul, pemerintah di satu sisi menegaskan tidak ada sensor internet, tapi di sisi lain lewat mayoritas di parlemen menggolkan aturan yang memaksa warga melakukan oto-sensor. inilaj langkah paling efektif untuk mengkriminalkan pendapat warga.
Undang-undang penghasutan yang diperluas menohok semua warga Malaysia. Dengan itu, kebanyakan penggunan sosmed dan internet hanya akan jadi pembaca yang tutup mulut dan diam, karena ketakutan memicu ketidaksenangan penguasa.
Arti penting internet, dimana pengguna ibarat pipa penyalur berita dan video dinihilkan oleh undang-undang tersebut. Kebebasan berekspresi ibaratnya sekarat dan akan mati, jika gugatan konstitusional terhadap aturan baru itu dikalahkan di pengadilan.
Sekarang ini, banyak warga Malaysia memilih bungkam, ketimbang meringkuk di tahanan polisi gara-gara dituduh menghasut. Di dunia digital saat ini, dimana makin banyak orang bisa menyuarakan pendapat mereka dengan bebas, kebungkaman di Malaysia akan membuat semua tuli.
Jahabar Sadiq editor dan chief executive officer The Malaysian Insider, sebuah portal berita di Malaysia.
Wartawan dan Kebebasan Pers
Sebuah studi mengungkap, situasi yang dihadapi wartawan masih buruk. Berikut negara-negara yang dianggap berbahaya buat awak pers.
Foto: AFP/Getty Images/P. Baz
"Setengah Bebas" di Indonesia
Di Asia Tenggara, cuma Filipina dan Indonesia saja yang mencatat perkembangan positif dan mendapat status "setengah bebas" dalam kebebasan pers. Namun begitu Indonesia tetap mendapat sorotan lantaran besarnya pengaruh politik terhadap media, serangan dan ancaman terhadap aktivis dan jurnalis di daerah, serta persekusi terhadap minoritas yang dilakukan oleh awak media sendiri.
Foto: picture-alliance/ dpa
Kebebasan Semu di Turki dan Ukraina
Pemberitaan berimbang, keamanan buat wartawan dan minimnya pengaruh negara atas media: Menurut Freedom House, tahun 2013 silam cuma satu dari enam manusia di dunia yang dapat hidup dalam situasi semacam itu. Angka tersebut adalah yang terendah sejak 1986. Di antara negara yang dianggap "tidak bebas" antara lain Turki dan Ukraina.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Serangan Terhadap Kuli Tinta
Turki mencatat serangkain serangan terhadap wartawan. Gökhan Biçici (Gambar) misalnya ditangkap saat protes di lapangan Gezi. Menurut Komiter Perlindungan Jurnalis (CPJ), awal Desember lalu Turki memenjarakan 40 wartawan - jumlah tertinggi di seluruh dunia. Ancaman terbesar buat kebebasan pers adalah pengambil-alihan media-media nasional oleh perusahaan swasta yang dekat dengan pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images
Celaka Mengintai buat Suara Kritis
Serangan terhadap jurnalis juga terjadi di Ukraina, terutama selama aksi protes di lapangan Maidan dan okupasi militan pro Rusia di Krimea. Salah satu korban adalah Tetiana Chornovol. Jurnalis perempuan yang kerap memberitakan gaya hidup mewah bekas Presiden Viktor Yanukovich itu dipukuli ketika sedang berkendara di jalan raya. Ia meyakini, Yanukovich adalah dalang di balik serangan tersebut.
Foto: Genya Savilov/AFP/Getty Images
"Berhentilah Berbohong!"
Situasi kritis juga dijumpai di Cina dan Rusia. Kedua pemerintah berupaya mempengaruhi pemberitaan media dan meracik undang-undang buat memberangus suara kritis di dunia maya. Rusia misalnya membredel kantor berita RIA Novosti dan menjadikannya media pemerintah. Sebagian kecil penduduk Rusia pun turun ke jalan, mengusung spanduk bertuliskan, "Berhentilah Berbohong!"
Foto: picture-alliance/dpa
Mata-mata dari Washington
Buat Amerika Serikat, mereka adalah negara dengan kebebasan pers. Namun kebijakan informasi Washington belakangan mulai menuai kecaman. Selain merahasiakan informasi resmi dengan alasan keamanan nasional, pemerintah AS juga kerap memaksa jurnalis membeberkan nara sumber, tulis sebuah studi. Selain itu dinas rahasia dalam negeri AS juga kedapatan menguping pembicaraan telepon seorang jurnalis.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Terseret Kembali ke Era Mubarak
Setelah kejatuhan Presiden Mursi yang dianggap sebagai musuh kebebasan pers, situasi di Mesir pasca kudeta militer 2013 lalu terus memanas. Belasan jurnalis ditangkap, lima meninggal dunia "di tangan militer," tulis Freedom House. Media-media yang kebanyakan tunduk pada rejim militer Kairo membuat pemberitaan berimbang menjadi barang langka di Mesir.
Foto: AFP/Getty Images
Situasi di Mali Membaik
Mali mencatat perkembangan positif. Setelah pemilu kepresidenan dan operasi militer yang sukses menghalau pemberontak Islamis dari sebagian besar wilayah negara, banyak media yang tadinya dibredel kembali beroperasi. Kendati begitu perkembangan baru ini diwarnai oleh pembunuhan dua jurnalis asal Perancis, November 2913 silam.
Foto: AFP/Getty Images
Tren Positif di Kirgistan dan Nepal
Beberapa negara lain yang mengalami perbaikan dalam kebebasan pers adalah Kirgistan, di mana 2013 lalu tercatat lebih sedikit serangan terhadap jurnalis. Nepal yang juga berhasil mengurangi pengaruh politik terhadap media, tetap mencatat serangan dan ancaman terhadap awak pers. Loncatan terbesar dialami oleh Israel yang kini mendapat predikat "bebas" oleh Freedom House.
Foto: AFP/Getty Images
Terburuk di Asia Tengah
Freedom House menggelar studi di 197 negara. Setelah melalui proses penilaian, lembaga bentukan bekas ibu negara AS Eleanor Roosevelt itu memberikan status "bebas", "setengah bebas" dan "tidak bebas" buat masing-masing negara. Peringkat paling bawah didiami oleh Turkmenistan, Uzbekistan dan Belarusia. Sementara peringkat terbaik dimiliki oleh Belanda, Norwegia dan Swedia.