PBB Kecam Malaysia Manfaatkan Covid-19 Tangkapi Buruh Migran
22 Mei 2020
Perserikatan Bangsa-bangsa meminta Malaysia hentikan penggerebekan terhadap warga asing atas dalih pandemi corona. Menurut PBB langkah itu tidak membantu mencegah penyebaran wabah.
Iklan
Utusan khusus PBB untuk Hak Migran mengecam tindakan pemerintah Malaysia menggerebek kantung-kantung migran ilegal dengan dalih pencegahan wabah. Menurutnya pendekatan kekerasan tidak membantu meredam penyebaran virus corona.
“Gelombang penggerebekan dan kampanye kebencian sangat merugikan upaya memerangi pandemi di dalam negeri,” kata Felipe Gonzales Morales kepada Reuters.
PBB menilai kebijakan Kuala Lumpur hanya menciptakan rasa takut di kalangan kaum migran, termasuk mereka yang menetap secara legal.
Namun pemerintah Malaysia bergeming. Kementerian Kesehatan sebaliknya mengabarkan pihaknya menemukan beberapa “kluster” COVID-19 di kantung-kantung pemukiman buruh migran.
Perang melawan wabah di kantung pengungsi
Jumat (22/05) Kemenkes melaporkan 35 kasus baru usai menggerebek sebuah pusat penampungan imigrasi di Bukit Jalil, Kuala Lumpur. Sebanyak 645 dikabarkan ditahan aparat keamanan.
“Sumber penularan masih diselidiki. Kami harus menginvestigasi secara teliti sebelum membuat pernyataan apa pun,” kata Direktur Jendral Kementerian Kesehatan, Noor Hisham Abdullah.
Dia mengatakan dari 35 kasus positif di Bukit Jalil, 17 orang berasal dari Myanmar, 15 dari India dan tiga orang yang masing-masing berasal dari Sri Lanka, Bangladesh dan Mesir.
Rabu (20/05) lalu pemerintah juga menangkap 200 migran dari Bangladesh dan Indonesia di Kuala Lumpur.
Sejauh ini otoritas Malaysia sudah mengurung lebih dari 1.800 migran dari dua aksi penggerebekan. Selama wabah, jiran di utara itu mencatat lebih dari 7.000 kasus penularan dengan 114 angka kematian.
Sentimen xenofobia di tengah wabah
PBB sebaliknya beralasan, menahan migran di tengah wabah justru merugikan upaya mengendalikan penyebaran virus. “Dalam situasi semacam itu mereka akan semakin takut keluar untuk menjalani tes atau pergi berobat, bahkan jika mereka memiliki gejala virus corona,” kata Felipe Morales.
Migran yang ditahan termasuk anak-anak dan pengungsi Rohingya asal Myanmar, tuduh PBB.
Menurut laporan The Guardian, aksi penggerebekan terhadap migran ilegal turut diiringi tuduhan miring bernada xenofobia terhadap komunitas warga asing, terutama pengungsi Rohingya.
Kampanye antiasing itu juga membidik aktivis kemanusiaan dengan membeberkan data dan foto pribadi mereka di internet. Akibatnya kaum yang cenderung miskin dan termarjinalkan itu kian kesulitan mengakses bantuan kemanusiaan.
Menteri Dalam Negeri Hamzah Zainuddin pernah menerbitkan pernyataan yang menyebutkan etnis Rohingya sebagai “imigran ilegal” di Malaysia yang tidak mengakui “hak suaka.”
Menurutnya pengungsi Rohingya “tidak memiliki status, hak atau dasar untuk mengajukan tuntutan kepada pemerintah.”
Dalam pernyataannya, PBB juga meyakini “rasa takut terhadap penangkapan bisa mendorong kelompok ini untuk bersembunyi,” dan meningkatkan “risiko penyebaran COVID-19.”
Rzn/ (dpa, rtr, bbc, guardian)
Rentan Terinfeksi Corona: Bagaimana Kamp Pengungsi dan Pemukiman Kumuh Menangani Kebersihan?
Mencuci tangan dengan sabun adalah salah satu cara mencegah penyebaran virus. Lalu bagaimana dengan kamp pengungsi dan pemukiman kumuh yang sulit mendapatkan akses air? Berikut upaya mereka mencegah penyebaran virus.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Pilick
Yaman
Yaman jadi rumah bagi sekitar 3,6 juta orang yang terpaksa tinggalkan kampung halaman. Para pengungsi ini sangat rentan terinfeksi virus corona karena tinggal dalam rumah yang sempit, sebagian besar sistem kesehatan dan sanitasi mereka juga hancur akibat perang. Relawan yang dilatih oleh UNICEF di Yaman bertugas untuk tingkatkan kesadaran para pengungsi tentang bagaimana cegah penyebaran virus.
Foto: UNICEF/UNI324899/AlGhabri
Suriah
Memasuki tahun kesepuluh perang, Suriah tetap menghadapi masalah yang sama. Jutaan warga Suriah tinggal di kamp-kamp pengungsi. Pekerja PBB mengunjungi kamp-kamp untuk menjelaskan risiko terinfeksi virus corona seperti yang dilakukan di kamp Akrabat, dekat perbatasan Turki.
Foto: UNICEF/UNI326167/Albam
Filipina
Topan Haiyan yang terjadi pada tahun 2013 di Filipina menjadikan Kota Tacloban sebagai pusat evakuasi. Walaupun sudah lama berlalu, Tacloban masih menderita karena kerusakan yang disebabkan Haiyan. Toilet umum menjadi tempat berkembang biak virus dan masalah sanitasi menjadi semakin genting.
Foto: UNICEF/UNI154811/Maitem
Zambia
Lembah Gwembe di wilayah Zambia dan Wimbabwe telah mengalami kekeringan selama dua tahun terakhir dan mengakibatkan banyak orang tidak bisa dapatkan akses air minum bersih. Saat ini, UNICEF dukung rehabilitasi dan pengeboran 60 lubang bor untuk membuat tempat cuci tangan di titik distribusi selama pandemi COVID-19.
Foto: UNICEF/UNI308267/Karin Schermbrucker
Kenya
Berbagai stasiun air telah dipasang di beberapa tempat umum di Kenya untuk menyediakan akses ke air bersih. Di Nairobi, seorang anak lelaki mengikuti instruksi ketika sedang diperlihatkan bagaiman cara mencuci tangan dengan benar di stasiun air di Kibera untuk mencegah penyebaran COVID-19.
Foto: UNICEF/UNI322682/Ilako
Yordania
Kafa, seorang gadis berusia 13 tahun, pulang ke mobil karavan dengan membawa galon air yang baru saja ia isi dari titik air komunitas, tempat di mana masyarakat mengambil air. Para pengungsi wanita di Yordania kini membuat sabun yang diproduksi menggunakan bahan-bahan alami dan mendistribusikan sabun tersebut kepada keluarga-keluarga yang membutuhkan.
Foto: UNICEF/UNI156134/Noorani
India
Masyarakat di India didorong untuk menjahit masker sendiri, dan ini dapat menghasilkan sumber pendapatan bagi perempuan yang tinggal di daerah pedesaan. Wanita ini membuat topeng di pusat Bihar Goonj, sebuah LSM yang berlokasi di beberapa negara bagian India yang melakukan bantuan bencana, bantuan kemanusiaan, dan pengembangan masyarakat.
Foto: Goonj
Bangladesh
Beberapa penyandang disabilitas yang menjadi relawan di Kota Dhaka, Bangladesh, juga terlibat secara aktif dalam membantu mendistribusikan disinfektan di seluruh kota. Roman Hossain mendistribusikan disinfektan dan memberi tahu anggota komunitasnya tentang pentingnya mencuci tangan secara teratur.
Foto: CDD
Guatemala
Tak hanya mengalami kehabisan pangan akibat kekeringan pada tahun 2019 lalu, masyarakat di Huehuetenango, Guatemala juga membutuhkan alat kebersihan untuk mengurangi penyebaran virus. Oleh karena itu, kepala adat mengantre setiap hari untuk mengambil makanan dan peralatan kebersihan. Mereka juga diberikan informasi dan rekomendasi cara pencegahaan virus corona dalam bahasa lokal. (fs/ml)