Malaysia masih jadi tujuan utama pembuangan sampah plastik Eropa, meski sudah berupaya hentikan impor tersebut. Akankah larangan ekspor UE pada pertengahan 2026 mendatang membawa perubahan?
Iklan
Malaysia masih menjadi pengimpor sampah plastik dari Uni Eropa (UE) terbesar kedua di dunia, meski pemerintahnya telah bertekad untuk mencegah negara itu menjadi tempat pembuangan sampah global.
Menurut data Eurostat, jumlah sampah plastik yang diimpor dari UE di tahun 2023 meningkat 35% dibanding 2022.
UE mengekspor 8,5 juta ton kertas, plastik, dan kaca pada 2023, di mana lebih dari seperlima material itu ditujukan ke tempat pembuangan sampah di Malaysia.
Selain Malaysia, Indonesia dan Vietnam juga termasuk negara pengimpor sampah Eropa terbesar.
Sekitar 90% sampah Eropa sejatinya telah diolah secara lokal. Namun, ekspor sampah juga dilaporkan melonjak menjadi 72% sejak 2004, demikian menurut data Komisi Eropa.
Daur Ulang Sampah untuk Selamatkan Lingkungan
03:55
Kritikus mempertanyakan etika daur ulang UE
UE kini telah sepakat untuk melarang ekspor sampah plastik ke negara-negara di luar Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), termasuk negara Malaysia, mulai pertengahan 2026.
Iklan
Langkah ini bertujuan untuk mencegah material seperti plastik atau bahan kimia, dikirim ke negara-negara yang tidak dapat mengolahnya dengan baik.
Jan Dell, seorang insinyur dan pendiri sebuah kelompok pegiat lingkungan bernama The Last Beach Cleanup, mengatakan kepada DW bahwa larangan UE ini merupakan "pengakuan” bahwa ekspor sampah plastik itu "berbahaya dan tidak etis.”
Namun, ia juga mengkritik UE karena "secara besar-besaran, telah meningkatkan pengiriman jumlah sampah plastik ke Asia saat ini.”
"Ketika UE mencoba mengajarkan dunia untuk memiliki ambisi ramah lingkungan yang tinggi, mereka justru secara terang-terangan bersikap munafik dan secara sembrono mengekspor bahkan berpura-pura bahwa sampah plastik itu daur ulang, daripada melarang penggunaan plastik sekali pakai atau membakarnya di dalam negeri dan menghitung karbon yang mereka hasilkan,” tambahnya.
Inovasi Penjala Plastik Buatan Jerman Tangkap Sampah di Citarum
Berbekal pipa PVC dan kawat besi, start-up asal Jerman Plastic Fischer ciptakan 'Trash Booms' untuk tangkap sampah plastik yang mengapung di Sungai Citarum. Cara ini dianggap solusi tepat mencegah plastik mencemari laut.
Foto: Oswald Nainggolan/DW
Semua bermula dari...
Karsten Hirsch dan Georg Baunach yang merasa gerah melihat banyaknya sampah plastik terapung di sungai, saat melakukan perjalanan ke Asia. Berangkat dari keprihatinan itu, saat kembali ke Jerman, mereka pun mendirikan start-up Plastic Fischer, atau disebut juga penjala plastik.
Foto: Oswald Nainggolan/DW
Cegah sampah mengalir ke laut
Pipa PVC dan jaring kawat, menjadi dua material utama yang mereka gunakan untuk membuat penghalang sampah yang efisien, yang mereka namai TrashBooms. Dengan menggunakan inovasi sederhana ini, plastik dapat tertahan sebelum hanyut dan mencemari laut. Diperkirakan ada delapan juta metrik ton sampah global masuk ke laut dan 1,29 juta metrik ton di antaranya berasal dari Indonesia.
Foto: Oswald Nainggolan/DW
Bersihkan sungai terkotor
Proyek percontohan pertama yang mereka pilih adalah Sungai Citarum di Bandung, Jawa Barat. Sungai Citarum yang panjangnya 300 km yang juga melintasi kota Bandung, dipilih karena termasuk salah satu sungai paling tercemar. Tahun 2013 lalu, Green Cross Switzerland dan Blacksmith Institute menetapkan Citarum sebagai salah satu sungai terkotor di dunia.
Foto: Oswald Nainggolan/DW
Memasang trash booms
Trash Booms yang satu unit pengapungnya memiliki panjang sekitar 120 cm ini dapat menahan beban jaring kawat hingga kedalaman 60 cm, sehingga cocok untuk daerah sungai yang berbadan lebar namun memiliki kecepatan aliran rendah. Bila sudah terpasang, diperkirakan setiap minggunya, penghalang sampah plastik ini dapat menahan sekitar 400-1000 kg sampah.
Foto: Oswald Nainggolan/DW
Berkolaborasi bersihkan sungai
Saat membersihkan sungai Citarum, Plastic Fischer bekerjasama dengan Kodam Siliwangi dan dibantu sejumlah relawan dari 'Make a Change World', 'Sungai Watch', dan 'River Clean Up'. Bersama-sama mereka membantu program Citarum Harum yang digagas pemerintah pusat untuk membersihkan Sungai Citarum.
Foto: Oswald Nainggolan/DW
Arti sebuah nama
Tak semua perlu turun tangan secara langsung. Para simpatisan bisa juga ikut membantu dengan menjadi donatur. Biaya untuk membuat satu buah Trash Booms mencapai Rp. 700.000. Sebagai bentuk penghargaan, nama-nama donatur dituliskan di pengapung TrashBooms.
Foto: Oswald Nainggolan/DW
Kamu juga bisa buat!
Karena 'Trash Booms' terbuat dari bahan yang dapat ditemukan dengan mudah, maka inovasi ini bisa diterapkan oleh siapa saja. Manual untuk konstruksi juga dapat diunduh secara gratis dari website plasticfisher. Penulis: Prita Kusuma (ts/as)
Foto: Oswald Nainggolan/DW
7 foto1 | 7
Negara-negara Asia Tenggara telah mengimpor lebih dari 100 juta ton sampah logam, kertas, dan plastik setiap tahunnya, yang bernilai sekitar €47 miliar (sekitar Rp796,5 triliun) antara 2017 dan 2021, menurut laporan PBB yang diterbitkan tahun ini.
Ketika Cina telah melarang impor sebagian besar plastik dan bahan lainnya pada 2018 lalu, beberapa negara Asia Tenggara justru mengalami lonjakan. Pada 2021, Malaysia menjadi salah satu pengimpor utama sampah plastik di dunia.
Pemerintah Malaysia telah menyatakan selama bertahun-tahun bahwa negaranya ingin mengurangi impor sampah, tetapi tidak secara resmi melarangnya.
"Pemerintah Malaysia terus mengizinkan impor sampah plastik karena alasan ekonomi dan [karena] permintaan dari industri daur ulang lokal,” kata Hema Sulakshana, juru kampanye Greenpeace Malaysia, kepada DW.
"Namun, sebagian besar plastik yang diimpor justru tidak dapat didaur ulang atau terkontaminasi, dan pada akhirnya dibuang ke tempat pembuangan sampah atau dibakar.”
Bocah Perempuan Pelopori Pembersihan Plastik di Lautan
03:59
Dampak terhadap lingkungan
Di Malaysia, para pemerhati lingkungan punya perbedaan pendapat terkait manfaat ekonomi sirkular, yang bergantung pada penggunaan kembali bahan-bahan untuk meningkatkan keberlanjutan.
Beberapa orang melihat daur ulang sebagai kunci dalam mengurangi limbah dan konsumsi sumber daya. Organisasi Nirlaba The Circulate Initiative misalnya, memperkirakan bahwa pemulihan pada sistem daur ulang sampah plastik yang tepat di seluruh Asia Selatan dan Asia Tenggara, mampu mencegah sekitar 229 juta metrik ton emisi gas rumah kaca pada 2030, dan itu setara dengan emisi dari 61 pembangkit listrik tenaga batu bara.
Namun, para kritikus berpendapat bahwa daur ulang saja tidak cukup, karena masih banyak sampah yang berakhir di tempat pembuangan akhir atau dibakar, yang menyebabkan polusi dan emisi gas rumah kaca.
Pada 2020, tingkat daur ulang Malaysia hanya sebesar 30%, di mana angka itu hanya setengahnya dari negara tetangga Singapura, menurut berbagai sumber. Infrastruktur pengelolaan sampah yang tidak memadai juga dinilai turut memperparah pencemaran lingkungan di Malaysia.
Bukan hanya itu, pembakaran sampah akan melepaskan dioksin dan bahan kimia berbahaya ke atmosfer serta pasokan makanan manusia. Tahun lalu, kebakaran di tempat pembuangan sampah Cam Ly, Vietnam, menyebabkan asap beracun menyelimuti sebagian provinsi Lam Dong.
Meskipun UE telah berkomitmen untuk melarang ekspor beberapa jenis sampah pada 2026, hal ini bukan berarti Eropa akan mengakhiri ekspor plastiknya sama sekali.
Plastik masih bisa diekspor jika syarat-syarat tertentu dipenuhi, kata Shiori Shakuto, yang merupakan seorang dosen di Universitas Sydney, kepada DW. Sampah nonplastik, termasuk tekstil, juga masih dapat dikirim ke negara-negara non-OECD.
Hal ini menjadi perhatian para pemerhati lingkungan, karena industri daur ulang tekstil di Eropa juga menghadapi tantangan yang signifikan akibat kelebihan pasokan tekstil bekas, serta menurunnya permintaan dari pasar ekspor.
Sampah Plastik Mencemari Sungai dan Lautan
Sebagian besar sampah plastik yang mencemari sungai akhirnya bermuara di lautan. Inilah sungai besar di Asia dan Afrika yang paling banyak membawa sampah plastik.
Foto: Imago/Xinhua/Guo Chen
1. Sungai Yangtze
Yangtze adalah sungai terpanjang di Asia dan terpanjang ketiga di dunia. Sungai ini menduduki peringkat puncak sebagai pembawa limbah plastik ke lautan. Yangtze mengalir ke Laut Cina Timur dekat Shanghai dan sangat penting bagi ekonomi dan ekologi Cina. Tepian sungai merupakan rumah bagi 480 juta orang - sepertiga penduduk Cina.
Foto: Imago/VCG
2. Sungai Indus
Pusat Penelitian Lingkungan Helmholtz Centre for Environmental Research menemukan bahwa 90 persen plastik yang mengalir ke lautan dapat ditelusuri ke 10 sungai besar. Sungai Indus menempati urutan kedua dalam daftar itu. Sungai ini mengalir melalui sebagian India dan Pakistan ke Laut Arab. Karena kurangnya struktur pengolahan limbah, banyak plastik memasuki sungai ini.
Foto: Asif Hassan/AFP/Getty Images
3. Sungai Kuning
Plastik di sungai bisa masuk ke dalam rantai makanan karena ikan dan hewan laut dan air tawar menelannya. Sungai Kuning, yang disebut-sebut sebagai tempat lahirnya peradaban Cina, berada di urutan ketiga dalam daftar pembawa limbah plastik. Polusi telah membuat sebagian besar air sungai tidak bisa diminum. Sekitar 30 persen spesies ikannya diyakini telah punah juga.
Foto: Teh Eng Koon/AFP/Getty Images
4. Sungai Hai
Sungai lainya di Cina menduduki peringkat 4, yaitu sungai Hai. Sungai ini menghubungkan dua wilayah metropolitan terpadat: Tianjin dan Beijing, sebelum mengalir ke Laut Bohai, salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia. 10 sistem sungai memiliki ciri khas, kata penelitian tersebut.
Foto: Imago/Zumapress/Feng Jun
5. Sungai Nil
Dianggap sebagai sungai terpanjang di dunia, Sungai Nil mengalir melalui 11 negara sebelum memasuki Laut Tengah di Mesir. Sekitar 360 juta orang tinggal di daerah aliran sungai. Airnya mendukung pertanian - kegiatan ekonomi utama di kawasan ini. Sungai Nil berada di peringkat 5 daftar sungai yang terbanyak membawa sampah plastik. Setiap tahun, sekitar 8 juta ton limbah plastik dibuang ke sungai.
Foto: Imago/Zumapress
6. Sungai Gangga
Sungai Gangga merupakan pusat kehidupan spiritual India dan menyediakan air bagi lebih dari setengah miliar orang. Limbah pertanian dan industri telah menjadikannya salah satu sungai paling tercemar di dunia. Dalam hal sampah plastik, Gangga berada di peringkat 6. Para ahli mengatakan, kita harus menghasilkan lebih sedikit sampah dan menghentikan polusi pada sumbernya.
Foto: Getty Images/AFP/S. Kanojia
7. Sungai Mutiara (Pearl River )
Para pekerja membersihkan limbah yang terapung di Sungai Mutiara di Cina yang bermuara di Laut Cina Selatan antara Hong Kong dan Makau. Limbah buangan dan limbah industri di sungai ini makin banyak, seiring dengan laju ekspansi kota yang luar biasa. Sejak akhir 1970-an, kawasan delta sungai telah berubah dari daerah pertanian dan pedesaan menjadi salah satu daerah perkotaan terbesar dunia.
Foto: Getty Images/AFP/Goh Chai Hin
8. Sungai Amur (Heilong)
Air sungai makin kotor ketika menyentuh daerah perkotaan dan industri. Namun, menurut penelitian terbaru, limbah plastik bahkan ditemukan di lokasi terpencil. Sungai Amur mengalir dari daerah perbukitan di Cina timur laut dan membentuk sebagian besar perbatasan antara provinsi Heilongjiang (Cina) dan Siberia (Rusia) sebelum menuju ke Laut Okhotsk.
Foto: picture-alliance/Zumapress/Chu Fuchao
9. Sungai Niger
Niger adalah sungai utama Afrika Barat, yang menghidupi lebih dari 100 juta orang dan salah satu ekosistem paling rimbun di planet ini. Sungai ini mengalir melalui lima negara sebelum bermuara di Samudera Atlantik di Nigeria. Selain polusi plastik, konstruksi bendungan yang luas mempengaruhi ketersediaan air. Tumpahan minyak yang sering terjadi di Delta Niger juga menyebabkan air terkontaminasi.
Foto: Getty Images
10. Sungai Mekong
Pembangunan bendungan juga memiliki dampak ekologi dan sosial, terutama di sungai Mekong. Sekitar 20 juta orang tinggal di Delta Mekong. Banyak yang bergantung pada perikanan dan pertanian untuk bertahan hidup. Sungai ini mengalir melalui enam negara Asia Tenggara, termasuk Vietnam dan Laos. Sungai Mekong menduduki peringkat 10 dalam daftar sungai yang paling tercemar limbah plastik.
Foto: Imago/Xinhua
10 foto1 | 10
"Perlunya penegakan hukum yang lebih baik"
Menurut Shakuto, Malaysia dan UE perlu memperkuat regulator keduanya untuk memastikan bahwa limbah tidak beracun tidak diperdagangkan kembali dan mengekang perdagangan limbah ilegal yang menguntungkan suatu pihak.
Perlunya penegakan hukum yang lebih baik juga mendapat sorotan dari Komisi Eropa yang memperkirakan, 15% hingga 30% dari pengiriman limbah UE adalah ilegal.
"Pengiriman yang tidak terlacak akan lolos dari pengawasan dan kemungkinan besar akan dibuang atau diolah dengan tidak benar, sehingga meningkatkan risiko dampak lingkungan. Perdagangan limbah ilegal juga berarti hilangnya kesempatan untuk mendaur ulang bahan,” kata Komisi Eropa dalam sebuah pernyataan.
UE kini telah menginisiasi pembicaraannya dengan Thailand, Malaysia dan Indonesia untuk mengatasi perdagangan limbah ilegal ini. Namun, penegakan peraturan yang lebih ketat juga diperlukan di masing-masing negara pengimpor
Sulakshana dari Greenpeace Malaysia mencatat bahwa Departemen Pengelolaan Limbah Padat Nasional Malaysia tidak terdaftar sebagai "Otoritas Kompeten” di bawah Konvensi Basel, yang mengatur perdagangan limbah internasional.
"Selain itu, Departemen Lingkungan Hidup juga tidak memiliki yurisdiksi untuk melakukan intervensi setelah pengiriman limbah itu tiba,” tambahnya.
"Mengatasi hambatan-hambatan ini dan memperkuat kebijakan nasional itu sangat penting untuk mengendalikan impor limbah dan mengurangi dampak lingkungan di Malaysia dengan efektif.”