1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Malaysia Liberalisasi Ekonominya

30 Juni 2009

Perekonomian Malaysia pun tidak luput dari dampak krisis keuangan global dan terancam resesi. Terutama sektor ekspornya yang merasakan dampak buruk krisis.

PM Malaysia Najib RazakFoto: AP

Untuk merintangi perkembangan tersebut Selasa ini (30/6) Perdana Menteri Malaysia Najib Razak mengumumkan akan meliberalisasi perekonomian Malaysia. Investor asing kini diperbolehkan bergerak lebih leluasa di Malaysia.

Salah satu kebijakan liberalisasi ekonomi Malaysia adalah menghapuskan kewajiban untuk menyisihkan 30% saham perusahaan untuk etnis Melayu atau bumiputra. Pemerintah Malaysia juga telah menghapus peraturan mengenai investasi asing. Kebijakan tersebut melonggarkan batasan jumlah saham yang dapat dimiliki oleh investor asing di sektor finansial. Dari 49% ditingkatkan menjadi 70%. Sektor lain pun diliberalisasi guna meningkatkan investasi asing di Malaysia. Langkah-langkah ini diambil terutama karena ada penurunan tajam volume investasi asing langsung dan melesunya investasi domestik sejak krisis keuangan Asia 1998. Padahal Malaysia ketika itu bisa dibilang terselamatkan dari krisis Asia, karena tidak bersedia menerima bantuan dari lembaga monter internasional (IMF) dan berhasil mengatasi sendiri krisis keuangannya.

Perekonomian Malaysia yang sangat bergantung pada sektor manufaktur turut terkena dampak resesi global. Bulan lalu, pemerintah Malaysia menyetujui program stimulus ekonomi senilai 60 miliar ringgit atau sekitar 16 milyar dolar AS untuk memperlambat laju resesi.

Kewajiban untuk memperoleh persetujuan pemerintah, dari Foreign Investment Commitee (FIC) atau Komiti Investasi Asing, terkait transaksi modal asing juga dihapus. Selain itu, investor asing juga tidak lagi harus mendapatkan persetujuan pemerintah untuk merger dan akuisisi.

FIC merupakan bagian dari program Malaysia yang disebut New Economic Policy (NEP) atau Kebijakan Ekonomi Baru, yang dicetuskan di tahun 70an, guna meningkatkan kemandirian ekonomi etnis Melayu yang mendominasi negara itu. Kebijakan tersebut dibuat setelah kerusuhan rasial antara etnis Cina dan orang Melayu yang terjadi tahun 1969. Dimana saat itu sektor bisnis dirasakan terlalu didominasi oleh warga Cina. Kebijakan itu ditujukan untuk mengimbangi dominasi warga Cina di sektor bisnis. Selain itu, etnis Melayu diberi kemudahan dalam soal perumahan, pendidikan dan pekerjaan.

Sejumlah kalangan mengritik kebijakan ekonomi baru itu karena telah menghambat pertumbuhan ekonomi Malaysia, membuka lahan korupsi dan lebih menguntungkan perusahaan yang dikelola pribumi. PM Najib Razak juga menilai kebijakan itu tidak berhasil menekan angka kemiskinan.

Para ekonom menyambut baik langkah liberalisasi tersebut, terutama setelah pemerintah mengumumkan kemungkinan terjadinya resesi mengingat perekonomian Malaysia diprediksi akan berkontraksi 5% pada tahun ini dan penanaman modal asing semakin anjlok.

an/ek/dpa/rtre