1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Mampukah Indonesia Hapus Pernikahan Anak?

29 Agustus 2017

Indonesia masih bergulat dengan fenomena pernikahan anak yang masih marak. Tantangan itu ditanggapi oleh seorang gadis muda dengan membentuk koalisi 18+. Kisahnya diharapkan bisa menjadi motivasi buat perempuan lain.

Indonesien Kinderhochzeit in Cipayung, West Java
Foto: picture alliance/dpa/A. Pathoni

Seperti kebanyakan remaja perempuan di desa, Sanita Rini awalnya hendak dinikahkan dengan pemuda dewasa, ketika usianya baru beranjak 13 tahun. "Saya terkejut. Saya menangis dan marah," ujarnya kepada Reuters. "Saya tahu dari teman yang menikah muda, mereka tidak bisa lanjut bersekolah. Kehidupan mereka berakhir," kata perempuan yang kini berusia 22 tahun itu.

Indonesia tercaat sebagai salah satu negara dengan tingkat pernikahan anak tertinggi di dunia. Badan PBB UNICEF mencatat satu dari empat remaja putri menikah sebelum berusia 18 tahun. Rata-rata 3.500 perempuan di bawah umur menikah setiap hari di Indonesia.

Tapi berbeda dengan perempuan lain, Rini berhasil meyakinkan orangtuanya untuk membatalkan pernikahan. "Saya tanya ke orangtua berapa uang yang sudah mereka keluarkan buat membiayai pendidikan saya. Saya berjanji mengganti uang itu jika mereka mengizinkan saya melanjutkan sekolah. Jika saya menikah, mereka tidak akan mendapat kembali uangnya," tutur Rini.

Perempuan muda itu kini berkeliling dunia buat menceritakan kisahnya dan berkampanye menentang pernikahan dini di Indonesia. "Saya ingin mengatakan kepada para perempuan bahwa mereka tidak sendirian," ujarnya. "Mereka punya kekuatan untuk bilang tidak."

Bersama aktivis lainnya, Rini mendirikan Koalisi 18+ yang mengkampanyekan pernikahan di atas 18 tahun.

Perkawinan di usia dini dianggap pelanggaran dasar hak asasi anak, karena kerap membatasi akses pendidikan dan berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan pada perempuan. Saat ini Indonesia masih memperbolehkan pernikahan buat perempuan berusia 16 tahun.

rzn/ap (reuters)