1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialGlobal

Mampukah Media Sosial Pengaruhi Hasil Pemilu?

Jeannette Cwienk
14 Januari 2025

Kasus dugaan manipulasi media sosial sampai memaksa Rumania mengulangi pemilu, sementara Elon Musk mengkampanyekan partai-partai ultrakanan di platform X. Seberapa besar peran media sosial bagi kelangsungan demokrasi?

Logo Meta dan Google
Ilustrasi: Logo Meta dan GoogleFoto: Dado Ruvic/REUTERS

Bagi manusia terkaya di dunia Elon Musk, jelas siapa yang pantas memenangkan pemilihan umum dini di Jerman pada 23 Februari mendatang: Alternatif untuk Jerman, AfD. Menurutnya, cuma partai ultrakanan itu yang bisa menyelamatkan Jerman, tulisnya di platform X.

Musk bahkan mengundang Ketua Umum AfD Alice Weidel ke dalam sebuah diskusi daring, yang direspons partai dengan berkampanye.

Di ranah media sosial, terutama TikTok, AfD diakui lihai menjaring minat kaum muda dengan uraian sederhana dan mudah dicerna. Ragam video yang mewakili posisi AfD di TikTok sudah ditonton ratusan ribu kali.

Menurut konsultan politik dan komunikasi Johannes Hillje, video AfD ditonton rata-rata lebih dari 430.000 kali pada tahun 2022 dan 2023. Sebagai perbandingan: Hasil tersebut jauh mengungguli posisi kedua yang dipegang partai konservatif CDU/CSU, dengan rata-rata sekitar 90.000 penayangan.

Media sosial untungkan spektrum kanan?

Tidak, kata Andreas Jungherr, Profesor Ilmu Politik dan Transformasi Digital di Universitas Otto-Friedrich di Bamberg. "Alternative für Deutschland (AfD) sudah sejak sangat awal berkecimpung di media sosial, dan telah mempelajari pendekatan mana yang berhasil di sana."

"Pengalaman tersebut menguntungkan dalam memperluas jangkauan, tetapi tidak menjamin keberhasilan pemilu," kata Jungherr. Hal ini terbukti pada kampanye calon presiden AS Kamala Harris yang meraih kesuksesan besar di media sosial, tapi tidak cukup untuk memenangkan pemilu.

Apakah TikTok Mendorong Kaum Muda untuk Memilih AfD?

01:04

This browser does not support the video element.

Bagaimana media sosial pengaruhi pandangan politik?

Fenomena "gelembung filter" muncul di ruang daring karena hasil pencarian atau konten bersifat personal. Algoritma menentukan apa yang dilihat pengguna. Dalam media sosial, suatu algoritma bisa memprioritaskan konten dari tokoh terkenal, atau konten yang disukai dan ramai dikomentari. Algoritma juga bisa dilatih agar tidak menampilkan konten sama sekali jika sering diabaikan.

Hal ini menciptakan perspektif yang berat sebelah alias bias. Artinya, informasi yang tersaji di ruang baca hanya memperkuat pandangan politik pengguna, tapi menghilangkan perspektif lain.

"Itulah sebabnya media sosial hanya memiliki pengaruh yang sangat kecil terhadap keputusan pemungutan suara," kata Judith Möller, guru besar ilmu komunikasi di Institut Leibniz untuk Penelitian Media yang menyelidiki efek media sosial.

"Keputusan untuk memilih memiliki banyak penyebab yang berbeda. Tergantung di mana dan bagaimana Anda tumbuh dewasa, pengalaman pribadi apa yang Anda miliki - terutama dalam beberapa minggu terakhir sebelum pemilihan - atau dengan siapa lagi Anda berbicara tentang pemilihan dan politik," kata Möller menambahkan.

Menurutnya, faktor yang sama juga memengaruhi media apa yang kita gunakan dan sebesar apa efeknya.

Partai baru, misalnya, dapat dengan cepat terlihat di media sosial, karena pada dasarnya hanya menjangkau pengikut sendiri, ditambah segelintir orang yang belum menentukan pilihan. "Anda hampir tidak dapat meyakinkan orang lain tentang sesuatu yang baru, Anda hanya dapat meyakinkan mereka tentang apa yang mereka telah yakini," imbuhnya.

Officials fear Musk will try to tip German election to AfD

02:17

This browser does not support the video element.

Berita palsu dan ujaran kebencian

Pakar meyakini, verifikasi informasi palsu akan menjadi lebih bermasalah di masa mendatang. Dan berita palsu kemungkinan akan meningkat jika Meta, seperti yang diumumkan oleh pendirinya Marc Zuckerberg, mengabaikan pemeriksaan fakta profesional di platform media sosialnya seperti Facebook atau Instagram, serta akan semakin jarang memblokir konten bermasalah.

Ada dua efek yang diamati Prof. Dr. Nicole Krämer, kepala Departemen Psikologi Sosial, Media dan Komunikasi di Universitas Duisburg-Essen. Di satu sisi, survei memperlihatkan bahwa masyarakat tidak mau mempercayai disinformasi. "Semakin penting suatu pertanyaan bagi kehidupan seseorang, semakin mahir mereka dalam mencari informasi yang benar-benar membantu, yaitu yang kredibel dan juga berimbang," kata dia.

Namun di sisi lain, jika informasi palsu dapat dianggap benar, jika sesuai dengan persepsi pribadi pengguna, "bahkan jika mereka awalnya berpikir tidak mungkin," kata Krämer. Menurutnya, ada mekanisme lain yang terlibat. "Semakin sering Anda mendengar, membaca, atau melihat pesan palsu, semakin besar kemungkinan pesan itu akan tertanam dalam ingatan Anda." Artinya, informasi palsu bisa mengakar kuat, meski sebenarnya ingin dihindari.

Jumlah informasi palsu di media sosial juga dapat meningkat karena semakin sedikitnya keragaman pandangan yang beredar, kata Judith Möller. Penyebabnya adalah maraknya budaya percakapan beracun yang sarat hinaan dan ujaran kebencian. "Akibatnya, kelompok tertentu menjauh dari diskusi. Hanya mereka yang mampu menghadapi budaya percakapan yang beracun ini yang terus berpartisipasi."

Diskursus media sosial cerminan pendapat masyarakat?

"Suka atau tidak, diskusi di media sosial tidak boleh diabaikan, kata Philipp Müller, penasihat akademis di Institut Studi Media dan Komunikasi di Universitas Mannheim, tapi juga tidak dilebihkan.

"Media sosial menyajikan pandangan yang menyimpang tentang realitas dengan cara tertentu. Sering kali, posisi yang selama ini diabaikan justru terlalu ditekankan dan terlihat lebih dominan daripada realita di masyarakat secara keseluruhan." Hal ini juga berlaku untuk gerakan progresif dalam beberapa tahun terakhir, seperti toleransi terhadap identitas gender yang berbeda.

Andreas Jungherr melihat media sosial sebagai semacam ujian bagi demokrasi. Media digital membuat garis pertentangan antara berbagai posisi dalam masyarakat terlihat lebih jelas. Namun, ia tidak menggambarkan garis tersebut dengan tepat.

Itulah sebabnya, pengguna diminta mempertanyakan ulang, "apakah ini benar-benar masalah bagi masyarakat secara keseluruhan? Apa fakta-fakta tentang hal ini? "Dan jika ini benar-benar masalah, dapatkah kita menyelesaikannya secara politis?," tanya dia.

Namun jika suatu masyarakat menekan pembahasan sebuah masalah, alih-alih menyelesaikan dan menempatkannya dalam konteks, maka, kata Jungherr, "demokrasi telah kehilangan kesempatan."

Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Jerman

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait