Ketika agresi Cina di Laut Cina Selatan kian menguat, TNI masih sibuk mengurus ancaman hantu komunisme dan separatisme. Mampukah TNI melindungi klaim teritorial Indonesia seperti yang diminta Presiden Joko Widodo?
Iklan
Susi Pudjiastuti bukan figur yang dikenal gemar bermanis kata. Namun keluhannya tentang kesiapan TNI menjaga kedaulatan maritim Indonesia terdengar sayup di tengah kegaduhan soal ambisi politik Panglima Gatot Nurmantyo. "Pemerintah tidak memperbaiki sistem alutsista untuk sektor kelautan, sebaliknya malah fokus melindungi daratan," cetusnya seperti dilansir Jakarta Post.
Keluhan menteri kelautan dan perikanan itu bukan tanpa alasan. Sejak tujuh dekade silam TNI diplot untuk melindungi kedaulatan di darat dari kekuatan kolonial dan gelombang separatisme. Hingga kini tulang punggung pertahanan Indonesia adalah Angkatan Darat, yang mengklaim 80% dari 400.000 prajurit TNI. Padahal, kata Susi, 70% wilayah Indonesia merupakan lautan.
Saat ini Angkatan Laut Indonesia punya 7 kapal fregat, 24 korvet, 4 kapal selam, 12 kapal penyapu ranjau dan 72 kapal patroli. Meski terdengar banyak, lebih dari separuh armada laut Indonesia telah berusia uzur dan harus dipensiunkan dalam beberapa tahun ke depan. Kekuatan TNI jauh berada di bawah Cina yang saat ini pun sedang giat menambah armada kapal induk, kapal berkapasitas berat, dan kapal selam untuk melindungi klaim teritorialnya di Laut Cina Selatan.
Kekuatan Militer Cina
Baru-baru ini Cina meningkatkan anggaran pertahanan. Kebijakan itu dinilai sebagai persiapan Beijing atas konflik di Laut Cina Selatan. Cina sejak lama berambisi menguasai jalur dagang paling gemuk di dunia itu.
Foto: Reuters
Berjuta Serdadu, Minim Pengalaman
Cina yang memiliki hampir dua juta serdadu tercatat sebagai kekuatan tempur terbesar di dunia. Ditambah dengan usia generasi muda yang mencapai usia wajib militer setiap tahun sebesar 19 juta orang, Beijing tidak pernah kekurangan serdadu. Kelemahan terbesar Cina adalah pengalaman. Sebab itu Beijing kini mulai mengirimkan tentaranya ke berbagai misi PBB di seluruh dunia.
Foto: picture-alliance/dpa
Pesawat Tempur
Saat ini sekitar 2500 pesawat tempur dimiliki oleh Angkatan Udara Cina. Kebanyakan berasal dari produksi dalam negeri yang mencontoh jet tempur Rusia, seperti Sukhoi Su-27 dan Su-33 untuk Angakatan Laut. Tapi baru-baru ini Cina menuntaskan produksi pesawat tempur siluman J-31. Kehadiran jet besi berwarna hitam ini membuat banyak negara Asia mempertimbangkan membeli pesawat siluman F-35 dari AS.
Foto: picture-alliance/dpa
Meriam Api
Militer Cina dilengkapi dengan 1770 sistem peluncur roket dan sekitar 6000 meriam artileri. Tapi bukan itu yang membuat Tentara Pembebasan Rakyat Cina ditakuti, melainkan roket berhulu ledak nuklir yang dimilikinya. Dari sekitar 400 roket peluncur, Cina memiliki 20 Peluru kendali balistik antar benua, Dongfeng 5, yang berdaya jelajah 13.000 kilometer.
Foto: Getty Images
Kendaraan Lapis Baja
Setelah Rusia, Cina adalah negara ke-dua di dunia yang paling banyak memiliki kendaraan tempur lapis baja. Saat ini jumlahnya sekitar 10.000 unit. Tidak jelas berapa yang masih layak tempur. Namun Main Battle Tank teranyar milik Cina, yakni Tipe 99, diakui oleh berbagai pakar sebagai satu dari 12 tank tempur terbaik di dunia.
Foto: Getty Images
Kapal Induk Liaoning
Sejak beberapa tahun lalu Cina akhirnya memiliki kapal induk sendiri yang berasal dari kelas Admiral Kutznesov bernama Liaoning. Dalam sebuah ujicoba di Laut Cina Selatan, kapal berbobot 61 ribu ton ini mengangkut pesawat tempur Shenyang J-15 yang mirip Sukhoi Su-33, serta helikopter pengangkut Rusia Kamov Ka-31. Kehadiran Liaoning dianggap menegaskan ambisi Beijing menguasai Laut Cina Selatan.
Foto: Reuters
5 foto1 | 5
Beijing juga aktif membangun pangkalan militer di Kepulauan Spratly, termasuk landasan pacu. Menurut pengamat, Indonesia hanya punya waktu 15 menit untuk mempersiapkan pertahanan di Natuna jika Cina melancarkan serangan udara dari Laut Cina Selatan.
Maka pembelian alutsista untuk pertahanan udara dan laut yang dilakukan pemerintah belakangan ini ibarat setetes air di padang pasir. Agustus silam Indonesia menyepakati pembelian 11 Sukhoi SU-35 dan menerima kapal selam seberat 1.400 ton buatan Daewoo, Korea Selatan. Sementara kapal perang teranyar milik TNI adalah 4 kapal perusak berpeluru kendali kelas SIGMA yang dibeli dari Belanda lebih dari sepuluh tahun silam.
Selain keterbatasan alat, TNI juga ditengarai kerepotan menggalang ketahanan energi. Hal ini pertamakali diungkapkan ke publik oleh Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo pada 2013 silam. "TNI enggak punya ketahanan energi. Pesawat ada, kapal ada, tapi tidak bisa digerakkan dengan air," ujarnya seperti dilansir Tirto.co.id.
Perlu diakui, melindungi wilayah perairan yang membentang sepanjang 5.000 kilometer dari timur ke barat bukan tugas ringan. Tugas tersebut menjadi lebih rumit ketika Cina menggunakan nelayan sipil untuk mengokohkan klaim teritorialnya atas kawasan perairan di sekitar kepulauan Natuna. Tahun 2016 silam, ketika Indonesia berusaha menangkap kapal nelayan ilegal asal Cina, Pasukan Penjaga Pantai dari negeri tirai bambu itu bereaksi cepat melindungi warganya.
Saling Tikam Berebut Laut Cina Selatan
Konflik Laut Cina Selatan menjadi ujian terbesar Cina buat menjadi negara adidaya. Meski bersifat regional, konflik itu mendunia dan mengundang campur tangan pemain besar, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Bersekutu dengan Rusia
Cina sendirian dalam konflik seputar Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut Cina Selatan. Kecuali Rusia yang rutin menggelar latihan militer bersama (Gambar), negeri tirai bambu itu tidak banyak mendulang dukungan atas klaim teritorialnya. Terutama karena klaim Beijing bertentangan dengan hukum laut internasional.
Foto: picture-alliance/AP Images/Color China Photo/Z. Lei
David Versus Goliath
Secara umum Cina berhadapan dengan enam negara dalam konflik di Laut Cina Selatan, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Brunai dan Filipina yang didukung Amerika Serikat. Dengan lihai Beijing menjauhkan aktor besar lain dari konflik, semisal India atau Indonesia. Laut Cina Selatan tergolong strategis karena merupakan salah satu jalur dagang paling gemuk di dunia dan ditengarai kaya akan sumber daya alam.
Foto: DW
Diplomasi Beton
Ketika jalur diplomasi buntu, satu-satunya cara untuk mengokohkan klaim wilayah adalah dengan membangun sesuatu. Cara yang sama ditempuh Malaysia dalam konflik pulau Sipadan dan Ligitan dengan Indonesia. Berbeda dengan Malaysia, Cina lebih banyak memperkuat infrastruktur militer di pulau-pulau yang diklaimnya.
Foto: CSIS, IHS Jane's
Reaksi Filipina
Langkah serupa diterapkan Filipina. Negara kepulauan itu belakangan mulai rajin membangun di pulau-pulau yang diklaimnya, antara lain San Cay Reef (gambar). Beberapa pulau digunakan Manila untuk menempatkan kekuatan militer, kendati tidak semewah Cina yang sudah membangun bandar udara di kepulauan Spratly.
Foto: CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/DigitalGlobe
Di Bawah Naungan Paman Sam
Filipina boleh jadi adalah kekuatan militer terbesar selain Cina dalam konflik di perairan tersebut. Jika Beijing menggandeng Rusia, Filipina sejak dulu erat bertalian dengan Amerika Serikat. Secara rutin kedua negara menggelar latihan militer bersama. Terakhir kedua negara melakukan manuver terbesar dengan melibatkan lebih dari 1000 serdadu AS.
Foto: Reuters/E. De Castro
Indonesia Memantau
Indonesia pada dasarnya menolak klaim Cina, karena ikut melibas wilayah laut di sekitar kepulauan Natuna. Kendati tidak terlibat, TNI diperintahkan untuk sigap menghadapi konflik yang diyakini akan menjadi sumber malapetaka terbesar di Asia itu. Tahun lalu TNI mengerahkan semua kekuatan tempur milik Armada Barat untuk melakukan manuver perang di sekitar Natuna.
Foto: AFP/Getty Images/J. Kriswanto
Bersiap Menghadapi Perang
TNI juga membentuk Komando Operasi Khusus Gabungan untuk menangkal ancaman dari utara. Komando tersebut melibatkan lusinan kapal perang, tank tempur amfibi dan pesawat tempur jenis Sukhoi.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Indonesia Tolak Klaim Cina
Cina berupaya menjauhkan Indonesia dari konflik dengan mengakui kedaulatan RI di kepualuan Natuna dan meminta kesediaan Jakarta sebagai mediator. Walaupun begitu kapal perang Cina berulangkali dideteksi memasuki wilayah perairan Natuna tanpa koordinasi. Secara umum sikap kedua negara saling diwarnai kecurigaan, terutama setelah Presiden Jokowi mengatakan klaim Cina tidak memiliki dasar hukum
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
AS Tidak Tinggal Diam
Pertengahan Mei 2015 Kementrian Pertahanan AS mengumumkan pihaknya tengah menguji opsi mengirimkan kapal perang ke Laut Cina Selatan. Beberapa pengamat meyakini, Washington akan menggeser kekuatan lautnya ke Armada ketujuh di Pasifik demi menangkal ancaman dari Cina.
Foto: U.S. Navy/Anna Wade/Released
9 foto1 | 9
Susi pernah mengklaim kerugian yang ditanggung Indonesia dari penangkapan ilegal sudah mencapai 240 trilyun Rupiah per tahun. Namun upayanya menghalau nelayan asing terbentur keterbatasan alat. "Fasilitas yang ada sangat terbatas. Kita hanya punya beberapa kapal patroli kecil," imbuh sang menteri.
Ancaman dari Laut Cina Selatan bukan satu-satunya tantangan yang harus dihadapi Indonesia. Sejak beberapa tahun silam TNI AL juga sibuk mengawasi perairan di sekitar Laut Sulu dan Celebes untuk meredam geliat terorisme yang sedang mengakar di Filipina. Provinsi Sulawesi Utara hanya berjarak 300km dari Mindanao yang sering didera terorisme lintas batas.
Sebab itu pula polemik seputar hak politik TNI dinilai tiba pada saat yang tidak tepat. "Sampai kapanpun juga kita harus waspada terhadap upaya dari luar yang merongrong keutuhan wilayah Indonesia," kata Presiden Joko Widodo dalam sambutan HUT ke-72 TNI di Cilegon, Rabu (5/10). Isyarat dari Istana Negara itu sulit dilewatkan, TNI harus fokus ke luar, bukan ke dalam.
Arah kebijakan pertahanan yang dilantunkan Istana tidak berbanding lurus dengan strategi militer Cilangkap. Kepada Tirto, Kusnanto Anggoro, peneliti politik dan keamanan internasional sekaligus dosen di Universitas Pertahanan Indonesia, mengatakan desain pertahanan yang tertuang dalam kebijakan Minimum Essential Force hingga 2024 masih berkutat pada ancaman internal berupa "separatisme dalam negeri."
"Melihat konstelasi Cina di Laut Cina Selatan, kisruh mereka dengan India dan penempatan pasukan AS di Darwin, saya tidak yakin TNI hanya cukup mengurus pertahanan internal sampai 2024," katanya.
Sejauh ini petinggi militer lebih suka tenggelam pada romantisme perang kemerdekaan. "Kita akan berjuang sampai titik darah penghabisan," kata Panglima TNI Gatot Nurmantyo ihwal ancaman dari Laut Cina Selatan. Tidak berbeda dengan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. "Kita punya 100 juta rakyat. Ada yang berani menyerang 100 juta? Pasti tidak berani."
Kekuatan Laut Negara yang Bertikai di Laut Cina Selatan
Sebanyak 7 negara terlibat dalam konflik teritorial di Laut Cina Selatan, termasuk juga Indonesia. Tapi sebesar apa kekuatan angkatan laut masing-masing negara yang bertikai?
Cina setidaknya memiliki satu kapal induk, yakni Liaoning, dan berniat membangun satu kapal induk lain, Warjag. Selain itu negeri tirai bambu ini juga menguasai 57 kapal selam, 78 kapal fregat dan kapal perusak , 27 korvet, 180 kapal patroli, 52 kapal pendarat dan 523 kapal penjaga pantai. Secara umum Angkatan Laut Cina memiliki 235.000 pasukan yang terbagi dalam tiga armada.
Foto: Reuters/Stringer
Singapura
Meski negara pulau, angkatan laut Singapura hanya memiliki 3.000 pasukan yang bertugas mengamankan wilayah perairan dari perompak. Secara umum negeri jiran ini menguasai 4 kapal selam, 6 kapal fregat dan kapal perusak, 6 kapal korvet, 29 kapal patroli dan 102 kapal penjaga pantai.
Foto: picture-alliance/dpa/J. Drake
Thailand
Meski tidak terlibat konflik secara langsung, posisi Thailand turut dipertimbangkan dalam konflik Laut Cina Selatan. Beranggotakan 44.000 tentara, angkatan laut negeri gajah putih ini memiliki satu kapal induk helikopter buatan Spanyol, HTMS Chakri Naruebet, 9 kapal fregat dan perusak, 7 kapal korvet, 77 kapal patroli, 2 kapal pendarat dan 94 kapal penjaga pantai.
Foto: Ponchai Kittiwongsakul/AFP/Getty Images
Filipina
Dari semua negara, angkatan laut Filipina dengan 24.000 personil termasuk yang paling lemah, terutama jika mempertimbangkan posisinya dalam konflik di Laut Cina Selatan. Jiran di utara ini hanya memiliki 4 kapal fregat buatan Amerika Serikat, 10 unit korvet yang sebagian sudah menua, 66 kapal patroli, 4 kapal pendarat dan 72 kapal penjaga pantai.
Foto: Reuters/Maritime Staff Office of the Defense Ministry of Japan
Vietnam
Vietnam banyak membenahi kekuatan angkatan lautnya sejak beberapa tahun terakhir. Kini angkatan laut Vietnam yang beranggotakan 40.000 serdadu memiliki 7 kapal selam anyar kelas Kilo buatan Rusia, 2 kapal fregat, 7 kapal korvet, 61 kapal patroli, 8 kapal pendarat tank dan 78 kapal penjaga pantai.
Foto: picture-alliance/Russian Look
Indonesia
Belakangan Jakarta meningkatkan pengamanan di perairan Natuna. Saat ini Indonesia adalah kekuatan terbesar kedua setelah Cina dalam konflik di Laut Cina Selatan. TNI AL saat ini memiliki 2 kapal selam, 12 kapal fregat dan perusak, 27 korvet, 64 kapal patroli, 19 kapal pendarat tank dan 43 kapal penjaga pantai. Namun begitu usia armada laut Indonesia juga tergolong yang paling tua di kawasan.
Foto: AFP/Getty Images/J. Kriswanto
Malaysia
Kekuatan angkatan laut Malaysia yang berkekuatan 14.000 personil hampir menyaingi Indonesia. Selain 2 kapal selam anyar buatan Spanyol, Malaysia juga memiliki 10 kapal fregat atau perusak, 4 kapal korvet buatan Jerman, 33 kapal patroli dan 317 kapal penjaga pantai. (rzn/hp - sumber: IISS, SIPRI)