Mantan PM Thailand Tolak Dakwaan Pembunuhan
13 Desember 2012Mantan Perdana Menteri Thailand, Abhisit Vejjajiva hari Kamis (13/12) menyangkal tuduhan telah memerintahkan penggunaan peluru tajam untuk membubarkan demonstran pada tahun 2010. "Saya akan melawannya secara hukum dan menerima keputusan yang dijatuhkan”, ungkap Abhisit.
Dalam rangkaian aksi protes kaum oposisi baju merah pada April-Mai 2010, seluruhnya 92 orang tewas, termasuk demonstran, polisi dan tentara.
"Saya akan melawannya secara hukum dan menerima keputusan yang dijatuhkan”, ungkap Abhisit. Hal itu diutarakan setelah mendengarkan daftar tuntutan yang diajukan badan investigasi khusus Thailand, DSI.
Di laporannya tertera bahwa ia dan wakil PM saat itu, Suthep Thaungsuban, bertanggung jawab atas pembunuhan karena telah mengotorisir tindakan keras militer terhadap demonstran anti pemerintah. Hal itu antara lain menyebabkan kematian Phan Khamlong, seorang supir taksi.
Tidak Niat Lukai Demonstran
September lalu, sebuah pengadilan Thailand menyimpulkan bahwa Phan tewas ditangan pasukan keamanan, tapi luput menyebutkan nama komandan maupun tentara yang bertanggung jawab.
Usai interogasi DSI yang berlangsung selama empat jam, Abhisit Vejjajiva mengaku yakin bahwa tidak ada niat untuk melukai para demonstran. Kini DSI akan mengajukan kasus itu ke kejaksaan agar mantan Perdana Menteri beserta wakilnya diadili.
Abhisit Vejjajiva, pemimpin Partai Demokrat yang kini menjadi oposisi mengatakan bahwa tuduhan ini diluncurkan untuk menekan dia dan Suthep untuk menyetujui amnesty umum bagi para politisi yang terlibat dalam konflik pasca kudeta 2006 terhadap mantan PM Thaksin Shinawatra.
"Apa yang kita lihat di sini bermotif politik”, komentar Vejjajiva mengenai kasusnya. Sebuah amnesti umum akan memungkinkan Thaksin Shinawatra untuk kembali ke Thailand tanpa menuntaskan hukuman dua tahun penjara yang dijatuhkan padanya. Saat ini adik kandung Thaksin, Yingluck Shinawatra memimpin partai Pheu Thai dan menjabat Perdana Menteri Thailand.
Penggunaan Kekerasan
Thailand berulang kali menggunakan kekerasan untuk menghadapi demonstan, misalnya di tahun 1973, 1976 dan 1992, hingga kini belum ada pemimpin negara yang digiring ke pengadilan akibat kematian yang diakibatkan.
Aktivis organisasi pemantau hak asasi Human Rights Watch, Sunai Pasuk menilai kasus ini memberikan isyarat yang simpang siur. “Di satu pihak, ini kasus preseden dimana seorang pemimpin dipaksa bertanggung jawab atas keputusannya, di pihak lain, politisasi kasus ini mengkhawatirkan.
EK/ML (afp, dpa)