1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Terorisme

Manuver Yusril dan Wara Wiri Pembebasan Ba'asyir

23 Januari 2019

Wacana pembebasan Abu Bakar Ba'asyir menjadi bumerang buat presiden Joko Widodo. Langkah tersebut dinilai bermotif politik, karena diawali upaya lobi Yusril Ihza Mahendra yang dinilai punya kepentingan sendiri.

Indonesien Prozess Abu Bakar Bashir
Foto: Getty Images/U. Ifansasti

Sebanyak 4.408 narapidana di Indonesia berusia lanjut, kenapa hanya Abu Bakar Ba'asyir yang mendapat perlakuan istimewa?, tanya pengamat terorisme Sidney Jones ketika mengomentari alasan "kemanusiaan" yang dijadikan pertimbangan Presiden Joko Widodo untuk membebaskan pendiri Jamaat Ansharut Tauhid tersebut.

"Dia tidak pernah mengajukan grasi kepada presiden", tukas Sidney saat dihubungi Deutsche Welle. Menurutnya "perlakuan khusus" terhadap Ba'asyir sulit dibenarkan, karena menyangkut "orang yang mendukung kekerasan terhadap kaum tak berdosa, menolak demokrasi dan melawan pemerintah."

Jadi bumerang buat Jokowi

Polemik seputar pembebasan Ba'asyir pun menjadi bumerang buat pemerintah menyusul protes berbagai kalangan terhadap rencana tersebut. Kritik bahkan datang dari para pendukung Presiden Joko Widodo sendiri. Pemerintah Australia juga ikut mendesak Jokowi agar mempertimbangkan perasaan keluarga korban teror.

Menyusul hujan kecaman, pemerintah berkilah pembebasan Ba'asyir baru sebatas wacana yang sedang dikaji. Hal itu ditekankan ulang Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto saat menggelar konferensi pers dadakan pada Senin (21/1) malam. Menurutnya pembebasan Ba'asyir belum diputuskan menyusul berbagai pertimbangan terkait ideologi Pancasila dll.

Sebab itu Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Ifdhal Kasim menilai media terlalu dini mengabarkan pembebasan, meski belum ada keputusan apapun. "Kesalahannya terjadi pada pemberitaan," katanya kepada DW. "Pemberitaannya seakan-akan sudah ada eksekusi, padahal kan sebenarnya masih dalam taraf mendiskusikan," imbuhnya mengomentari pernyataan Presiden Jokowi pada Jumat (18/1) yang mengungkit "pertimbangan lama" berupa alasan kemanusiaan. "Beliau kan sudah sepuh," tuturnya dalam kunjungan kerja di Garut.

Ba'asyir saat ini berusia 81 tahun dan dikabarkan berada dalam kondisi kesehatan yang buruk, dan sebab itu "memerlukan intervensi segera," kata Ifdhal. Seharusnya dia sudah bisa dibebaskan pada 13 Desember silam lantaran telah menjalani dua pertiga masa tahanan, yakni sembilan dari 15 tahun penjara. Saat itu pun Ba'asyir sudah menolak mengakui syarat yang diajukan pemerintah.

Baca juga: Polemik Pembebasan Ba'asyir, Apa Kata Pengamat?

Manuver Yusril melobi presiden

Namun wacana pembebasannya secara serius digarap kembali ketika kuasa hukum Ba'asyir, Yusril Ihza Mahendra melobi presiden, kisahnya lagi. Yusril, kata Ifdhal, "menyarankan beberapa langkah yang harus dilakukan presiden." Alasan pembebasan dengan dalih "kemanusiaan," juga diajukan "atas saran dari pak Yusril," kata dia sebelum menambahkan, "tapi kan dia (presiden) juga menyatakan ini akan dibahas lagi di rapat kabinet."

Sejak Senin pemerintah menegaskan hanya akan mengkaji pembebasan Ba'asyir dengan syarat menyatakan kesetiaan pada Pancasila.

Namun Yusril punya pandangan lain terkait pembicaraannya dengan presiden. Setelah menerima lampu hijau dari Jokowi, dia langsung menyambangi Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur buat mengabarkan Ba'asyir.  "Pak Jokowi mengatakan bahwa dibebaskan jangan ada syarat-syarat yang memberatkan beliau. Jadi, beliau menerima semua itu," kata Yusril usai bertemu terpidana seperti dilansir harian Merdeka.

Hal ini dibantah oleh Presiden Jokowi sendiri pada Selasa (22/01), "syaratnya kan harus dipenuhi. Kalau nggak, saya nggak mungkin nabrak," ujarnya kepada media-media di tanah air. Jokowi sejak tahun lalu memang sudah berniat meringankan hukuman terhadap Ba'asyir berupa pemindahan status menjadi tahanan rumah dengan alasan serupa. Saat itu Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu sendiri yang mengakui gagasan tersebut berasal langsung dari presiden.

Argumen pendekatan deradikalisasi

Ifdhal Kasim menegaskan presiden ingin menggunakan pendekatan lembut dalam kasus Ba'asyir agar dia bersedia mendukung program deradikalisasi. Kisah Umar Patek yang kini bekerja untuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) turut dijadikan contoh. Umar alias Hisyam merupakan terpidana bom natal 2000 dan dijebloskan ke penjara pada 2012 silam.

"Tapi kita melihat pendekatan itu tidak terlalu efektif pada beliau, sebab itu mau gak mau pemerintah mengambil kebijakan hukum yang tegas," kata Ifdhal. 

Baca juga: PM Australia Serukan Indonesia untuk Menghormati Australia Sehubungan Rencana Pembebasan Ba'asyir

Namun niat ini pun ditepis pakar Terorisme Sidney Jones. "Dia adalah orang yang bisa menghasut orang untuk berjihad atas nama Islam," dan sebab itu pembebasannya, meski baru sebatas wacana, "adalah hal yang signifikan," kata dia. Menurutnya sosok Ba'asyir "tidak akan berdampak positif pada program deradikalisasi karena dia tidak pernah mengubah sikapnya terhadap kekerasan."

Pemerintah pun menjadi bulan-bulanan terkait isu pembebasan Amir Majelis Mujahidin Indonesia itu. Manuver Yusril juga memicu perpecahan di dalam koalisi partai pendukung Jokowi. Muhammad Guntur Romli dari Partai Solidaritas Indonesia, mencurigai Yusril memiliki "kepentingan politik pribadi" ketika melobi presiden buat membebaskan Ba'asyir.

"Sikap Yusril yang grasak-grusuk ini tidak hanya merugikan Abu Bakar Baasyir yang merupakan kliennya, juga Presiden Joko Widodo yang menjadi sasaran kemarahan publik,” kata dia kepada Suara.com.

Tak urung Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai pemerintah bersikap "amatir" dalam melakukan manuver politik "untuk menaikkan elektabilitas," katanya seperti dilansir Tribunnews. Hal senada diungkapkan Sidney Jones yang menilai momentum pembebasan Ba'asyir yang terlalu dekat dengan pemilu memicu spekulasi terkait muatan politik di balik kebijakan tersebut.

Saat ini pembebasan Ba'asyir resmi dibatalkan lantaran yang bersangkutan menolak patuh pada syarat yang diajukan pemerintah

.

Ed: AS

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait