Belakangan ini ramai pembicaraan tentang boleh-tidaknya masjid dijadikan sebagai tempat untuk membincang masalah kepolitikan. Bagaimana menurut pendapat Anda? Berikut opini Sumanto Qurtuby.
Iklan
Baik yang pro maupun kontra sama-sama menjadikan teks-teks keislaman, ayat-ayat Al-Qur'an serta Hadis dan perilaku Nabi Muhammad sebagai acuan atau "basis teologi-keagamaan” untuk memperkuat atau melegitimasi pendapat dan argumen mereka.
Kelompok yang membolehkan misalnya mengatakan dan mengklaim kalau dulu Nabi Muhammad selalu menjadikan masjid sebagai medium untuk membincang masalah kepolitikan, selain untuk ceramah dan salat atau sembahyang.
Saya sendiri berpendapat tidak masalah membicarakan masalah kepolitikan di masjid. Tetapi menjadi masalah kalau masjid dipolitisir atau dipolitisasi sedemikian rupa untuk kepentingan politik praktis–kekuasaan dan menjadikan masjid sebagai alat untuk menyebarkan berbagai hoaks, agitasi, fitnah, kampanye, dan propaganda hitam untuk menjatuhkan lawan politik (meskipun sesama Muslim) dan memecah-belah masyarakat dan umat Islam.
Maka, untuk menjaga situasi kondusif di masyarakat yang majemuk, masjid memang sebaiknya jangan digunakan sebagai alat untuk kepentingan politik praktis. Bukan hanya itu saja, masjid idealnya juga jangan dipakai sebagai medium untuk menyebarkan intoleransi dan kebencian terhadap kelompok lain apalagi terhadap sesama umat Islam itu sendiri.
Dalam sejarahnya, memang benar Nabi Muhammad menjadikan masjid sebagai tempat untuk berpolitik. Dulu, masjid, yang secara harfiah berarti "tempat sujud” (atau tempat bersujud / menyembah kepada Tuhan), bukan hanya tempat untuk bersujud, salat, berdoa, dzikir, wiridan, khotbah dan sebagainya tetapi juga untuk kegiatan sosial, politik, pendidikan, dan kemiliteran. Masjid juga dijadikan sebagai "tempat pengadilan” jika terjadi masalah-masalah hukum menyangkut kaum Muslim. Dengan kata lain, masjid di zaman nabi memiliki multifungsi dari masalah teologi-keagamaan hingga masalah sosial-kemasyarakatan.
Masjid Termegah di Dunia
Dari Mekah ke Medinah, dari Yerusalem hingga Casablanca, bahkan dari Rusia hingga Roma, berdiri masjid-masjid termegah di dunia. Berikut di antaranya.
Foto: picture-alliance/dpa
Masjidil Haram di Mekah
Ini adalah masjid terbesar di dunia dengan luas 350 ribu meter persegi. Masjid tujuan utama ibadah haji ini dibangun pada abad ke-16 dan memiliki sembilan menara. Dari waktu ke waktu, masjid ini terus diperluas. Masjid al Haram kini bisa menampung hingga satu juta orang.
Foto: picture-alliance/dAP Photo/K. Mohammed
Masjid Nabawi di Madinah
Setelah Masjid al-Haram di Mekah, masjid terpenting lainnya di dunia adalah Masjid Nabawi. Makam Nabi Muhammad dan para sahabatnya terdapat di sini. Batu pondasi diletakkan pada tahun 622. Masjid ini bisa menampung 600 ribu orang. Masing-masing menara tingginya sekitar 100 meter.
Foto: picture-alliance/epa
Masjid Al-Aqsa di Yerusalem
Masjid Al-Aqsa di Kota Tua Yerusalem dapat menampung 5000 orang. Bersama dengan Kubah Batu dengan kubah berlapis emas, masjid ini menjadi salah satu yang paling terkenal, setelah masjid Al-Haram di Mekah dan masjid Nabawi di Madinah. Masjid Al-Aqsa dibuka sejak tahun 717.
Foto: picture alliance/CPA Media
Masjid Hassan II di Casablanca
Masjid di pantai Atlantik ini dinamakan sesuai nama mantan Raja Maroko Hassan II. Masjid dibangun untuk memperingati ulang tahunnya ke-60 dan diresmikan tahun 1993. Sebenarnya ada masjid yang jauh lebih besar, tetapi rekor dunia yang dipegang masjid ini adalah ketinggian menaranya yang mencapai lebih dari 210 meter.
Foto: picture alliance/Arco Images
Masjid Sheikh Zayed di Abu Dhabi
Masjid ini dibuka pada tahun 2007 dan merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Masjid ini luasnya 224 x 174 meter, dengan menara setinggi lebih dari 107 meter. Kubah utamanya yang berdiameter 32 meter, merupakan kubah masjid terbesar di dunia.
Foto: imago/T. Müller
Masjid Agung Roma
Ibu kota Katolik Roma, memiliki sebuah masjid agung. Dengan luas 30.000 meter persegi, masjid ini menjadi yang terbesar di Eropa. Pusat Kebudayaan Islam Italia bermarkas di sini. Mereka menyediakan layanan budaya dan sosial bagi umat Islam Sunni dan Syiah. Bangunan suci ini diresmikan tahun 1995.
Foto: picture-alliance/akg-images
Masjid Akhmad Kadyrov di Grozny
Masjid ini dinamai sesuai nama mantan Presiden Chechnya yang juga seorang Mufti dan wafat dalam serangan tahun 2004. Pembangunan masjid terganggu beberapa kali karena perang Chechnya. Masjid ini dibangun oleh perusahaan Turki dan dibuka tahun 2008. Karena sering gempa bumi di wilayah tersebut, masjid dibangun di atas pondasi tahan gempa.
Foto: picture-alliance/dpa/RIA Novosti/A. Kudenko
Masjid Kul Sharif di Kazan
Nama masjid Kul Sharif mengingatkan pada Imam terakhir dari Kazan sebelum dicaplok Rusia. Masjid ini bertetangga dengan Katedral Annunciation. Keduanya menjadi simbol dari keharmonisan penduduk Muslim dan Ortodoks Tatarstan (wilayah otonom di Rusia). Setelah sembilan tahun dibangun, masjid ini dibuka tahun 2005,
Foto: Maxim Marmur/AFP/Getty Images
Masjid Agung Moskow
Di Moskow, ibukota Rusia terdapat salah satu masjid terbesar di Eropa, yang kembali diresmikan tahun 2015. Bangunan enam lantai ini luasnya hampir 20.000 meter persegi dan ruangannya bisa memuat 10.000 orang. Saat peresmian kembali oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin hadir presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan dan pemimpin Palestina, Mahmud Abbas.
Foto: Getty Images/AFP/V. Maximov
9 foto1 | 9
Kenapa begitu?
Karena dulu, masjid yang diadopsi dari tradisi pra-Islam Nabatea dan Aram ini, adalah satu-satunya bangunan publik yang dimiliki oleh umat Islam awal. Itupun jumlahnya cuma satu dua. Di zaman Nabi Muhammad hanya ada segelintir masjid, yaitu Masjid Haram (Makah), Masjid Nabawi (Madinah), dan Masjid Quba' (Madinah). Ada pula yang mengatakan termasuk masjid tertua adalah Masjid Sahabat di Massawa, Eritrea, yang dipercaya sebagai masjid pertama di Benua Afrika yang dibangun oleh para sahabat nabi untuk menghindari persekusi yang dilakukan oleh kaum kafir Makah. Sejumlah sejarawan menilai Masjid Quba' sebagai masjid pertama yang dibangun oleh Nabi Muhammad.
Jadi, karena dulu masjid adalah satu-satunya bangunan publik maka sangat wajar kalau semua aktivitas nabi dan umat Islam awal dipusatkan di masjid. Dulu madrasah, perpustakaan, pengadilan, apalagi kantor ormas dan parpol, belum ada. Madrasah, kampus, pengadilan, dan perpustakaan baru ada di abad pertengahan Islam di zaman kerajaan jauh setelah wafatnya Nabi Muhammad.
Selain itu, Nabi Muhammad menggunakan masjid sebagai medium berpolitik untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam agar mampu bertahan hidup dari gempuran kelompok non-Muslim, khususnya di kawasan Jazirah Arab, yang memusuhi dakwah-dakwah sosial-keagamaan Nabi Muhammad. Perlu diingat, waktu itu tidak semua kaum non-Muslim itu memusuhi Nabi Muhammad. Banyak dari mereka (karena diikat oleh solidaritas suku, kesamaan visi-misi, atau kepentingan politik-ekonomi yang sama) yang membangun koalisi dengan beliau melawan kaum oposan.
Rumah Ibadah: Bentuk Penghargaan Keyakinan
Jerman membuka diri untuk berbagai keyakinan. Di antaranya terlihat dari pembangunan rumah-rumah ibadah Muslim, yang diharapkan menjadi bagian dari integrasi antar budaya.
Foto: Getty Images
Mesjid Merkez di Duisburg
Diawali perdebatan selama enam tahun dan tahap perencanaan, yang disusul proses pembangunan selama enam tahun, akhirnya Mesjid Merkez di Duisburg berdiri pada tahun 2008. The Turkish-Islamic Union for Religious Affairs (DITIB) mendanai pembangunan mesjid ini. Mesjid ini juga digunakan sebagai wadah berdialog antar umat beragama.
Foto: Getty Images
Mesjid Gaya Klasik
Sekitar 1.200 orang bisa berkumpul di bawah kubah mesjid Merkez yang bergaya klasik ini. Ruang bawah tanah bangunan tersebut berisi perpustakaan. Ada lagi ruangan seluas 1.000 meter persegi yang bisa dipakai untuk acara khusus.
Foto: Getty Images
Koeksistensi Agama
Bahkan politisi Jerman konservatif menyerukan umat Islam untuk membangun mesjid. Di negara bagian Bayern ada beberapa tempat ibadah Muslim di lingkungan Katolik. Mesjid Kanun i Sultan Süleyman di kota Neu-Ulm selesai pada tahun 2006.
Foto: dapd
Mesjid Komunitas Turki di Berlin
Ada sekitar 80 mesjid dan mushola di Berlin. Kebanyakan dari bangunan-bangunan itu hampir tidak dikenali, karena banyak yang ukurannya kecil dan terletak di halaman belakang. Mesjid Sehitlik didirikan di distrik Tempelhof, di lokasi pemakaman Turki tertua di Eropa Tengah. Dua menara ramping mesjid mencapai lebih dari 30 meter yang menjulang ke langit.
Foto: Getty Images
Mesjid Utama di Köln
Terjadi aksi protes besar selama perencanaan mesjid baru di kota Köln. Pembangunannya dimulai pada bulan November 2009. Ukuran bangunan dan tampilannya menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat dan politisi Köln. Ini menjadi salah satu sebab tertundanya pembukaan mesjid sampai tahun 2013.
Foto: picture-alliance/dpa
Mesjid di bekas ibukota
Mesjid Al Muhajirin merupakan salah satu mesjid di kota Bonn, Jerman. Bekas ibukota Jerman saat ini memiliki sekitar sembilan mesjid.
Foto: Al-Muhajirin Moschee Bonn e.V.
Gambaran Islam
Banyak komunitas Muslim yang berpikiran terbuka yang mendukung integrasi ke dalam masyarakat Jerman, ada juga pendatang dari kelompok yang radikal. Mesjid Al Muhsinin Salafi di Bonn telah lama berada di bawah pengawasan badan keamanan Jerman. Itu salah satu dari 30 lokasi yang diduga menjadi bagian dari jaringan Islam fundamental.
Foto: picture-alliance/JOKER
Tempat Pertemuan Jihadis
Mesjid kecil di daerah perumahan juga ada. Misalnya Mesjid Falah di Frankfurt. Dinas keamanan Jerman sempat menggerebek masjid ini, atas dugaan keterlibatan dengan terorisme.
Foto: dapd
Tempat Pertemuan Modern
Banyak komunitas Muslim yang berkomitmen untuk dialog antaragama. Komunitas Muslim Frankfurt, yang mulai dengan kegiatan mahasiswa, memulai dialog antaragama pada awal tahun 1960-an. Sekarang mereka kerap bertemu di aula doa Masjid Abu Bakr. Di sini, pengunjung bisa mendapatkan wawasan tentang agama dan budaya Muslim di Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
Terbuka dan Modern
Forum Islam di Penzberg, München dikelola masyarakat yang menggambarkan dirinya sebagai warga independen, multinasional, netral dan terbuka. Karakteristik tersebut tercermin dalam arsitektur mesjid, yang dibuka pada tahun 2005, dengan bagian depan gedung berkilau biru yang terbuat dari ribuan keping kaca dan menara baja halusnya.
Foto: picture-alliance/dpa
Mesjid DITIB di Göttingen
Mesjid DITIB di Göttingen adalah bangunan baru lainnya, yang dibuka pada tahun 2007. Umatnya kebanyakan warga berlatar belakang Turki. Mesjid itu memiliki hubungan dengan komunitas mahasiswa Muslim Universitas Göttingen. Mereka menawarkan bantuan kepada anak-anak untuk menyelesaikan pekerjaan rumah mereka dan aktif terlibat dalam integrasi sosial.
Foto: picture-alliance/dpa
Mesjid Keempat Tertua di Jerman
Islamic Center di Hamburg adalah salah satu institusi Muslim tertua di Eropa dan merupakan pusat Islam Syiah di Jerman. Mesjid Imam Ali dibiayai oleh komunitas bisnis Iran pada tahun 1960-an. Meski badan-badan keamanan Jerman melakukan pengawasan terhadapnya, masjid ini tetap menyajikan gambaran keterbukaan.
Foto: Getty Images
12 foto1 | 12
Hal ini tentu saja sangat kontras dengan perkembangan mutakhir di Indonesia dimana masjid dan musala atau langgar digunakan untuk alat penyebaran hoaks, kampanye, dan propaganda busuk guna memusuhi sesama umat Islam itu sendiri yang kebetulan memiliki kepentingan politik yang berbeda dengan "rezim masjid” yang bersekongkol dengan "rezim parpol” tertentu. Masjid bukannnya dipakai untuk berdakwah dan memperjuangkan kesejahteraan umat Islam tetapi malah digunakan untuk memecah-belah kaum Muslim.
Jakarta, pada waktu Pilgub yang lalu, menjadi saksi bisu bagaimana masjid-masjid telah "diperkosa” dan dipolitisasi sedemikian rupa oleh "sindikat busuk” dan gerombolan para "badut” politik-agama yang haus kekuasaan. Bahkan bukan hanya di Jakarta, virus kebusukan, kejahatan, dan politisasi masjid itu juga menular dan menjalar di kawasan lain di Indonesia. Demi memuluskan jalan kepentingan politik praktis kekuasaan, mereka tidak segan-segan memakai cara-cara kotor: menyalahgunakan fungsi masjid, memanipulasi hadis, "memperkosa” ayat, dan "menipu” Tuhan.
Dalam konteks sejarah Islam, Muawiyah bin Abu Sofyan (w. 680), pendiri Dinasti Umayah yang berbasis di Damaskus, berserta keturunan, keluarga, teman, pemandu sorak, dan antek-anteknya (kecuali Umar bin Abdul Aziz, w. 720) yang hobi menggunakan dan memolitisir fungsi masjid dengan cara-cara kotor sebagai alat kampanye dan propaganda hitam untuk kepentingan politik praktis kekuasaan. Oleh mereka, masjid-masjid dipakai untuk mengkhotbahkan dan mewartakan kebusukan dan menyerang umat Islam yang kontra dengan rezim Umayah, khususnya dari kelompok-kelompok Islam-Arab yang menjadi "musuh bebuyutan” Bani Umayah, yaitu faksi Ali dan Bani Hasyim.
Inilah Masjid Liberal Pertama di Jerman
Imamnya seorang perempuan dan tak berjilbab. Di masjid ini, laki laki dan perempuan salat di saf yang sama. Sunni, Syiah, anggota komunitas LGTBQ - kesemuanya diterima di masjid ini tanpa prasangka.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Sohn
Dibidani pengacara kelahiran Turki
Seorang pengacara kelahiran Turki. Seyran Ates meresmikan "Masjid Liberal" ini di Berlin, Jerman. Dia mendeklarasikan diri sebagai imam perempuan di masjid ini. Berlatar belakang profesi pengacara, dia bertahun-tahun berjuang melawan kekerasan dalam rumah tangga, pembunuhan demi kehormatan dan pernikahan paksa.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Sohn
Membantu kaum perempuan tertindas
Keluarga Seyran Ates pindah dari Turki ke Jerman saat ia berusia 6 tahun. Dia kuliah jurusan hukum dan bekerja sebagai pengacara di Berlin. Dengan dana sendiri, dia berhasil membuka kantor konsultasi untuk perempuan Turki. Seyran Ates yang kini berusia 54 tahun menjalani pendidikan sebagai imam. Tahun 2017, Seyran mewujudkan impiannya, membuka sebuah masjid di Berlin.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Stache
Potret keberagaman
Nama masjid itu: "Masjid Ibn-Ruschd-Goethe". Nama tersebut diambil dari nama pemikir Arab Ibnu Rusyd, yang juga dikenal sebagai Averroes (1126 - 1198) dan nama pemikir dan penyair Jerman Johann Wolfgang von Goethe. Lokasi masjid berada di lantai tiga gedung Gereja Protestan Sankt-Johannes-Kirche di kawasan Moabit, di ibukota Jerman. Di dekatnya ada rumah makan India dan Vietnam.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Stache
Tak ada yang bernikab ataupun burka
Meski terbuka untuk umum, Islam yang dipraktikkan di Masjid Ibn-Ruschd-Goethe menurut pendirinya adalah Islam dengan pendekatan "historis-kritis". Tidak nampak, perempuan yang datang dengan nikab atau burka ke masjid ini. Menurut imam di masjid ini, nikab atau burka tidak banyak hubungannya dengan agama, melainkan lebih pada suatu pernyataan politis.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Gambarini
Dialog antar agama
Menurut Seyran, Islam harus mampu memperbarui dirinya. Karena makin banyak umat muslim yang kini merindukan Islam yang damai, yang memelihara dialog dengan agama-agama lain. Namun masjid dengan pemahaman semacam itu masih terlalu sedikit di Eropa.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Sohn
Beribadah berdampingan
Tak seperti masjid pada umumnya, di sini laki-laki dan perempuan beribadah berdampingan. Imam perempuannya pun tidak mengenakan jilbab. Sunni, Syiah, anggota komunitas LGTBQ - semuanya diterima bersholat Jum'at di Masjid Ibn Rusyd-Goethe di Berlin.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Gambarini
Dihujani kecaman
Begitu dibuka Juni 2017, keberadaan masjid ini langsung mendapat gempuran kritik. Surat kabar pro-pemerintah Turki, Sabah menyebutnya "tidak masuk akal" bahwa peribadatan berlangsung di sebuah gereja. Harian Pakistan mengkritik fakta bahwa perempuan berdampingan dalam satu saf dengan pria saat menjalankan sholat.
Foto: DW/S.Kinkartz
Siapa yang menjamin keamanan?
Pada hari pembukaan masjid, beberapa orang khawatir bahwa masjid tersebut dapat menarik para ekstrimis. Untuk menjaga keamanan, pengurus masjid menjalin kontak erat dengan polisi dan kantor jawatan kriminal negara bagian.
Foto: DW/S.Kinkartz
‘Salam, Ibu Imam‘
Imam Seyran Ates merupakan penulis buku "Selam, Frau Imamin" (Salam, Ibu Imam). Buku itu berisi kritik terhadap gejala radikalisme Islam di Jerman. Di buku itu, Seyran juga mengingatkan makna kebebasan beragama, kesetaraan hak antara lelaki dan perempuan dan hak atas orientasi seksual. Ironisnya, radikalisme berkembang, tapi umat Muslim berhaluan liberal tidak memiliki tempat di Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Gambarini
9 foto1 | 9
Mengembalikan fungsi masjid
Maka, umat Islam kontemporer yang menggunakan cara-cara busuk melalui mimbar-mimbar masjid untuk mengegolkan atau mempertahankan kekuasaan dengan cara menyebarkan kebencian dan caci-maki terhadap sesama umat Islam itu sendiri, pada hakikatnya adalah "keturunan” atau "anak ideologis” dari Muawiyah dan anaknya Yazid yang terkenal dalam sejarah Islam sebagai pemimpin bengal, kejam, dan haus kekuasaan.
Sudah saatnya umat Islam Indonesia harus mengembalikan fungsi masjid untuk kepentingan dakwah dan kegiatan positif yang menyangkut hajat hidup orang banyak serta membangun spirit toleransi di kalangan masyarakat. Sudah saatnya kaum Muslim menghentikan membincang politik praktis di masjid yang lebih banyak membawa kemudlaratan ketimbang kemaslahatan.
Masjid harus dijadikan sebagai "tempat sakral” yang bebas atau steril dari kepentingan politik praktis tertentu. Ingat, jamaah dan komunitas masjid berasal dari beragam kelompok umat Islam, bukan melulu kaum partisan dan pendukung parpol dan paslon tertentu. Para takmir masjid dan jajarannya perlu menyadari pluralitas dan kompleksitas umat Islam.
Maka, demi mewujudkan kemaslahatan umat Islam dan menjaga harmoni masyarakat yang plural dan kompleks itu, para takmir, khotib dan pengurus masjid serta umat Islam pada umumnya wajid hukumnya menjadikan masjid sebagai tempat pemersatu dan bukannya pemecah belah kaum Muslim sehingga misi Islam sebagai "agama rahmat bagi alam semesta” betul-betul terwujud di masyarakat.
Ada Masjid Kapal 'Nabi Nuh' di Semarang
Sebuah masjid unik berbentuk kapal menarik perhatian pengunjung di Semarang. Masyarakat menyebutnya mirip seperti bahtera nabi Nuh.
Foto: Imago
Bagaikan bahtera Nabi Nuh
Masjid ini disebut "masjid kapal" karena bentuknya seperti kapal. Orang-orang membayangkan bahtera Nabi Nuh yang menyelamatkan pengikutnya berikut makhluk hidup lainnya, saat diterjang banjir bandang. Masjid tersebut terletak di sebuah perkampungan dekat hutan di Kelurahan Podorejo, Kecamatan Ngaliyan, Semarang, Jawa Tengah.
Foto: Imago
Lengkap dengan buritan dan haluan
Pendirinya, seorang kyai bernama Achmad. Luas masjid ini 2.500 meter persegi. Bagaikan bahtera, masjid ini dilengkapi semacam buritan dan haluan.
Foto: Imago
Jendelanya puluhan
Ada enam pintu utama dalam masjid tersebut, sementara jumlah jendelanya mencapai lebih dari 70 buah dengan model bagai jendela kapal. Nantinya, warga juga bisa menggunakan sarana di masjid untuk pertemuan, hajatan, atau bahkan resepsi perkawinan.
Foto: Imago
Dibangun tiga lantai
Masjid ini berlantai tiga. Lantai pertama dapat dimanfaatkan sebagai ruang pertemuan, tempat wudu, dan toilet. Lantai duanya berfungsi sebagai masjid, sementara lantai tiganya bisa dipakai untuk kegiatan mengajar, perpustakaan dan balai karya. Klinik dan asrama putri bakal tersedia pula di kompleks masjid ini.
Foto: Imago
Pemandangan hijau
Ke depan, masjid ini juga bisa menjadi salah satu lokasi wisata karena keunikannya. Masjid ini berada di tengah hutan dan sawah. Menteri Pariwisata Arief Yahya tak ketinggalan turut mendorong warga mengunjungi masjid tersebut, agar semakin dikenal masyarakat. Ed: ap/vlz (berbagai sumber)
Foto: Imago
5 foto1 | 5
Penulis: Sumanto Al Qurtuby (ap/vlz)
Sumanto Al Qurtuby adalah anggota dewan pendiri Nusantara Kita Foundation dan Presiden Nusantara Institute. Ia juga Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama. Ia telah menulis lebih dari 20 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Hari Masjid Terbuka di Jerman
Sekitar 1000 masjid di Jerman membuka pintu pada 3 Oktober dengan motto "Tetangga rukun, Masyarakat lebih baik." Kegiatan ini setiap tahun digelar bersamaan dengan peringatan Hari Reunifikasi Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa/U. Baumgarten
Masjid-masjid di Jerman dibuka pada Hari Reunifikasi
"Hari Masjid Terbuka" telah berlangsung sejak 1997 pada peringatan Reunifikasi Jerman, 3 Oktober. Tanggal itu sengaja dipilih untuk mengungkapkan hubungan warga Muslim dengan warga Jerman lain. Dewan Pusat Muslim di Jerman mengharapkan kunjungan sekitar 100.000 orang ke masjid-masjid. Dalam foto terlihat beberapa orang berdiri di depan Masjid Sehitlik di Berlin.
Foto: picture-alliance/dpa/P. Zinken
Masjid untuk semua
Setiap 3 Oktober, komunitas Muslim ingin warga Jerman bisa berkenalan dengan Islam. Karena itu, pintu-pintu masjid dibuka. Masjid lebih dari sekedar tempat untuk sholat, masjid juga berfungsi sebagai tempat pertemuan untuk menciptakan interaksi masyarakat dan ikatan sosial.
Foto: picture-alliance/dpa/Paul Zinken
Ritual dan aturan
Bagian dari "mengenal Islam" adalah mengenal ritual dan peraturannya. Salah satunya, sebelum masuk masjid harus melepas sepatu ketika memasuki ruang sholat. Lalu ada ritual untuk kebersihan dan pemurnian: sebelum berdoa, umat Islam melakukan wudhu.
Foto: picture-alliance/dpa/U. Baumgarten
Arsitektur dan sejarah
Kebanyakan masjid menawarkan tur dengan pemandu, seperti dalam foto di atas di masjid di Hürth dekat Cologne. Di sini, pengunjung bisa mendapatkan gambaran arsitektur Islam, sejarah dan kehidupan sehari-hari di sebuah masjid. Untuk membantu agar warga Jerman lebih mengerti tentang kegiatan komunitas Islam di dekatnya.
Foto: picture-alliance/dpa/U. Baumgarten
Berbagi semangat spiritual
Masjid Merkez di Duisburg, yang diresmikan tahun 2008, adalah masjid terbesar di Jerman. Pekerjaan integrasi adalah salah satu kegiatan penting bagi komunitas Muslim Duisburg. Selain berkeliling masjid ditemani pemandu, pengunjung juga berkesempatan menghadiri acara siang dan sore hari.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Skolimowska
Melihat dan mendengar
Melihat dan mendengar sholat Islam adalah salah satu agenda acara Masjid Terbuka. Tapi pengunjung tidak boleh turun ke area orang yang lagi sholat. Di masjid Sehitlik, Berlin, pengunjung mendengarkan doa dari tribun.
Foto: picture-alliance/dpa/H. Hanschke
Dialog antar budaya
Masjid-masjid di Jerman juga membuka pintu mereka untuk acara budaya pada kesempatan lain juga. Misalnya, selama Konvensi Gereja Katolik Jerman, para biarawati Katolik berkunjung ke masjid seperti Masjid Yavuz Sultan Selim di Mannheim. Kesempatan semacam itu menawarkan peluang bagi umat beragama menumbuhkan hubungan dekat.
Foto: picture-alliance/dpa
Menghapus prasangka
Masjid di Dresden mengundang pengunjung untuk saling kenal. Masjid Al-Mostafa membagikan jadwal acara: ada ceramah tentang Islam, Nabi Muhammad dan Alquran, ada juga acara diskusi dan belajar bersama.