Pemilihan pemimpin apapun, di manapun, bukan untuk memilih yang terbaik tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa. Jadi, jangan golput. Sepakat? Ikuti opini Ananda Sukarlan.
Iklan
Sewaktu kecil saya pernah bercita-cita menjadi Wakil Presiden. Saya kira pekerjaannya cuma saat bangun tidur mengecek "Presiden hari ini OK?". Kalau OK, saya bisa main piano seharian, kalau tidak, baru deh saya terpaksa kerja.
Sejak Jokowi menunjuk Ma'ruf Amin menjadi pendampingnya untuk Pilpres 2019, banyak yang menyatakan untuk menjadi "golput" (golongan putih / tidak memilih), dengan adanya rapor merah urusan Hak Asasi Manusia baik dari kedua belah kubu. Apakah keputusan ini bijaksana? Saya bukan peramal, maka saya ingin menganalisa akibat golput di beberapa kejadian beberapa tahun terakhir ini saja.
Belajar dari pengalaman Inggris
Aksi Brexit akhirnya membuat Inggris keluar dari Uni Eropa pada 2016. Dari sekitar 46 juta pemilih terdaftar, hanya 33,6 juta yang memilih, dengan selisih suara menang 1,2 juta. Jumlah pemilih terdaftar golput mencapai 28% atau tidak kurang dari 13 juta orang. Sebuah survey setelah referendum menyatakan bahwa 53,1% dari 28% itu cenderung memilih "remain" (tetap), dan mereka yakin bahwa tanpa suara mereka pun, "remain" tetap akan menjadi mayoritas karena secara logika menguntungkan negara, sedangkan yang benar-benar golput alias "tidak tahu memilih apa" hanya 32% dari 28% itu.
Masalah cuaca di London saat referendum juga berpengaruh besar, di mana saat itu sedang badai sehingga membuat orang (yang memang sudah kebanyakan apatis) malas keluar rumah.
Beberapa hasil riset terkait referendum itu menunjukkan bahwa pemilih terbanyak adalah berpendidikan tidak tinggi, kebanyakan berasal dari kalangan buruh.
Kerugian jangka pendek akibat Brexit memang masalah finansial, tapi jangka panjang akan menyangkut masalah sosial, kemajuan teknologi dan budaya karena Inggris akan terisolasi dari Eropa.
Siapa Calon Pemimpin Indonesia?
Hasil survey Saiful Mujani Research Centre belum banyak mengubah peta elektabilitas tokoh politik di Indonesia. Siapa saja yang berpeluang maju ke pemilu kepresidenan 2019.
Foto: Imago/Zumapress
1. Joko Widodo
Presiden Joko Widodo kokoh bertengger di puncak elektabilitas dengan 38,9% suara. Popularitas presiden saat ini "cendrung meningkat," kata Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan.
Foto: Reuters/Beawiharta
2. Prabowo Subianto
Untuk sosok yang sering absen dari kancah politik praktis pasca pemilu, nama Prabowo masih mampu menarik minat pemilih. Sebanyak 12% responden mengaku akan memilih mantan Pangkostrad itu sebagai presiden RI.
Foto: Reuters
3. Anies Baswedan
Selain Jokowi dan Prabowo, nama-nama lain yang muncul dalam survey belum mendapat banyak dukungan. Gubernur terpilih DKI Jakarta, Anies Baswedan, misalnya hanya mendapat 0,9%.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Agung Rajasa
4. Basuki Tjahaja Purnama
Nasib serupa dialami bekas Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama. Sosok yang kini mendekam di penjara lantaran kasus penistaan agama itu memperoleh 0,8% suara. Jumlah yang sama juga didapat Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.
Foto: Getty Images/T. Syuflana
5. Hary Tanoesoedibjo
Pemilik grup MNC ini mengubah haluan politiknya setelah terbelit kasus hukum berupa dugaan ancaman terhadap Kepala Subdirektorat Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Yulianto. Hary yang tadinya beroposisi, tiba-tiba merapat ke kubu Presiden Joko Widodo. Saat inielektabilitasnya bertengger di kisaran 0,6%
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Ibrahim
6. Agus Yudhoyono
Meski diusung sebagai calon pemimpin Indonesia masa depan, saat ini popularitas Agus Yudhoyono masih kalah dibanding ayahnya Soesilo Bambang Yudhoyono yang memperpoleh 1,9% suara. Agus yang mengorbankan karir di TNI demi berpolitik hanya mendapat 0,3% dukungan.
Foto: Getty Images/AFP/M. Naamani
7. Gatot Nurmantyo
Jumlah serupa didapat Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang belakangan terkesan berusaha membangun basis dukungan. Nurmantyo hanya mendapat 0,3%. Meski begitu tingkat elektabilitas tokoh-tokoh ini akan banyak berubah jika bursa pencalonan sudah mulai dibuka, klaim SMRC.
Di Amerika Serikat, sejak Trump menjadi Presiden telah banyak terjadi konflik dan kemunduran, baik di dalam negeri maupun hubungan dengan negara lain. Menurut wawancara The Guardian 18 November 2016 berjudul "I Never Thought Trump would Win", para pemilih yang tidak mau menggunakan suaranya beralasan "Clinton tokh akan menang tanpa suara saya. Siapa yang mau presiden yang rasis, fasis, bermoral buruk seperti Trump".
Partai-partai kecil yang pada pemilu-pemilu sebelumnya tidak pernah memperoleh banyak suara kali ini mendapatkan perolehan signifikan. Green Party mendapat 1 persen total suara, atau tiga kali lipat dari pilpres sebelumnya. Libertarian memperoleh 3 persen suara. Kalau saja para swing voters tersebut tetap memilih Partai Demokrat di negara bagian Wisconsin, Michigan dan Pennsylvania maka hasil akhir pemilihan presiden tentu akan berbeda. Hal tersebut membuat hilangnya 46 suara electoral college yang turut mempengaruhi menangnya partai Republikan, padahal Hillary Clinton memenangkan suara populer (jumlah suara kasar) dengan agregat lebih dari 1,3 juta suara.
Inilah Aktor Utama Penentu Masa Depan Dunia
20 kepala negara dan kepala pemerintahan terkemuka hadir dalam KTT G20 di Hamburg. Inilah aktor utama terpenting yang menentukan nasib dunia saat ini dan di masa depan.
Foto: picture-alliance/dpa/D. Reinhardt
Donald Trump
Tokoh paling penting adalah presiden AS Donald Trump. Lewat keputusan kontroversial, Trump membatalkan sejumlah kesepakatan global terpenting, antara lain Kesepakatan Iklim Paris dan zona perdagangan bebas. Presiden AS ini akan jadi aktor utama paling penting yang menentukan kemana arah politik global saat ini dan di masa depan.
Foto: Picture alliance/AP Images/J. Locher
Angela Merkel
Sebagai tuan rumah KTT G20 di Hamburg, Kanselir Jerman Angela Merkel memainkan peranan sentral sebagai pengimbang politik Trump. Merkel saat ini memegang posisi kuat baik di tatanan Eropa maupun internasional. Dijuluki pemimpin "negara merdeka" global, Merkel diharapkan jadi aktor yang bisa menyelamatkan masa depan dunia.
Foto: Reuters/F. Bensch
Vladimir Putin
Presiden Rusia, Vladimir Putin kini menjadi tokoh penting yang diperhitungkan di dalam G20 maupun di panggung politik internasional. Rusia jadi salah satu pemain utama dalam krisis Suriah, Kora Utara dan Ukraina. Pertemuan Putin-Trump akan jadi acara paling penting dalam KTT G20. Hubungan Rusia-AS saat ini pada posisi terburuk dalam dekade terakhir.
Foto: Reuters
Xi Jinping
Presiden Cina, Xi Jinping berambisi meningkatkan peranan negaranya di tatanan politik dunia. Politik Trump yang memicu isolasi AS, dimanfaat untuk makin mencuatkan peranan XI dalam isu perlindungan iklim dan perdagangan bebas. Dominasi Cina di Asia dan Afrika kini juga makin kokoh. Menjelang KTT G20, Xi juga melakukan pendekatan "Panda" kepada kanselir Jerman, Merkel.
Foto: picture-alliance/AP Photo/L. Hongguang
Recep Tayyip Erdogan
Posisi presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan makin kuat setelah menang referendum konstitusi. Turki kini bisa memainkan peranan menentukan, dalam mencari solusi berbagai konflik, antara lain dalam perang Suriah, perang melawan terorisme serta krisis pengungsi di Eropa. Erdogan kini memainkan kartunya dan menekan Uni Eropa serta Jerman yang dinilai memusuhi dia.
Foto: Getty Images/AFP/A. Altan
Emmanuel Macron
Presiden baru Perancis, Emmanuel Macron tiba-tiba jadi tokoh penting dalam pusaran politik Eropa dan dunia. Setelah hengkangnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit, Perancis kini memainkan peranan jadi mitra tandem terpenting bagi Jerman. Paling tidak, Macron ikut memainkan pernanan penting dan menentukan masa depan Uni Eropa dan juga dunia. (as/ml)
Foto: picture-alliance/abaca/C. Liewig
6 foto1 | 6
Apatisme menimbulkan banyak hasil yang tidak rasional
Kesimpulan dari banyak pengamat politik menunjukkan, apatisme menimbulkan banyak hasil yang tidak rasional. Sekarang rakyat Amerika Serikat dipertanyakan kebijaksanaan politiknya karena telah memilih seorang yang anti perbedaan, memiliki rapor merah dalam perlakuan terhadap perempuan serta imigran dan telah terbukti banyak berbohong.
Pemilihan pemimpin apapun, di manapun, bukan untuk memilih yang terbaik tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa. Tidak ada pemimpin yang sempurna baik kecerdasannya, ketulusannya maupun keserakahannya.
Yang harus dipilih adalah yang keburukannya paling sedikit di masa lalu, bukan yang penuh janji indah untuk masa depan.
Manusia cenderung untuk berbuat jahat jika ada kesempatan, jadi pilihlah pemimpin yang sudah membuktikan prestasi dan kebaikannya di masa lampau, karena seperti kata Abraham Lincoln, "Semua orang bisa tahan dengan kesengsaraan, tapi bila kau ingin mengetahui karakter seseorang, berilah dia kekuasaan."
Rakyat perlu pemimpin yang sudah teruji, dan ujian itu bisa dilihat dari apa yang dilakukan sang (calon) pemimpin saat ia dalam keadaan kritis maupun dalam keadaan berkuasa. Pilihlah pemimpin dengan cara membandingkan kebaikan dan keburukan masing-masing calon di masa lampau.
Terakhir, semoga tweet saya bulan Agustus lalu ini dapat membuat anda berpikir lagi :
@anandasukarlan
Selain sebagai komponis & pianis, A.Sukarlan juga aktif sebagai blogger di Andy Skyblogger's Log , dan membuat vlog di Youtube channelnya Ananda Sukarlan. Twitter & Instagramnya @anandasukarlan bukan hanya mengulas tentang musik, tapi masalah sosial, budaya dan politik pada umumnya. Ia membagi waktunya antara Spanyol (di rumahnya di perbukitan di Cantabria) dan Indonesia (di apartemennya di Jakarta).
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Tulis pendapat anda di kolom komentar di bawah ini.
Siapa Yang Masuk Bursa Cawapres 2019?
Bursa calon wakil presiden memanas kurang dari setahun menjelang Pilpres 2019. Sejumlah nama besar saat ini diisukan bakal menemani dua calon terkuat, Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Siapa saja?
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mahfud MD
Dari sekian banyak nama yang santer diisukan bakal mendampingi Joko Widodo pada Pilpres 2019, Mahfud MD termasuk yang paling berpotensi terpilih. Selain tidak berasal dari salah satu partai koalisi, ia juga memiliki reputasi tak tercela di kalangan pemilih muslim. Mahfud yang pernah aktif di Mahkamah Konstitusi dipercaya bisa membantu pemerintahan Jokowi mengawal penegakan hukum di Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Muhaimin Iskandar
Sejauh ini Cak Imin adalah satu-satunya pemimpin partai yang terang-terangan mendeklarasikan ambisinya merebut kursi cawapres. Kepada Jokowi atau Prabowo politisi Partai Kebangkitan Bangsa ini menawarkan dukungan kaum muslim NU yang berjumlah mayoritas di Jawa Tengah dan Timur. Meski mendukung Jokowi, Muhaimin juga dikabarkan bermain mata dengan Prabowo untuk dipasangkan dalam Pilpres 2019
Foto: picture-alliance/Pacific Press/A. Ally
Airlangga Hartarto
Serupa Cak Imin, Airlangga Hartarto didaulat sebagai cawapres pendamping Jokowi oleh partainya sendiri, yakni Golkar. Kendati begitu peluang milik putra bekas menteri perindustrian di era Orde Baru, Hartarto Sastrosoenarto, ini diyakini tidak besar. Golkar pun sudah mengumumkan bakal tetap mendukung pemerintahan Joko Widodo, dengan atau tanpa Airlangga Hartarto sebagai pendampingnya.
Foto: picture-alliance/dpa/B. Indahono
Sri Mulyani
Adalah kinerja dan reputasinya yang menempatkan Sri Mulyani dalam bursa calon wakil presiden. Namanya dikabarkan terjaring dalam daftar bakal cawapres versi PDI-P bersama Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiatsuti. Namun Sri mengaku tidak berambisi menduduki jabatan wakil presiden. Ia hanya berharap kembali dipercaya menggawangi Kementerian Keuangan.
Foto: picture-alliance/AA/S. Corum
TGB Zainul Majdi
TGB banyak mendapat sorotan usai mendeklarasikan dukungannya kepada Joko Widodo pasca Pilkada 2018. Klaim tersebut sontak mengundang kritik dari Partai Demokrat yang menaunginya. TGB masuk dalam bursa cawapres lantaran kedekatannya dengan pemilih muslim. Selain merupakan cucu KH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, pendiri Nahdlatul Wathan, Gubernur NTB ini juga berasal dari kalangan cendikia Islam.
Foto: Gemeinfrei
Anies Baswedan
Nama Anies Baswedan adalah yang paling panas dibahas dalam bursa cawapres untuk Prabowo Subianto. Keberhasilannya menumbangkan Basuki Tjahaja Purnama dalam Pilkada DKI 2017 dianggap sebagai pencapaian politik yang sekaligus menempatkan namanya untuk menduduki salah satu jabatan tertinggi di tanah air. Anies bahkan digadang-gadang bakal maju sebagai calon presiden, meski tanpa dukungan Gerindra.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Agus Harimurti Yudhoyono
Sejak Pilkada DKI 2017 hingga kini Agus Harimurti Yudhoyono (ki.) sudah bergerilya mencari suara. Ambisi sang ayah, Susilo Bambang Yudhoyono, menempatkan putranya di jabatan tertinggi di dalam negeri membuat Partai Demokrat sibuk mencari rekan koalisi untuk Pilpres 2019. Jika koalisi Gerindra-Demokrat menjadi kenyataan, duet Prabowo dan AHY diyakini bakal menajdi kenyataan.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Ahmad Heryawan
Saat ini Ahmad Heryawan sedang mencari pekerjaan baru setelah lengser dari jabatannya sebagai gubernur Jawa Barat. Sebagai politisi PKS, Aher membawa banyak keuntungan pada Prabowo Subianto: Dukungan pemilih muslim, mesin partai yang efektif dan pengalaman birokrasi. Selain Anies, Aher adalah nama yang paling santer diisukan bakal mendampingi Prabowo. rzn/hp (detik, kompas, tirto.id, katadata)