Dari sekian nama tokoh pahlawan kemerdekaan Indonesia, mungkin tidak ada sosok yang jasa besarnya lebih unik daripada B.M. Diah. Kenapa demikian? Simak opini Rahadian Rundjan.
Iklan
Saat itu dini hari 17 Agustus 1945, namun kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda di kawasan Menteng masih ramai. Sukarno, Hatta, serta Achmad Soebardjo baru saja merampungkan teks tertulis naskah Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang lalu disalin dan diketik ulang oleh Sayuti Melik.
Mungkin karena sudah merasa puas dengan versi ketikan, ditambah faktor kelelahan fisik dan mental, teks Proklamasi hasil tulisan tangan Sukarno yang memiliki nilai historis tinggi itu terbuang ke tong sampah oleh para perumusnya. Beruntung, Burhanuddin Mohammad Diah, atau yang lebih dikenal dengan nama B.M. Diah, seorang tokoh pemuda yang hadir pada saat itu berinisiatif untuk memungut dan menyimpannya.
Ada dua hal yang dapat dimengerti dari peristiwa ini. Pertama, bahwa kelalaian bangsa Indonesia dalam mengarsipkan dokumen penting sudah terjadi sejak negara ini diproklamasikan.
Presiden Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, mengakui bahwa ia bahkan juga tidak terpikir untuk "menyimpan pena bersejarah yang dipakai menuliskan kata-kata yang akan hidup abadi itu (naskah Proklamasi).”
Yang kedua, yakni fakta sederhana bahwa sejak awal partisipasi perseorangan merupakan komponen penting dalam dinamika arsip di Indonesia. Apa yang B.M. Diah lakukan saat itu, meski sekedar ‘memungut sampah', akhirnya berperan penting dalam pembangunan pemahaman terhadap sejarah perumusan naskah Proklamasi dengan lebih menyeluruh.
Naskah asli Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang diselamatkan oleh B.M. Diah disimpan olehnya secara pribadi selama 46 tahun sebelum akhirnya dikembalikan kepada Presiden Soeharto, selaku wakil negara Indonesia, pada tanggal 19 Mei 1992. Atas aksi heroik uniknya ini, saya rasa titel "Pahlawan Arsip” pertama bangsa Indonesia layak disematkan kepada pria berdarah Aceh tersebut.
Arsip dan Kejernihan Sejarah
Salah jika mengira bahwa arsip hanyalah puing-puing dari masa lalu yang lekat dengan kesan berdebu, kumuh, dan tidak penting. Nyatanya, ia adalah ingatan yang terekam; sebuah relikui yang membuat masa lalu terasa dekat dan dipahami oleh publik di masa kini. Karenanya, saya kira, sadar arsip merupakan titik tolak pembangunan mentalitas manusia Indonesia yang sadar akan sejarah.
Mudah dipahami mengapa B.M. Diah terpikir untuk menyelamatkan naskah teks Proklamasi, mengingat latar belakang profesionalnya di dunia pers yang tentu membuatnya peka akan nilai penting sebuah dokumentasi dan pemanfaatannya demi kepentingan publik. Sukarno berpesan, "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah,” yang artinya, publik Indonesia dituntut untuk selalu menghadirkan sejarah sebagai refleksi dalam menanggapi isu-isu kekinian.
Dalam hal seperti itulah peran arsip dan dokumentasi yang baik menjadi vital. Untuk bidang akademis, sejarawan memanfaatkan arsip untuk menulis sejarah yang bersumber pada kebenaran. Pun di bidang sosial kemasyarakatan, eksistensi arsip kerap kali menjadi kunci penyelesaian sengketa politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain.
Perang Diplomasi demi Kemerdekaan Indonesia
Tanpa diplomasi Sjahrir dan tekanan internasional, Belanda masih akan bercokol di Indonesia, kendati proklamasi 45. Inilah empat tahun bersejarah yang dipenuhi intrik politik, pengkhianatan dan agresi milliter Belanda
Foto: picture-alliance/ANP
Kapitulasi Jepang, September 1945
12 Agustus 45, tiga hari setelah bom atom menghancurkan Nagasaki, Panglima Militer Jepang, Jendral Terauchi Hisaichi mengundang Soekarno dan Radjiman Wedyodiningrat ke Da Lat, Vietnam. Kepada keduanya Hisaichi mengindikasikan Jepang akan menyerah kepada sekutu dan membiarkan proklamasi kemerdekaan RI. Baru pada 2 September Jepang secara resmi menyatakan kapitulasi di atas kapal USS Missouri.
Foto: picture-alliance/dpa/United States Library Of Congres
Proklamasi, Agustus 1945
Setibanya di Jakarta, Soekarno diculik oleh pemuda PETA ke Rengasdengklok. Di sana ia dipaksa mengumumkan kemerdekaan tanpa Jepang. Malam harinya Soekarno menyambangi Mayjen Nishimura Otoshi. Kendati tidak mendukung, Nishimura menawarkan rumahnya untuk dipakai merumuskan naskah proklamasi. Keesokan hari Soekarno dan Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia di Jl. Pegangsaan Timur No. 56
Foto: picture alliance/CPA Media
Kabinet Sjahrir I, November 1945
Soekarno dan Hatta diangkat sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia. Keduanya memerintahkan Sutan Sjahrir, diplomat ulung yang kemudian menjadi perdana menteri pertama, buat mencari pengakuan internasional. Tugas Sjahrir adalah mempersiapkan Indonesia menghadapi pertemuan Linggarjati. Pidatonya yang legendaris di sidang umum PBB 1947 hingga kini masih tercatat sebagai momen paling menentukan
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Perundingan Linggarjati, November 1946
Dalam pertemuan yang dimediasi Inggris, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia di Jawa, Madura dan Sumatera. Tapi Belanda nyaris bangkrut dan berniat mengamankan akses ke sumber daya alam Indonesia. Sjahrir yang ingin menghindari perang sempat menyetujui pemerintahan transisi di bawah kepemimpinan Belanda. Idenya ditolak Sukarno, dan Sjahrir harus mundur sebulan setelah penadatanganan perjanjian.
Foto: Public Domain
Agresi Militer I, Juli 1947
Akibatnya Belanda menyerbu Sumatera dan Jawa demi merebut sumber daya alam dan lahan pertanian. Apa yang oleh Indonesia disebut sebagai Agresi Militer, dinamakan Belanda "misi kepolisian" untuk menghindari campur tangan internasional. Parlemen Belanda awalnya menginginkan perluasan agresi buat merebut ibukota Yogyakarta, tapi ancaman sanksi PBB membuat Den Haag menarik pasukannya dari Indonesia.
Foto: picture alliance/Everett Collection
Perjanjian Renville, Desember 1947
Di atas kapal USS Renville, Indonesia berhasil memaksakan gencatan senjata, tapi kehilangan sebagian wilayahnya. Belanda cuma mengakui kedaulatan RI di Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera, serta meminta TNI menarik pasukannya dari wilayah pendudukan. Belanda kala itu sedang menunggu pemilu legislatif. Pemerintahan yang baru kemudian mengambil kebijakan yang lebih keras terhadap Indonesia.
Foto: Publilc Domain
Agresi Militer II, Desember 1948
Belanda memanfaatkan masa liburan natal PBB buat menggelar Agresi Militer II. 80.000 pasukan diterjunkan. Soekarno, Hatta dan Sjahrir ditangkap. Akibatnya Sjafruddin Prawiranegara diperintahkan membentuk pemerintahan darurat. Uniknya operasi militer di Indonesia didukung 60% penduduk Belanda. Sembilan hari setelah dimulainya agresi, PBB menelurkan dua resolusi yang menentang serangan Belanda
Foto: Getty Images/Keystone
Konferensi Meja Bundar, Agustus 1949
Setelah menjalin kesepakatan dalam perjanjian Roem Roijen, Indonesia dan Belanda sepakat bertemu di Den Haag atas desakan internasional. Belanda bersedia menarik mundur pasukan dan mengakui kedaulatan RI di semua kepulauan, kecuali Papua barat. Sebagai gantinya Indonesia harus membayar sebagian utang pemerintahan kolonial, termasuk yang dipakai untuk agresi militer selama perang kemerdekaan.
Foto: Getty Images/Keystone
Penyerahan Kedaulatan, Desember 1949
Ratu Juliana menandatangani akta penyerahan kedaulatan kepada RI di Amsterdam pada 27. Dezember 1949. Setelah kemerdekaan, Indonesia tenggelam dalam revolusi buat mengamankan kesatuan republik. Sementara Belanda menghadapi tekanan internasional. Sikap Den Haag soal Indonesia dan Papua bahkan nyaris membatalkan keanggotaan Belanda di NATO, yang kala itu mendukung kemerdekaan Indonesia.
Foto: picture-alliance/ANP
9 foto1 | 9
Untuk kasus yang terakhir, keberadaan arsip menjadi kritis nilainya, terutama apabila yang dipersengketakan terkait dengan kepentingan negara. Sayangnya, aparatur pemerintah masih lalai dalam menata arsipnya. Contoh termutakhirnya, saat Gubernur DKI Jakarta yang lalu, Djarot Saiful Hidayat, menyatakan bahwa lemahnya pengarsipan menjadi salah satu alasan kerap kalahnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam urusan sengketa lahan dengan pihak swasta, sehingga rencana-rencana pembangunan di ibukota kerap terhambat.
Sistem arsip negara ini memang harus dibenahi, baik dari segi administrasi, sarana prasarana, maupun mentalitas para pelaku yang berkecimpung di dalamnya. Saya cukup familiar dengan institusi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang terletak di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan. Di tempat ini dokumen-dokumen bersejarah Indonesia disimpan untuk dimanfaatkan demi kepentingan publik, terutama untuk penelitian.
Saya rasa, ANRI, juga pusat-pusat dokumentasi serupa di seluruh wilayah Indonesia, harus terus berbenah memoles citra dirinya sebagai institusi populer bagi peneliti-peneliti sejarah muda yang belakangan karya-karyanya dapat ditemukan dalam forum-forum penulis dunia maya maupun cetak.
Selain kebutuhan digitalisasi arsip yang mendesak untuk menjangkau khalayak luas, juga sudah waktunya bagi arsiparis, menemani sejarawan dan pegiat masa lalu lainnya, untuk turut hadir dalam perdebatan isu-isu sejarah, misalnya dengan aktif menulis di media massa.
Tertib atau tidaknya suatu sistem arsip kembali bergantung pada kemampuan sang arsiparis, seperti ditulis oleh Francis X. Blouin Jr. dan William G. Rosenberg dalam Processing the Past: Contesting Authority in History and the Archives. Menurut mereka, arsiparis harus mampu "menyeimbangkan kepentingan institusi dengan kepentingan komunitas pengguna yang lebih luas untuk menjamin penyimpanan catatan dalam jangka panjang dan juga akses yang efektifbagi generasi di masa depan, apapun bentuknya."
Bagi saya, pernyataan itu tidak harus ditujukan kepada arsiparis profesional atau mereka yang terikat dengan institusi resmi. Publik secara umum juga memiliki tanggung jawab moral untuk melaksanakan tugas-tugas kearsipan, minimal dengan cara membangun pemahaman personal akan pentingnya arsip keluarga dan lingkungan sekitar. Arsip-arsip yang berada di tengah-tengah masyarakat inilah yang akan menjadi rujukan para sejarawan Indonesia, utamanya sejarawan publik yang fokus meneliti sejarah orang-orang kecil, di masa depan kelak.
Serunya Lomba 17 Agustus-an
Kocak, seru, kadang penuh perjuangan. Tiap 17 Agustus, berbagai lomba tradisional digelar. Lomba apa yang paling Anda gemari saat 17 Agustus-an?
Foto: Getty Images/E. Wray
Lomba Makan Kerupuk
Jenis lomba ini sepertinya 'wajib' ada dalam setiap ajang lomba 17 Agustus-an. Kerupuk yang digantung ke seutas tali harus segera dihabiskan oleh peserta lomba yang matanya ditutup secarik kain. Kalau urusan makan, seharsnya tak sulit. Yang makannya paling cepat, dialah pemenangnya.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Lomba Balap Karung
Seperti jenis permainan lainnya, lomba balap karung mengandalkan kecepatan. Siapa cepat dia menang. Yang mengundang senyum penontonnya adalah, peserta lomba harus meloncat-loncat ke garis finish. Tapi kalau sampai jatuh, membuat kita jadi meringis. Awas jatuh!
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Lomba Pecahkan Balon Berisi Air
Memukul balon yang digantung hingga pecah -- mungkin mudah. Tapi melakukanya dengan mata tertutup? Kalau tak hati-hati bisa jadi rekan peserta lain bisa kena pukul. Jenis lainnya, memecahkan balon dengan jarum. Boleh dibilang, jenis lomba yang satu ini cukup sulit. Begitu balonnya pecah, air di dalam balon, muncrat kemana-mana dan tertawa penontonpun pecah, termasuk mereka yang kecipratan.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Lomba Tarik Tambang
Lomba ini melatih kekompakan dan persatuan. Setiap grup terdiri dari beberapa orang. Dua grup yang berlawanan adu menarik tali tambang hingga grup lainnya terseret ke wilayahnya. Ssssttt, ini triknya: Posisikan yang paling kuat tenaganya di bagian depan, bukan di belakang.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Lomba Perang Bantal di Atas Air
Pesertanya diharap bisa berenang, karena permainan ini dilakukan di atas bambu yang dipasang di atas air, kolam, atau sungai. Kadang-kadang juga di atas lumpur. Setiap peserta dimodali satu bantal atau guling yang telah dibasahi. Mereka saling memukul pakai bantal/guling, yang jatuh lebih dulu, kalah.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Main Bola di Lumpur
Main bola mungkin sudah biasa. Tapi untuk gelaran 17 Agustus-an ini biasanya main bolanya di genangan lumpur. Jadi kebayang bukan, hebohnya seperti apa?
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Panjat Pinang
Bagi banyak orang, yang spektakuler mungkin panjang pinang. Satu kelompok bekerjasama agar bisa mencapai pucuk tiang ini, guna mengambil berbagai hadiah yang dipasang di puncaknya. Penuh perjuangan, penuh taktik. Semoga beruntung.
Foto: Getty Images/E. Wray
Apapun Permainannya Yang Penting Kebersamaannya
Lihat, hadiah panjat pinangnya cukup heboh. Bahkan ada sepeda yang dipasang di puncaknya. Menang atau kalah, yang terpentinga adalah rasa suka cita terlepas dari penjajahan dan rasa kebersamaan berbangsa, tanpa membedakan suku agama ataupun ras. Dirgahayu Indonesia.
Foto: Getty Images/E. Wray
8 foto1 | 8
Mentalitas Sadar Arsip
Tentu saja kita tidak menginginkan kasus kalahnya Indonesia dalam sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan melawan Malaysia di Mahkamah Internasional pada 2002 silam terulang kembali.
Saat itu pihak Indonesia kalah karena dokumen-dokumen yang ditunjukkan, berupa serangkaian laporan survey kapal-kapal Belanda dan patroli TNI AL, serta laporan kegiatan nelayan setempat, ternyata tidak lebih kuat daripada dokumen pihak Malaysia berupa peraturan pengumpulan telur penyu, perlindungan satwa burung, dan pemeliharaan mercusuar, yang sudah berlaku sejak masa penjajahan Inggris dan masih tersimpan dengan baik.
Arsip adalah memori bersama, dan ia harus dijaga bersama-sama pula oleh segenap bangsa Indonesia. Membangun sebuah ketertiban sistem arsip merupakan wajib hukumnya jika Indonesia ingin mempersiapkan masa depan yang gemilang. Sosialisasi menyeluruh terhadap Undang-undang Nomor 43 tahun 2009 tentang Kearsipan, yang tampaknya sampai saat ini masih asing bagi khalayak umum, harus terus dilakukan seluas-luasnya.
Masih banyak yang harus dibenahi, namun saya yakin membangun mentalitas sebagai manusia Indonesia yang sadar arsip adalah prioritas utama yang pantas dikejar. Sebuah mental yang membuat kita tidak lagi melihat kertas bertorehkan tinta hanya sebagai barang sambil lalu semata. Secarik kertas arsip berisikan nilai sejarah tak terhingga, seperti yang B.M. Diah katakan tentang teks Proklamasi yang ia selamatkan:
"Saya hanya ingin menegaskan bahwa kertas yang saya simpan ini mempunyai nilai-nilai berharga. Kalaupun ada yang mengatakan bahwa teks proklamasi yang diketiklah yang sah secara yuridis internasional, maka hal ini tidak menjadi masalah karena saya hanya ingin mengungkapkan proses pembuatan dan nilai dari beberapa kata yang terkandung di dalamnya,” ujar B.M. Diah.
Penulis:
@RahadianRundjan
Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.
Tradisi 17 Agustus Melekat Hingga ke Jerman
Bagaimana masyarakat Indonesia di Berlin, Jerman, dan sekitarnya merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia? Apakah berbeda dengan di kampung halaman? Simak dalam Pesta Rakyat berikut ini:
Foto: DW/A. Purwaningsih
Jauh dari kampung halaman
Jauh dari kampung halaman, tidak mengurangi semangat warga Indoensia di Berlin dan sekitarnya untuk merayakan dirgahayu Republik Indonesia.
Foto: DW/A. Purwaningsih
‘Indonesia Kerja Nyata‘.
Tema untuk peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-71 : Mari wujudkan cita-cita bangsa dengan ‘Indonesia Kerja Nyata‘. Pada siang hari dalam acara Pesta Rakyat di Wisma Indonesia, Berlin, dari panggung musik ini, terdengar berbagai lagu Indonesia dimainkan, di antaranya 'Oh..oh Karmila.....'
Foto: DW/A. Purwaningsih
Tenda putih
Tenda-tenda putih berjejer rapi di halaman Wisma Indonesia nan astri, tempat terselnggaranya Pesta Rakyat di Berlin.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Dari musik sampai lomba
Selain musik, apa saja kegiatan warga Indonesia di Berlin saat 17 Agustus-an? Tentu tak beda dengan yang di tanah air, yakni perlombaan. Tak ketinggalan undian berhadiah.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Balapan, yuk
Lomba untuk kategori anak-anak, seperti tradisi 17 Asgustus-an pada umumnya: balap kelereng dalam sendok, memasukan pensil ke dalam botol, dan lain-lain. Pemenang masing-masing perlombaaan tentu saja mendapat bingkisan.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Lomba untuk yang dewasa
Untuk orang dewasa, juga disediakan berbagai macam lomba yang membawa keceriaan suasana. Para penonton berbahak-bahak ketika lomba makan digelar. Para peserta dibagi atas beberapa kelompok yang masing-masing terdri atas lima orang.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Bangun kebersamaan tim lewat makan
Lima piring tertutup disajikan, dan para anggota tim masing-masing kebagian satu piring yang dimakan bergantian. Isi dalam piring lomba makan, di antaranya kacang wasabi, beberapa potong wortel mentah sampai satu piring kecil coklat. Hati-hati tersedak ya….
Foto: DW/A. Purwaningsih
Anak-anak lebih tenang?
Lomba makan ini juga diadakan buat kategori anak-anak. Nampaknya, anak-anak lebih ‘kalem‘ ketimbang orang dewasa saat berlomba makan.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Makan-makan
Tak cuma lomba makan, tapi juga makan kenyang. Pesta Rakyat juga menggelar makan-makan seperti di Indonesia. Pesta Rakyat di Berlin menyedian makanan khas Indonesi bagi semua pengunjung. Apa saja jenisnya?
Foto: DW/A. Purwaningsih
Dari uduk sampai lontong
Mulai dari nasi uduk, semur daging sapi, sambal goreng kentang petai, tempe kering, lengkap dengan sate dan lontong tersedia di sini. Kerupuk dan sambal, tentunya tidak ketinggalan.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Serasa piknik
Tiada kebersamaan tanpa mengunyah dan makan bersama. Tradisi ‘mangan ora mangan ngumpul‘ juga tetap dipelihara warag Indonesia di Jerman.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Kue kecilnya apa?
Es buah jadi makanan penutup. Tapi ada juga penganan kecil khas Indonesia yang ikut memanjakan perut pengunjung tentunya.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Sang Merah Putih
Bendera Merah Putih menjadi ornamen dan warna yang mendominasi di lokasi kegiatan Pasar Rakyat di Berlin yang diadakan dalam rangka menyambut kemerdekaan RI.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Silaturahmi
Praktis, Pesta rakyat di Wisma Indonesia di Berlin ini sekaligus jadi ajang silaturahmi warga.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Mempertemukan dua budaya
Yang satu pakai peci dan sarung, yang lainnya pakai rok Bayern, Jerman. Pengunjungnya? Macam-macam, ada pula orang Jerman yang berkebaya.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Tamu kecil tertidur
Cuaca bulan Agustus 2016 cukup hangat. Tepat di hari Pesta rakyat digelar temperaturnya mencapai 27 derajad Celsius. Ditiup angin sepoi-sepoi di bawah pohon kecil, tampak ada yang tertidur di acara ini.