1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
OlahragaGlobal

Masa Depan Olimpiade Musim Dingin dan Krisis Iklim

5 Februari 2022

Olimpiade Beijing jadi pelopor pengguna salju buatan. Peneliti mengatakan tren pemanasan global sebabkan acara itu tidak dapat terselenggarakan sama sekali.

Pemandangan salah satu turunan di pegunungan Alpen
Sisi gunung yang kosong kontras dengan jalur salju yang dibuat sepenuhnya oleh mesin untuk acara ski BeijingFoto: kyodo/dpa/picture alliance

Cabang ski es dan seluncur salju akan dimulai pada 4 Februari di pegunungan dekat Beijing yang memiliki sedikit salju saat ini. Hal ini juga sempat jadi masalah saat kompetisi tahun 2014 di Sochi, Rusia.

Lereng gunung Yanqing dan Zhangjiakou nan tandus yang biasanya digunakan untuk ski, untuk pertama kalinya akan menggunakan salju buatan secara keseluruhan.

Namun meriam alat produksi salju tidak hanya boros energi, dia juga membutuhkan air dari jarak 30 KM, kata profesor hidrologi dari Universitas Strasbourg, Carmen De Jong yang tengah meneliti dampak lingkungan dari acara Olimpiade.

Mesin salju bekerja lembur di tempat ski Beijing tanpa salju alamiFoto: Koki Kataoka/Yomiuri Shimbun/AP Images/picture alliance

Pembuatan salju bukan faktor satu-satunya, dia menyebut Olimpiade ini "acara paling tidak ramah lingkungan sepanjang masa.” Menurutnya, erosi besar-besaran terjadi akibat jatuhan saat pembuatan jalur pada wilayah yang dilindungi, terlepas dari upaya penanaman pohon kembali dan fakta bahwa infrastruktur lain seperti jalanan dan tempat parkir sebagiannya "dibangun dari awal” menghasilkan hampir 10 juta ton CO 2, "perkiraan konservatif” ujarnya.

Komite Penyelenggara Beijing menjanjikan acara tersebut acara yang rendah karbon, dan energi terbarukan jika mungkin. Namun, saat turbin angin dan ladang panel solar sudah dibangun, De Jong mengatakan masih ada ketergantungan terhadap penyeimbangan karbon dan emisi.

Pemompaan air "bertekanan kuat” ke atas bukit untuk pembuatan salju di wilayah tandus belum termasuk dalamkalkulasi netralitas iklim, lanjut dia.

"Masalahnya, iklim Beijing tidak cocok untuk pembuatan salju,” kata De Jong. Debu yang diterbangkan angin kencang di daerah tandus, akan membuat jumlah salju yang dibutuhkan dua kali lipat dari pada yang ada di pegunungan di Eropa.

"Jadi mesin salju lebih lama beroperasi, serta lebih banyak air yang dibutuhkan dari rata-rata yang digunakan di Pegunungan Alpen,” lanjut De Jong.

Masalah ini diperparah dengan pindahnya acara Olimpiade ke wilayah Asia yang tandus serta minim air dan salju, karena sebagian wilayah potensial di Eropa dan Amerika utara tidak mengajukan diri akibat biaya dan dampak lingkungannya.

Pemanasan global ancam kelanjutan olah raga salju

Bergantung pada salju buatan bukan hal baru, Olimpiade Sochi 2014 dan Pyeongchang 2018 membutuhkan 80% dan 90% salju buatan. Sementara saat Olimpiade musim dingin di Vancouver 2010, helikopter diterjunkan untuk menumpahkan salju akibat cuaca yang terlalu hangat untuk membuat salju palsu.

Jika mesin pembuat salju menggunakan energi terbarukan, studi terbaru menunjukkan kegagalan untuk mengurangi secara signifikan gas emisi rumah kaca global, artinya hanya ada 1 dari 21 tuan rumah yang memenuhi syarat aman untuk menyelenggarakan Olimpiade pada 2100.

 

Sebaliknya, jika targetemisi Perjanjian Paris tercapai, jumlah negara penyelenggara yang iklimnya memenuhi syarat akan menjadi 8.

Studi ini dilakukan secara unik dengan menggabungkan permodelan iklim dengan tanggapan para atlet dalam keselamatan bermain ski di cuaca hangat. Bahkan dalam 30 tahun, dengan tren pemanasan saat ini akan mengakibatkan berkurangnya lokasi yang layak untuk Olimpiade.

"Jika emisi terus tinggi, pada pertengahan abad hanya akan tersisa 4 lokasi yang layak iklimnya,” kata Profesor Geografi dan Manajemen Lingkungan dari Universitas Waterloo, Pemimpin studi ini, Daniel Scott. Sementara hanya Sapporo, di Jepang yang menjadi satu-satunya lokasi layak pada akhir abad.

"Secara klimatologi, Sochi tidak masuk akal,” lanjut Scott, terkait Olimpiade 2014 yang sudah tidak layak iklim tersebut. Namun pemanasan global akan membuat tempat yang dulu bisa digunakan, menjadi tidak berfungsi. Para atlet ski bahkan "mulai khawatir dengan masa depan olah raga ski,” kata Scott.

Perubahan aturan untuk keberlanjutan

Membuat lokasi ramah lingkungan tidak cukup.

"Memprioritaskan dampak Olimpiade dan dampak mengurangi karbon dari acara 2 tahunan tidak akan memperlambat pemanasan global,” kata koordinator "Lindungi Musim Dingin Eropa, (POW)” Soren Ronge, sebuah kelompok advokasi iklim berbasis di Innsbruck, Austria.

Mereka ingin melihat para panitia, pemangku jabatan serta penggemar Olimpiade, "mari bermain peran penting dalam mendorong pemerintah untuk mengubah sistem mendapatkan, mendistribusikan dan mengonsumsi energi,” lanjut Ronge.

Infografik hari bersalju saat penyelenggaraan Olimpiade Musim Dingin

River Radamus, Pemain ski Amerika yang akan mengikuti Olimpiade Beijing dan 3 kali peraih medali emas Olimpiade Remaja membeberkan dampak dari olahraga yang dia ikuti serta telah berdonasi pada POW.

"Bersama, kita bisa mendorong produsen dan perusahaan besar, itulah cara kita membuat perubahan,” ujarnya, sembari menjelaskan suhu 60 derajat fahrenheit menjadi tantangan bagi Federasi Ski International yang mengelola Olimpiade. "Mereka tidak bisa mengadakan lomba karena terlalu hangat saat musim dingin,” sambungnya.

"Sains sudah cukup jelas,” kata Ronge kepada DW. "Kita perlu pengurangan emisi jika ingin menyelamatkan dan melanjutkan cabang olah raga musim dingin Olimpiade di masa depan.”

Mantan juara dunia ski es, Felix Neureuther asal Munich, Jerman Selatan juga jelaskan dampak lingkungan dari olah raga musim dingin, serta mengkritik praktik pelatihan di gletser saat musim panas, serta penebangan hutan untuk membuat jalur ski.

"Cabor Olimpiade harus berkonsep berkelanjutan, atau mereka tidak akan ada lagi,” kata dia saat merilis dokumenter dampak pemanasan global di Pegunungan Eropa, Oktober lalu.

Berpikir lokal, bertindak global

Menurut Daniel Scott, komite Olimpiade Internasional dan penyelenggara kompetisi ski perlu pelatihan lokal dan menjadwalkan lomba di daerah yang sama untuk mengurangi mobilitas, yang artinya menurut Neureuther adalah berhenti latihan di gletser.

Scott mengatakan para atlet yang telah mengabdikan hidup mereka dalam olah raga "merasa dipaksa untuk bersaing,” mereka melihat "kontradiksi” dari jumlah insentif-karbon perjalanan yang harus mereka lakukan, baik selama kompetisi mau pun berlatih selama 12 bulan dalam setahun.

River Radamus adalah salah satu dari banyak pemain ski muda yang mengkhawatirkan masa depan olahraga merekaFoto: Joe Klamar/AFP/Getty Images

Menurut River Radamus, salah satu keuntungan pandemi ialah tim Olimpiade AS terpaksa latihan di rumah.

"Ini membantu kami sedikit lebih banyak ide dan tidak boros dalam proses pelatihan,” kata dia, menambahkan bahwa pada tahun sebelumnya dia harus ke Chili atau Selandia Baru. "Ini langkah kecil, namun perlahan akan menjadi pembeda,” katanya tentang "hemat iklim.”

Namun bagi Soren Ronge, upaya individu tidak cukup tanpa sistem penanggulangan iklim.

"Jika tidak ada langkah serius untuk mengurangi emisi, dan berakhir pada skenario 1.5-2 derajat, bukan hanya Olimpiade, tapi semua olahraga salju akan terancam,” kata dia.

Daniel Scott setuju dengan mencoba mencapaitarget Perjanjian Paris, industri ini akan bertahan. "Ketika suhu sudah mencapai 3 atau 4 derajat, maka selesai lah semua.” (mh/yp)