1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Masa Depan Uni Eropa

16 Mei 2006

Masa depan Uni Eropa kini dipertanyakan kembali, setalah gagalnya referendum konstitusi dan macetnya integrasi.

Referendum Konstitusi gagal, integrasi hanya tinggal sebuah gagasan saja
Referendum Konstitusi gagal, integrasi hanya tinggal sebuah gagasan sajaFoto: AP

Berkaitan dengan pertemuan para menteri luar negeri dan menteri pertahanan Uni Eropa yang digelar hari Senin (15/5) kemarin, sejumlah harian internasional menyoroti tema yang lebih luas lagi, yakni masa depan Uni Eropa. Setelah referendum konstitusi Uni Eropa yang praktis gagal, karena penolakan rakyat Prancis dan Belanda, kini dipertanyakan apalagi yang tersisa dari aliansi ini.

Harian Belgia De Standaard yang terbit di Brussel menulis, masa depan Uni Eropa tinggal kata-kata indah, tapi tidak ada isinya.

"Agenda yang kini dibahas terutama rencana kerja untuk masa depan. Dengan itu, diharapkan ingatan akan proses konstitusi pelan-pelan dapat dihapuskan. Hal ini selaras dengan strategi Presiden Komisi Eropa, Jose Manuel Barroso. Yang ibaratnya dekorasi yang secara optis amat bagus, yang mengingatkan kita, pada dinding studio dimana para pemain sepak bola diwawancarai."

Harian ekonomi Rusia Wedomosti yang terbit di Moskow menulis, terdapat tanda tanya besar terhadap perluasan berikutnya Uni Eropa.

"Infrastruktur, ekonomi bebas dan perang melawan korupsi. Tiga persyaratan utama Uni Eropa, agar negara pemohon diterima menjadi calon anggota, kini kelihatannya diperlonggar. Buktinya adalah perundingan penerimaan anggota baru dengan Rumania dan Bulgaria. Kekurangan di bidang ekonomi dari negara-negara calon anggota biasanya jauh lebih menonjol ketimbang kebobrokan di bidang politik secara keseluruhan. Setelah gagalnya referendum konstitusi, gagasan integrasi kini semakin menjauh dari Eropa."

Sementara surat kabar mingguan Inggris Sunday Times menulis, pembatasan untuk tenaga kerja dari anggota baru di Eropa Timur harus dihapuskan.

"Mereka datang hanya untuk mencari kerja, bukannya menuntut macam-macam. Seringkali mereka jauh lebih handal ketimbang pekerja di negara bersangkutan. Mereka mengambil alih pekerjaan, yang tidak diminati atau tidak dapat dikerjakan oleh pekerja lokal. Para pekerja ini memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi dan rendahnya inflasi."

Tema lain adalah mengenai sikap anti orang asing di Jerman, berkaitan dengan kejuaraan sepakbola Piala Dunia 2006. S

erangan kekerasan bermotiv rasisme terhadap seorang warga Italia di Berlin, menjadi sorotan tajam harian Italia La Stampa yang terbit di Turin.

"Piala Dunia 2006 dijadikan kesempatan untuk tampil oleh kelompok Neo-Nazi di Jerman. Kurang dari sebulan sebelum ajang sepakbola paling bergengsi digelar di Jerman, kelompok Neo-Nazi atau Skinheads di Jerman makin menonjolkan diri dan makin brutal. Mereka sudah mengumumkan, kejuaraan Piala Dunia 2006 akan dijadikan panggung politik untuk menunjukan eksitensi kelompok Neo-Nazi di Jerman."

Dan harian Italia La Repubblica yang terbit di Roma menulis, sikap anti orang asing di Jerman meningkat menjelang Piala Dunia.

"Aksi kekerasan semacam ini bukan hanya dapat terjadi di Berlin, tapi juga di seluruh tempat pertandingan Piala Dunia. Khususnya di negara bagian baru di kawasan bekas Jerman Timur. Di kawasan itu, ideologi Neo-Nazi tumbuh subur, di lahan yang sebelumnya dibentuk oleh faham komunis Stalinisme yang brutal selama setengah abad. Di sana aksi kekerasan adalah hal yang normal, dan demokrasi merupakan hal baru yang asing dan seringkali ditolak mentah-mentah."