1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Masa Suram HAM dan Demokrasi Indonesia

Zaky Yamani
Zaky Yamani
9 Desember 2019

Ketika Prabowo Subianto mengumumkan bahwa dirinya diundang dan bersedia menjadi Menteri Pertahanan di kabinet Presiden Joko Widodo, apa yang tersirat dalam pikran benak Anda soal penegakan HAM? Opini Zaky Yamani

Foto: Reuters/W. Kurniawan

Yang tersirat di dalam pikiran saya: betapa mahal ambisinya, setelah pemilu yang panas dan berdarah-darah, toh akhirnya Prabowo berkoalisi juga dengan pemerintah. Sedangkan kepada Jokowi, saya semakin ragu penyelesaian masalah HAM yang dulu dan yang terkini akan dia selesaikan, karena dia semakin mengikat diri dengan kelompok-kelompok oligarki di Indonesia.

Masuknya Prabowo dan Partai Gerindra ke kubu pemerintah mencerminkan semakin terbukanya Jokowi terhadap oligarki. Alih-alih "membersihkan” dirinya dari pengaruh kelompok-kelompok semacam itu, Jokowi mengambil risiko untuk membuat kabinetnya berada di jalur perebutan kepentingan elite.

Komposisi oligarki di dalam pemerintah Indonesia, sudah seharusnya membuat siapa pun yang berada di sisi kemanusiaan khawatir, karena sekarang mereka satu kubu. Penyelesaian persoalan-persoalan kemanusiaan akan semakin gelap jalannya, dan saya khawatir represi negara terhadap siapa pun yang berbeda pendapat akan semakin keras.

Zaky Yamani, penulis.Foto: DW/A.Purwaningsih

Sanggupkah Jokowi?

Negara ini akan menghadapi politik yang akan didominasi patronisme yang berlaku di partai-partai—di mana beberapa patron itu bergabung di dalam kabinet. Melihat peta itu, tentu muncul pertanyaan apakah Jokowi akan sanggup mengatasi pertarungan kepentingan di kabinetnya sendiri?

Persoalan HAM dan demokrasi tampaknya akan absen dari agenda Jokowi sampai lima tahun mendatang. Seperti terbaca di dalam pidato pelantikannya, Jokowi tak sekali pun menyebutkan persoalan kemanusiaan dan demokrasi. Fokusnya pada pembangunan ekonomi bisa dilihat memunculkan dua pertanyaan: apakah pembangunan ekonomi itu untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat? Ataukah pembangunan ekonomi hanya akan jadi kue besar yang dibagi-bagi di kalangan elite, sedangkan rakyat hanya mendapat remah-remahnya?

Kita juga bisa melihat susunan kabinetnya, yang mulai menunjukkan lebih banyak wajah dari kalangan militer di posisi-posisi yang membutuhkan pengalaman panjang di lapangan sipil. Menteri Kesehatan dan Menteri Agama pun diserahkan kepada kalangan militer. Sementara Menteri Dalam Negeri diberikan kepada seorang jenderal polisi. Susunan kabinet yang seperti ini mengingatkan saya pada susunan kabinet-kabinet di era Soeharto, di mana orang-orang militer masuk begitu dalam ke wilayah sipil.

Kekhawatiran terhadap penyelesaian masalah HAM dan demokrasi, bukan kekhawatiran saya sendiri. Southeast Asia Freedom of Expression Network atau SAFEnet juga berbagi kekhawatiran yang sama. SAFEnet bahkan memprediksi Indonesia di bawah Presiden Jokowi pada periode kedua kepemimpinannya berada di siaga 1 dalam represi kemerdekaan berekspresi dan kriminalisasi aktivis prodemokrasi.

Yang dijadikan ukuran oleh SAFEnet adalah tiga faktor. Pertama, hak mengakses informasi, di mana pemerintah telah melakukan pemadaman internet, pemblokiran situs web, atau serangan siber. Kedua, kriminalisasi para aktivis prodemokrasi dan jurnalis. Ketiga, semakin seringnya tindakan pembubaran secara paksa diskusi akademik dan pembatasan hak masyarakat untuk berkumpul atau menyerukan pendapat.

Senada dengan SAFEnet, Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menilai pidato perdana Jokowi menunjukkan pemerintahan yang mengarah pada pembangunan ala era Orde Baru.

Seperti dikutip Tempo.co, Firman menyayangkan pidato Jokowi yang seakan tak menaruh perhatian terhadap masalah hukum, HAM, demokrasi, dan pemberantasan korupsi. Dia menilai, padahal empat hal itu merupakan masalah pokok yang juga berkaitan dengan Pancasila dan kemanusiaan.

Masa depan demokrasi dan HAM di Indonesia lebih muram dari yang sudah-sudah

Dalam lima tahun ke depan ini kita akan berada dalam cengkeraman oligarki dan militer. Lalu setelah itu, dalam pemilu berikutnya—jika publik sipil tidak melakukan perlawanan atas dominasi mereka—saya kira kaum oligarki dan militer juga akan terus bercumbu di dalam politik dan pembagian kekuasaan.

Walau demikian, saya masih punya harapan besar pada masyarakat sipil Indonesia. Gelombang aksi mahasiswa yang terjadi sejak September 2019, membuat saya yakin, generasi muda bangsa ini masih peduli pada kemanusiaan dan demokrasi. Asalkan mereka terus belajar, mendengar, dan beraksi, oligarki dan militerisme akan selalu mendapat penentang yang kuat.

Penulis:

Zaky Yamani

Kolumnis dan novelis

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis

*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.