1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Masalah Integrasi di Jerman. Kilas Balik 2010

30 Desember 2010

Integrasi orang-orang berlatar belakang imigran di Jerman, terutama yang beragama Islam, selama beberapa waktu menjadi topik yang paling sering diliput media-media Jerman.

Seorang perempuan Turki sedang menulis kata "Integrasi" di ruang kursus tempat bertemunya perempuan dari berbagai negara.Foto: picture-alliance/dpa

Pertandingan Piala Dunia sepak bola di pertengahan tahun 2010. Memang yang menjadi sorotan utama adalah bola. Tetapi bagi Jerman tema integrasi ikut terus berkumandang. Sejumlah remaja Berlin, baik yang memiliki latar belakang imigran maupun tidak, menonton bersama pertandingan sepak bola di depan layar raksasa di Yayasan Konrad Adenauer.

Petugas khusus urusan integrasi Jerman, Maria Böhmer juga ada di sana dan mengatakan kepada kaum remaja tersebut, bahwa ia sangat terkesan, karena 11 dari 23 anggota tim nasional di bawah pelatih Joachim Löw lahir di luar negeri atau keturunan imigran di Jerman.

Mesut Özil (kanan) dan Sami KhediraFoto: picture-alliance/dpa

Ia mengatakan, "Kalau saya lihat, di sini juga banyak orang yang akarnya di negara lain. Banyak yang akan mengatakan, 'Kami orang Jerman, kami ikut terlibat. Dan ini adalah negara, di mana kami ingin tinggal di masa depan.' Jadi saya pikir sangat pening, ketika Mesut Özil mengatakan, ia bermain untuk tim nasional Jerman. Itu adalah keputusan yang sangat penting. Dan saya pikir, semua yang besar di sini, seharusnya mengambil keputusan sama."

Contoh Keberhasilan

Pemain sepak bola Mesut Özil yang berasal dari Turki dan koleganya Sami Khedira, yang campuran Jerman-Tunesia, adalah salah satu contoh integrasi yang berhasil. Mereka yang di masa depan ingin berhasil seperti kedua atlit itu harus menguasai bahasa Jerman, walaupun berlatar belakang imigran. Demikian ditekankan Maria Böhmer kepada para remaja yang menonton pertandingan sepak bola.

Petugas khusus urusan integrasi, Maria BöhmerFoto: picture-alliance/dpa

Maria Böhmer mengatakan, "Jika orang asing tidak dapat berbicara bahasa Jerman, maka mereka hanya 'penonton dari luar pagar' di negara ini. Yang lainnya, yang telah belajar bahasa Jerman, juga menguasainya dengan baik, sudah mengalam, bahwa mereka dapat maju, mereka dapat naik ke jenjang kerja yang lebih tinggi, ya, mereka juga bisa berkarir. Orang juga dapat menjadi panutan."

Walaupun kesebelasan Jerman akhirnya hanya menduduki tempat ke tiga, keberhasilan mereka dirayakan di Jerman. Pada “public viewing“, para remaja baik yang berlatarbelakang imigran maupun tidak bersama-sama merayakan kesebelasannya.

Debat Sengit Dimulai

Hanya beberapa pekan setelah itu, muncul gambar baru di media Jerman. Akhir Agustus Thilo Sarrazin menyebabkan mulainya debat sengit tentang integrasi lewat bukunya yang berjudul “Deutschland schafft sich ab“, yang kira-kira dapat diterjemahkan menjadi: Jerman memunahkan diri sendiri. Buku itu menyebabkan debat tentang imigran muslim yang katanya tidak bersedia berintegrasi, dan dasar kebudayaan yang menjadi identitas Jerman.

Thilo Sarrazin ketika memperkenalkan bukunya, "Deutschland Schafft Sich Ab"Foto: picture-alliance/dpa

Sarrazin, yang ketika itu masih menjadi anggota dewan pimpinan Bank Sentral Jerman dan mantan Senator untuk masalah keuangan di Berlin, sudah terkenal dengan ujaran-ujarannya yang sering bernada menghina pangangguran dan imigran. Perkataannya yang baru tentang imigran dari Turki dan negara-negara Arab, yang katanya tidak memiliki kecerdasan, juga tentang orang Yahudi, yang menurutnya memiliki “gen tersendiri“, menyebabkan sensasi dan kemarahan.

Bank Sentral Jerman kemudian mengusulkan agar ia dicopot dari keanggotaan dewan pimpinan, dan Sarrazin akhirnya menyatakan pengunduran dirinya. Sementara Partai Sosial Demokrat (SPD), di mana Sarrazin dulu menjadi anggota, mencabut keanggotaannya.

Menurut Sarrazin, di antara para imigran yang tinggal di Jerman, yang berasal dari berbagai negara, perbedaan dalam pendidikan sangat besar. Sarrazin mengatakan, "Imigran yang berasal dari Eropa Timur, India, Cina atau Vietnam tidak menghadapi masalah untuk berintegrasi, yang berlangsung lebih lama dari satu generasi. Setelah itu mereka dapat segera memperoleh pendidikan lebih tinggi dan dapat berintegrasi lebih baik dalam pasaran kerja daripada orang Jerman. Mereka memperkaya Jerman dari segi ekonomi, kebudayaan dan kemasyarakatan."


Imigran Turki dan Negara-Negara Arab

Ayguel Özkan dalam poster untuk kampanye yang mendorong integrasi.Foto: Deutschlandstiftung Integration

Tetapi menurut Sarrazin tidak begitu halnya dengan empat sampai enam juta imigran muslim di Jerman. Masalah integrasi yang dihadapi imigran dari Turki dan negara-negara Arab mengakibatkan neraca ekonomi dan kemasyarakatan yang negatif di negara-negara Eropa yang menerima mereka. Demikian Sarrazin.

Ia menambahkan, "Mereka yang tidak punya pendidikan yang baik, mereka yang hanya tertarik pada sistem tunjangan sosial Jerman, mereka yang mendatangkan sejumlah besar anggota keluarga yang tergantung pada bantuan, mereka yang menolak kebudayaan Jerman. Mereka itu adalah imigran yang untuk jangka panjang, baik secara kemasyarakatan maupun keuangan, menyebabkan biaya lebih besar bagi masyarakat kita daripada mendatangkan keuntungan."

Selama pandangan kebudayaan para imigran ini tidak berubah, itu kata Sarrazin, imigrasi dari negara-negara itu menyebabkan bertambahnya masalah ekonomi dan sosial, dan bukan meringankan beban akibat pergeseran demografi.

Penilaiannya yang negatif dan bersifat memukulrata tentang imigran muslim mendapat banyak tantangan. Misalnya dari Aygül Özkan, politisi keturunan Turki dari Partai Kristen Demokrat (CDU), yang menjadi menteri urusan integrasi di negara bagian Niedersachsen. Menurut Özkan, masalah imigrasi memang harus dianalisa.

Tetapi cara penyampaian Sarrazin tidak dapat diterima. Özkan mengecam cara Sarrazin yang memojokkan mereka dan tidak mengakui, bahwa generasi pertama orang-orang ini sudah ikut membangun, dan sekarang juga melakukannya setiap hari.

Presiden Christian Wulff ketika berpidato di depan parlemen Turki (19/10/10)Foto: dapd

Arah Baru

Akhirnya Presiden Christian Wulff, yang waktu itu baru sekitar 100 hari menjadi presiden Jerman, memberikan arahan baru bagi debat soal integrasi yang semakin meluas. Ketika mulai menjabat, Christian Wulff sudah berjanji akan menjadikan topik integrasi pekerjaannya yang utama. Dalam pidato pertamanya dalam rangka ulang tahun ke-20 reunifikasi Jerman tanggal 3 Oktober lalu, Wulff menyatakan, "Kristen adalah bagian dari Jerman yang tidak dapat diragukan. Yahudi termasuk bagian Jerman yang tidak dapat diragukan. Itulah sejarah Kristen-Yahudi kita. Tetapi Islam sekarang juga bagian dari Jerman."

Dengan pernyataan ini sebenarnya presiden Jerman ingin menyudahi pertikaian tentang integrasi warga muslim di Jerman. Tetapi pidatonya menyebabkan kemarahan kubu konservatif. Padahal pernyataannya itu tidak baru lagi, seperti dikatakan Menteri Dalam Negeri Thomas de Maizière pada awal Konferensi Islam bulan Mei lalu, yang mengingat kata-kata pendahulunya, Wolfgang Schäuble. Schäuble mengatakan sebuah kalimat yang membentuk Konferensi Islam Jerman. Yaitu: Islam adalah bagian dari Jerman. "Saya menggarisbawahi kalimat ini, dan itulah yang menjadi dasar pekerjaan kita," demikian de Maizière.


Debat Tahap Baru

Ketua Partai CSU dan PM Bayern, Horst SeehoferFoto: dapd


Setelah pidato Wulff, debat soal integrasi memasuki tahapan baru. Perdana Menteri negara bagian Bayern, Horst Seehofer menyatakan dalam sidang umum Partai Kristen Sosialis (CSU) akhir Oktober lalu, "Kami sebagai Partai Kristen Sosialis mendukung dasar kebudayaan Jerman dan menentang multikulturalisme. Multikulturalisme sudah mati!"

Seehofer yang juga menjadi ketua partai CSU menuntut penghentian masuknya imigran dari kebudayaan lain. Tujuan utama sebelum mendatangkan imigran, menurut Seehofer, adalah peningkatan kualifikasi warga Jerman yang tidak memiliki pekerjaan.

Sebaliknya, dalam kunjungannya di Turki Oktober lalu, Presiden Christian Wulff menyatakan penolakan atas penghentian masuknya imigran dari Turki. Juga upayanya untuk menggalakkan toleransi disambut hangat di Turki. Di samping itu, Wulff berhasil melunakkan sikap sejumlah pengkritiknya di Jerman lewat pidatonya di depan parlemen Turki. Ini pidatonya adalah: tanpa dapat diragukan, agama Kristen juga menjadi bagian Turki.

Warga muslim dapat menjalankan ajaran agamanya di Jerman secara terhormat. Semakin bertambahnya jumlah mesjid menunjukkan hal itu, demikian Wulff. Sebagai gantinya, Jerman menuntut agar, “warga Kristen di negara-negara Islam mendapat hak sama, agar dapat menjalankan ajaran agamanya secara terbuka, mendidik guru agama dan mendirikan gereja.“ Demikian kutipan dari pidato Presiden Jerman Christian Wulff.

Menteri Dalam Negeri Thomas de MaizièreFoto: picture-alliance/dpa

Perlu Nafas Panjang

Walaupun debat soal integrasi di akhir tahun 2010 berkurang, Menteri Dalam Negeri Thomas de Maizière menekankan, debat tersebut tidak boleh berakhir begitu saja di Jerman. Itu harus tetap dilaksanakan, dan tidak tergantung pada jadwal pemilu berikutnya atau akibat penerbitan buku tertentu, seperti buku tulisan Sarrazin.

Pada saat bersamaan, de Maizière memperingatkan untuk tidak hanya menonjolkan hal yang bagus, atau kebalikannya, menjadikan semuanya negatif. Integrasi, demikian kata menteri dalam negeri Jerman, membutuhkan kesadaran akan “realita, kebenaran, dukungan dan tuntutan, kesabaran dan nafas yang panjang.“

Sabine Ripperger / Marjory Linardy

Editor: Edith Koesoemawiria

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait