1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
MigrasiEropa

Bagaimana Uni Eropa Hadapi Masalah Migrasi di 2024?

3 Januari 2024

Topik migrasi memicu perdebatan di ranah sosial dan politik di Uni Eropa pada 2023. Tahun ini, topik pengungsi juga masih jadi masalah politik jangka panjang di UE. Tampaknya semua masih akan sama di tahun 2024.

Penjaga pantai Italia membawa migran yang diselamatkan di lepas pulau Lampedusa (September 2023)
Penjaga pantai Italia membawa migran yang diselamatkan di lepas pulau Lampedusa (September 2023) saat melewati perahu wisatawan.Foto: Yara Nardi/REUTERS

Kebijakan suaka dan migrasi berdampak kuat di Brussel pada 2023. Sedangkan di Jerman, banyak wilayah dan komunitas yang sudah merasa terbebani. Selain itu, perselisihan dalam partai-partai koalisi yang berkuasa tentang masalah ini juga mendominasi berita utama dan perdebatan politik. Negara-negara Eropa lainnya juga mengeluhkan sistem suaka mereka yang sudah kewalahan.

Kian banyak pencari suaka di Eropa

Jumlah orang yang datang dan mencari suaka ke Uni Eropa (UE) meningkat selama dua tahun terakhir. Jumlah pengungsi pada 2022 memang belum sampai satu juta orang, tapi angka tersebut diperkirakan akan terlampaui pada 2023, menurut Badan Suaka UE, EUAA. Ini akan menjadi jumlah tertinggi sejak tahun 2015, ketika sejumlah besar pengungsi datang ke Eropa.

Dalam sebelas bulan pertama tahun 2023 ada lebih dari 350.000 orang datang ke UE tanpa izin resmi, menurut angka resmi dari badan perlindungan perbatasan UE Frontex.

Namun, jumlah migrasi tanpa izin ini hanyalah sebagian kecil dari total migrasi ke UE, tulis Komisi UE di situs webnya. Sebagai perbandingan: Tahun 2022, total hampir 3,5 juta orang bermigrasi ke UE melalui jalur reguler atau resmi, yaitu pengungsi dengan status suaka serta orang yang datang untuk mendapatkan pelatihan atau mencari pekerjaan.

Belum ada tanda penurunan tren migrasi

Pada 2024, para ahli memperkirakan masih akan ada banyak orang yang melakukan perjalanan berbahaya, dan sering kali berakibat fatal, menuju negara-negara yang dianggap aman. Catherine Woollard, Direktur Dewan Pengungsi Eropa (ECRE), mengatakan jumlah pengungsi yang terdaftar di seluruh dunia mencapai rekor tertinggi. Namun hanya sebagian kecil orang yang akan mencari perlindungan di UE. Pada 2024, diperkirakan ada sekitar satu juta orang.

Kebanyakan dari mereka sebenarnya membutuhkan perlindungan, seperti yang ditegaskan pakar migrasi dalam wawancara dengan DW. David Kipp, pakar kebijakan migrasi Jerman dan Eropa di Science and Politics Foundation Berlin, mengatakan "saat ini tidak ada tanda-tanda pembalikan tren."

Krisis di seluruh dunia semakin meningkat alih-alih menurun, ujarnya. 

Namun jumlah migran ini masih dapat dikendalikan, menurut Woollard. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan perlakuan terhadap pengungsi dari Ukraina ke Uni Eropa tahun 2022. Menurut angka resmi, sekitar 4,2 juta warga Ukraina mendapatkan perlindungan sementara di UE pada September 2023. Alih-alih panik karena jumlah migrasi, Woollard menyarankan sistem suaka Eropa harus dirancang agar berfungsi.

Reformasi peraturan suaka UE

Seminggu sebelum Natal 2023, Parlemen UE dan negara-negara anggotanya menyepakati reformasi kebijakan migrasi dan suaka yang luas di UE. Namun, sebelum ini dapat berlaku, perjanjian tersebut harus disetujui secara resmi oleh negara-negara anggota dan Parlemen UE. Kesepakatan politik ini direncanakan akan berlaku paruh pertama tahun ini setelah rincian teknisnya diklarifikasi.

Namun pakar migrasi dan pengamat politik David Kipp memperkirakan peraturan baru ini bisa diterapkan dua hingga tiga tahun ke depan. Prioritas pertama adalah kesepakatan simbolik, yang akan menjadi "pembebasan politik" bagi pihak yang terlibat.

Reformasi ini akan memberikan prosedur yang lebih ketat, seperti prosedur perbatasan bagi pencari suaka yang peluang keberhasilannya kecil. Mereka harus diakomodasi dalam kondisi seperti rumah tahanan, tanpa pengecualian bagi keluarga dengan anak-anak. Juga harus ada mekanisme wajib di antara negara-negara anggota untuk meringankan beban negara-negara perbatasan. Jika suatu negara anggota menolak menerima pencari suaka, negara tersebut harus membayar kompensasi finansial atau memberikan kontribusi lain. 

Sejumlah organisasi hak asasi manusia mengkritik keras rencana peraturan tersebut. Catherine Woollard juga khawatir akan terkikisnya hak atas suaka yang sudah rapuh. Ia menilai reformasi ini tidak akan menyelesaikan permasalahan di bidang migrasi. "Karena tanggung jawab yang lebih besar dari negara-negara perbatasan, yang diatur dalam perjanjian tersebut, kami memperkirakan akan ada lebih banyak penolakan di perbatasan," kata pakar migrasi tersebut.

Mengenai kelayakannya, Kipp mengatakan pertama-tama kita harus menunggu dan melihat seberapa praktis proposal baru tersebut. Misalnya, perlu diperjelas apakah kamp perlu dibangun untuk prosedur perbatasan dan bagaimana kamp tersebut dirancang secara manusiawi.

Menilai keberhasilan perjanjian migrasi dengan negara ketiga

Di musim panas 2023, Uni Eropa menyepakati perjanjian migrasi dengan Tunisia. Negara tersebut harus mencegah migran melintasi Mediterania, sebagai imbalannya, ada bantuan keuangan senilai lebih dari satu miliar euro.

Sejauh ini, perjanjian tersebut belum membuahkan hasil yang signifikan. Dan tampaknya ada sedikit krisis dalam hubungan dalam hal lain juga: pada bulan Oktober, Presiden Tunisia Kais Saied menolak pembayaran jutaan dolar dari Uni Eropa sebagai "sedekah". 

Di tahun ini diplomasi migrasi akan semakin penting, demikian prediksi pengamat politik David Kipp. Kesepakatan dengan Tunisia bukanlah perjanjian pertama UE dengan negara ketiga yang melarang migran masuk ke Eropa. Di masa lalu, perjanjian serupa pernah dicapai dengan Turki dan Libya. UE saat ini sedang mengerjakan perjanjian serupa dengan Mesir. Kesepakatan ini sangat kontroversial dari sudut pandang hak asasi manusia, dan tidak terlalu berhasil, kata Catherine Woollard.

Prosedur perbatasan yang sekarang direncanakan juga memerlukan kerja sama lebih lanjut dengan negara-negara yang menerima pencari suaka yang sebelumnya ditolak, menurut David Kipp. Negara transit tidak berkepentingan untuk menerima kembali orang-orang dari negara ketiga.

Migrasi jadi isu dalam kampanye pemilu Uni Eropa?

Secara tidak resmi terdengar di Brussel bahwa kesepakatan mengenai kebijakan suaka juga diperlukan untuk menghilangkan kekhawatiran bangkitnya kelompok populis sayap kanan. Pemilihan Parlemen Eropa akan diadakan pada Juni 2024, dan isu migrasi sering kali memainkan peran utama dalam pemilu-pemilu baru-baru ini di Eropa, seperti pemilu di Belanda.

Namun, para ahli seperti ilmuwan politik David Kipp merasa skeptis bahwa peraturan suaka yang baru dapat membantu menghilangkan masalah ini. Kenyataannya adalah migrasi akan terus berlanjut. ae/hp

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Lucia Schulten Koresponden Eropa di DW Studio Brussels, dengan fokus pada Uni Eropa dan pengadilan internasional.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait