1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bioplastik Bukan Solusi Tepat Ganti Plastik Sekali Pakai?

31 Agustus 2020

Dua bulan larangan penggunaan plastik sekali pakai di Jakarta berjalan, WALHI ungkap masih ditemukan pusat perbelanjaan yang belum menerapkan kebijakan ini. Penggunaan bioplastik dinilai bukan solusi tepat.

Salah satu situasi pusat perbelanjaan di jakarta saat pandemi
Foto: picture-alliance/AP Photo/T. Syuflana

Sejak 1 Juli 2020, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lewat Pergub DKI Jakarta Nomor 149 Tahun 2019, telah resmi melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai di pusat perbelanjaan, toko swalayan, hingga pasar tradisional.

Setelah dua bulan berjalan, terdapat sejumlah catatan masalah yang masih muncul di lapangan. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi, mengatakan sebelum Pergub diterapkan, sosialisasi terkait pelarangan penggunaan plastik sekali pakai dan bahayanya belum maksimal dilakukan pihak Pemprov.

“Menerapkan sosialisasi tentang bahaya atau dampak negatif dari penggunaan kantong plastik sekali pakai itu paling jarang yang ditemukan oleh kita,“ ujar Tubagus dalam sebuah diskusi online, Senin (31/08).

Ia mengaku, berdasarkan pemantauan WALHI, dalam penerapannya masih ditemukan pusat-pusat perbelanjaan yang menggunakan kantong plastik sekali pakai. Padahal menurutnya, pelaku usaha telah diberikan waktu enam bulan lewat sosialisasi untuk menerapkan kebijakan ini.

“Di awal Juli dan Agustus ini kita masih menemukan adanya pelaku usaha yang masih menggunakan kantong plastik sekali pakai,“ ungkap Tubagus.

Maka dari itu, Tubagus menyerukan agar pemerintah provinsi melakukan pengawasan lebih ketat untuk memastikan kebijakan berjalan dengan benar. “Jika pemerintah merasa sumber dayanya tidak cukup (melakukan pengawasan) mereka bisa melibatkan masyarakat, lembaga NGO, dalam hal pengawasan dan segala macamnya.”

Bioplastik bukan solusi tepat

Upaya mengganti kantong plastik sekali pakai dengan kantong plastik berbahan dasar tanaman pangan atau yang biasa disebut bioplastik pun dinilai bukan solusi tepat untuk dijadikan kantong belanja ramah lingkungan (KBRL). Bioplastik dianggap bukan jawaban dari krisis sampah plastik.

Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Fajri Fadhillah, mengatakan bahwa bioplastik tidak dirancang untuk digunakan berulang kali dalam waktu yang panjang.

“Bioplastik itu membawa citra bahwa bioplastik itu dapat dengan mudah terurai di alam atau dapat dikompos,“ ujar Fajri.

“Setidak-tidaknya dengan pesan ini secara implisit kita bisa menangkap pesan promotor atau pihak yang mendorong bioplastik ini memang masih mempertahankan budaya-budaya penggunaan produk yang memang digunakan dalam waktu yang singkat dan memang bisa dibuang ke tempat sampah masing-masing rumah tangga,“ lanjutnya.

Fajri pun menjelaskan bahwasannya bioplastik juga memiliki sejumlah masalah lainnya, salah satunya klaim biodegradable (mudah terurai di alam) yang masih diteliti hingga kini.

“Jika kantong plastiknya dibiarkan di udara pada akhirnya kantong yang diklaim bioplastik ini pada akhirnya akan terfragmentasi menjadi plastik kecil, bukan terurai, yang pada akhirnya juga mencemari lingkungan,“ katanya.

Ancam ketahanan pangan dan ketersediaan lahan?

Senada dengan Fajri, juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi, mengatakan bioplastik merupakan plastik campuran dari bahan bakar fosil dan tanaman pangan seperti jagung atau tebu.

“Misalnya dia diklaim dapat terurai, dia juga bukan berarti terurai secara alami dia juga meninggalkan jejak-jejak mikroorganisme,“ ujar Atha.

Karena bahan materialnya yang sebagian besar berasal dari komoditas pangan, Atha pun menyoroti dampak jangka panjang dari subsititusi kantong plastik sekali pakai dengan bioplastik ini. Ia berpendapat produksi bioplastik secara massal dapat mengancam ketahanan pangan dan mendorong pembukaan lahan, serta meningkatkan emisi gas rumah kaca dari sektor pertanian. 

“Tentu ini akan menjadikan masalah baru bagi ketersediaan lahan dan juga mungkin berkompetisi dengan ketersediaan pangan kita, karena kita tahu saat ini juga kita sudah menghadapi berbagai masalah terkait deforestasi, kerusakan hutan, dan sebagainya,“ imbuh Atha.

“Bisa jadi ke depannya kita akan menghadapi masalah kebakaran hutan ataupun kerusakan lahan lainnya hanya untuk membuat lahan-lahan apakah singkong apakah jagung bisa dipakai untuk membuat bioplastik,“ lanjutnya.

Meski demikian, Atha mengapresiasi warga Jakarta yang mau beradaptasi dengan kebijakan larangan penggunaan kantong pasltik sekali pakai. Berdasarkan survei yang dilakukan Aliansi Zero Waste Indonesia yang masih berjalan hingga sekarang, sejauh ini mayoritas warga Jakarta mengaku telah menggunakan kantong belanja ramah lingkungan (KBRL).

“Intinya masyarakat sudah mulai terbiasa,“ pungkas Atha.

Sebelumnya, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menyoroti penggunaan plastik berbahan dasar tanaman pangan untuk mengganti penggunaan plastik sekali pakai. Ia menilai bioplastik menjadi solusi mengatasi krisis sampah plastik di ibu kota sekaligus mendukung penreapan Pergub DKI Jakarta Nomor 149 tahun 2019.

rap/ha

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait