1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Masih Ingatkah Jokowi dan Megawati dengan Kudatuli?

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
27 Juli 2019

Masih ingatkah Jokowi dan Megawati dengan peristiwa Kudatuli? Atau benar-benar melupakannya, dengan simbolisasi dibangunnya gedung baru di atas puing-puing peristiwa itu? Opini Aris Santoso.

Foto: Reuters

Pada bulan Agustus nanti, PDIP berencana mengadakan Kongres V di Bali, dengan agenda utama (kabarnya) mengukuhkan kembali Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum. Dengan kata lain belum akan ada rencana regenerasi pucuk pimpinan PDIP. Bila dilihat dari jadwal, berarti kegiatan di Bali tersebut, tak lama sesudah Peringatan 27 Juli 1996 (Kudatuli).

Bagi publik awam, termasuk mayoritas pendukung PDIP, masih belum jelas bagaimana posisi peristiwa 23 tahun lalu dalam kongres di Bali. Mengingat dalam beberapa tahun terakhir, para elite PDIP seolah sudah melupakan peristiwa 27 Juli, terlebih di lokasi tempat terjadinya peristiwa, sudah tidak ada jejaknya lagi. Kini di lokasi peristiwa, telah berdiri gedung megah kantor pusat DPP PDIP.

Peristiwa 27 Juli 1996 memang sudah lama berlalu. Namun bagi peristiwa dengan magnitude besar, rentang waktu menjadi relatif, karena peristiwa dimaksud akan selalu tersimpan dalam memori rakyat. Bila PDIP seolah "melupakan” 27 Juli, tentu sebuah ironi. Orang awam pun paham, sebab apa yang dicapai PDIP saat ini, tidak bisa dilepaskan dari peristiwa berdarah tersebut.

Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Hampir dilupakan

Sampai sekarang belum jelas benar, mengapa pihak PDIP seolah ingin melupakan peristiwa tersebut. Padahal peristiwa itu merupakan modalitas awal bagi PDIP dalam meraih kejayaannya hari ini.

Salah satunya kemungkinannya adalah,  PDIP sudah memperoleh kompensasi (baca: kehormatan) yang berlebih sebagai dampak Peristiwa 27 Juli, sehingga peristiwa itu tidak relevan lagi untuk diingat. Bukankah sudah jamak dalam masyarakat kita, kekuasaan dan lingkungan yang berganti menjadikan seseorang mudah dihinggapi amnesia sejarah.

Bagi PDIP saat ini, tentu lebih memicu andrenalin mengelola kekuasaan, ketimbang memikirkan hal-hal sentimentil terkait Peristiwa 27 Juli. PDIP sedang sibuk memikirkan bagaimana skema paling menguntungkan, ketika salah satu kadernya, yakni Jokowi kembali terpilih sebagai Presiden untuk periode yang kedua (2019-2024). Mulai sekarang PDIP sudah mulai menyiapkan kader-kader terbaiknya untuk duduk di kursi kabinet. Pertanyaan yang lebih penting adalah, berapa jumlah posisi menteri yang akan diberikan bagi kader PDIP. Sekadar perbandingan, Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB)  sempat meminta alokasi sepuluh menteri bagi PKB.

Bisa jadi Muhaimin sedang bluffing, dan jumlah sebesar itu (10 menteri) bagi PKB tentu tidak masuk akal, namun setidaknya itu bisa memberi gambaran, bagaimana bernafsunya para elite parpol anggota koalisi dalam berebut jabatan di kabinet. Bila Muhaimin saja minta "jatah” 10 menteri, kira-kira sejumlah itulah yang nanti kira-kira akan didapatkan PDIP.

Jelas PDIP harus memperoleh pos menteri lebih banyak dibanding PKB, atau parpol anggota koalisi lainnya. PDIP merasa sah memperoleh pos menteri sebanyak itu, karena PDIP menyumbang suara paling banyak bagi kemenangan Jokowi, dan lagi Jokowi adalah kader PDIP.

Mengatur pembagian kursi kabinet periode kedua Presiden Jokowi, adalah salah satu kesibukan Megawati, bila dirinya terpilih kembali sebagai Ketua Umum PDIP kelak.

Meski bukan sebagai presiden, Megawati sangat menikmati posisi sebagai king (atau queen) maker. Selaku kingmaker, tentu Megawati akan terlibat dalam perundingan atau bargaining, yang menjadikan dirinya akan banyak disanjung oleh elite parpol lain, yang sedang berharap untuk memperoleh jabatan. Situasi seperti inilah yang menjadikan dirinya enggan lengser.

Dalam budaya politik patrimonial, posisi ketua umum partai memang sangat menentukan. Hampir semua keputusan strategis harus lewat dirinya, utamanya terkait jabatan. Ada metafora bagus untuk menggambarkan betapa pentingnya posisi ketua umum partai, utamanya bagi partai yang sedang berkuasa, yakni (jawa) "idu geni”(ludah api). Maksudnya kira-kira, apa yang menjadi kehendak ketua umum partai, hampir pasti terlaksana.

Kita bisa melihat pada tokoh-tokoh yang memiliki prospek politik cemerlang ketika masih bergabung di PDIP dulu, seperti Marissa Haque atau Rustriningsih (mantan Bupati Kebumen dan Wagub Jawa Tengah). Namun ketika sudah disisihkan oleh Megawati, namanya hilang begitu saja, dan menjadi pariah secara politik. Sejatinya, kekuatan Megawati yang begitu dahsyat masih sebuah misteri. Sebab anak biologis Soekarno yang lain, tidak memiliki kekuatan yang sangat istimewa seperti itu.

Konflik militer

Bila kemudian PDIP terkesan ingin melupakan (peristiwa) 27 Juli, tentu ada alasannya. Salah satunya adalah, bahwa peristiwa tersebut adalah juga bagian dari konflik internal militer (AD), sehubungan perebutan jabatan KSAD. Peristiwa tersebut dijadikan alasan untuk menghambat laju karier Letjen Suyono (Kasum ABRI, Akmil 1965), yang sedang disiapkan (kubu) Cendana sebagai KSAD. Singkatnya, PDIP bukan pemain tunggal.

Menurut memoar Brigjen (Purn) Slamet Singgih (Akmil 1965) yang baru saja terbit, peristiwa 27 Juli secara politis melibatkan sejumlah perwira sekelasnya dari Akmil 1965, yaitu (dengan pangkat saat itu) Letjen Suyono (Kasum), Mayjen Tarub (Pangkostrad), Mayjen Muzani Syukur (Irjenad), Mayjen Syamsir Siregar (Kepala BAIS), dan Mayjen Theo Syafei.

Sempat beredar kabar, yang bakal menggantikan Suyono sebagai Kasum adalah Muzani, namun ternyata yang kemudian terpilih adalah Tarub. Muzani batal dilantik sebagai sebagai Kasum, karena dianggap sebagai "orangnya” Theo Syafei. Muzani mendengar info dari Syamsir,  bahwa ada pihak yang menyebut dirinya bagian dari Theo, sehingga Soeharto membatalkan promosinya sebagai Kasum. Namun kemudian kita tahu, Muzani kemudian juga memperoleh pos bintang tiga, sebagai Komandan Sesko TNI (d/h ABRI).

Dari sekian nama perwira asal Akmil 1965 tersebut, kuncinya memang pada Theo Sjafei, yang sejak lama dikenal sebagai orang kepercayaan Benny Moerdani. Benar kubu Benny juga ikut "bermain” dalam Peristiwa 27 Juli, dengan target jangka panjang, bukan mengincar posisi KSAD, namun bagaimana membesarkan nama Megawati, sebagai salah satu cara mengimbangi sosok Soeharto.

Theo Sjafei perwira kesayangan Benny Moerdani, yang sudah membantu Benny sejak Operasi Flamboyan di Timor Leste (1974-1975) dan bahkan mungkin jauh sebelum periode itu. Setelah pensiun, Theo Sjafei menjadi penasehat politik kepercayaan Megawati, kurang lebih posisinya sama dengan Luhut Pandjaitan dalam pemerintahan Jokowi sekarang.

Salah satu cara Benny untuk mengimbangi (baca: melawan) Soeharto, adalah dengan diam-diam membantu Megawati, puteri Bung Karno. Ini memang perang simbolis—pada awalnya publik juga tidak sadar. Benny sengaja mendorong karier politik Megawati, mengingat Bung Karno adalah mimpi buruk bagi Soeharto. Strategi Benny bisa disebut sebagai "operasi senyap” yang memang sudah jadi spesialisasi Benny sejak lama.

Walhasil, publik awam kesulitan membaca langkah Benny, misalnya selama kampanye PDI menjelang Pemilu 1987 yang demikian gegap-gempita. Rasanya mustahil tak ada dukungan dari salah satu faksi elite politik di Jakarta sehingga kampanye PDI bisa sedahsyat itu. Benar, memang ada dukungan dari Benny yang saat itu masih menjabat Panglima ABRI (kini TNI) dan menguasai jaringan intelijen. Dukungan Benny terus berlanjut.

Puncaknya adalah Peristiwa 27 Juli 1996, yang setelahnya laju nama Megawati tak tertahankan lagi. Berkat peristiwa 27 Juli 1996 pula, Megawati bersama elite PDIP lainnya bisa meraih apa yang selalu menjadi impian para politikus, yaitu kekuasaan dan kemapanan. Kejayaan ini masih dirasakannya sampai hari ini, bahkan masih mungkin terus berlanjut, entah sampai kapan.

Penulis:

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait