"Tak ada berita yang layak untuk mati", itulah slogan yang bergaung di Konferensi Keselamatan Pekerja Media yang digelar UNESCO di Paris, Perancis.
Iklan
UNESCO menegaskan, wartawan di seluruh dunia masih sering menjadi korban pembunuhan brutal, ketika sedang menjalankan tugasnya. Konferensi Keselamatan Pekerja Media (Media Safety) di gelar hari Jumat lalu (05/02) di Paris.
"Sekarang, makin banyak wartawan yang menjadi sasaran serangan di setiap sudut dunia - brutal, ditembak mati dan disiksa sampai mati oleh musuh-musuh kebebasan pers," kata Jim Boumelha, Presiden International Federation of Journalists (IFJ) yang berbasis Brussels.
Boumelha menegaskan, kebanyakan kasus merupakan kasus impunitas, artinya, pelakunya tidak diusut atau dihadapkan ke pengadilan.
Tetap tingginya angka kematian pekerja mediaadalah jeritan yang menuntut aksi tegas dari lembaga-lembaga internasional seperti PBB, untuk memaksa pemerintahan (nasional) agar lebih memperhatikan situasi keamanan yang dihadapi jurnalis dan media," kata Bouleha dalam sambutannya di hadapan peserta konferensi.
"Dalam laporan terakhir yang dirilis tidak lama sebelum konferensi, IFJ mengatakan ada sekitar 2300 wartawan dan pekerja media tewas sejak tahun 1990. Lebih dari 95 persen korban tewas itu mati di negaranya sendiri.
Boumelha menerangkan, dunia biasanya tidak mengambil catatan dari kasus-kasus pembunuhan ini "kecuali kalau yang tewas koresponden dari media Barat yang terkenal".
"Betapa hebatnya resiko yang dihadapi wartawan lokal, atau wartawan yang melaporkan dalam lingkup, (resiko itu) tidak pernah sebesar saat ini," tambahnya. Pembunuhan telah menjadi "cara termudah dan paling efektif untuk membungkam wartawan".
IFJ menekankan bahwa sebagian besar wartawan tidak dibunuh di medan perang: "Lebih 75 persen dibunuh langsung, misalnya oleh pria bersenjata yang kemudian melarikan diri dengan motor, mereka ditembak atau ditikam sampai mati dekat rumah atau kantor mereka, atau ditemukan tewas setelah diculik dan disiksa".
Sebagian besar penyerang tidak terkena sanksi, karena banyak pemerintahan tidak mau melaksanakan penyelidikan yang efektif, kata peserta konferensi.
IFJ dalam laporan tahunannya menyebutkan, "tidak kurang dari 90 persen aksi.aksi pembunuhan jurnalis di seluruh dunia, hanya ada sedikit atau tidak ada penuntutan sama sekali ".
Direktur Jenderal UNESCO Irina Bokova mengatakan kepada kantor berita IPS, masalah impunitas ini perlu ditangani oleh negara-negara anggota PBB. Sebagai badan yang juga khusus berjuang untuk kebebasan pers, UNESCO telah menuntut informasi dari pemerintahan memberi informasi tentang "tindakan yang diambil untuk mengejar para pelaku kejahatan ini". Tapi beberapa negara tidak mengirimkan informasi yang diminta, papar Bokova.
Sepanjang konferensi, perwakilan pekerja media juga mengemukakan berbagai gagasan untuk menangani isu keamanan dan impunitas secara internasional dengan aturan yang mengikat.
Para peserta konferensi juga menyoroti buruknya situasi kerja pada pekerja lepas (freelancer) di media. Mereka sering mendapat bayaran rendah, tidak mendapat dukungan yang cukup, terutam,a dalam pemberitaan situasi krisis.
Diane Foley, pembicara pada pertemuan tersebut, mengatakan bahwa ketika putranya James Foley diculik ISIS, keluarga "merasa sangat sendirian". Foley,yang bekerja sebagai tenaga paruh waktu, dibunuh penculiknya tahun 2014.
Editor Indonesia Yuli Ismartono yang hadir dalam konferensi itu menyoroti masalah ekstremisme, yang belakangan menjadi ancaman besar bagi pekerja media. Cara terbaik menangkal ekstremisme adalah memberikan publik apa yang diebut "Literasi Media", terutama di daerah yang mengalami peningkatan ekstremisme, kata dia.
"Publik adalah institusi sensor kami yang baru kami," kata Ismartono. "Kalau mereka tidak suka apa yang kami beritakan, mereka bisa menyerang kami tanpa tanpa pandang bulu."
"Dia menjelaskan, Indonesia memang telah beralih dari megara represif menjadi negara demokrasi dalam waktu singkat. "Tapi kita belum mendidik masyarakat untuk menerima kebebasan yang baru.
Wartawan dan Kebebasan Pers
Sebuah studi mengungkap, situasi yang dihadapi wartawan masih buruk. Berikut negara-negara yang dianggap berbahaya buat awak pers.
Foto: AFP/Getty Images/P. Baz
"Setengah Bebas" di Indonesia
Di Asia Tenggara, cuma Filipina dan Indonesia saja yang mencatat perkembangan positif dan mendapat status "setengah bebas" dalam kebebasan pers. Namun begitu Indonesia tetap mendapat sorotan lantaran besarnya pengaruh politik terhadap media, serangan dan ancaman terhadap aktivis dan jurnalis di daerah, serta persekusi terhadap minoritas yang dilakukan oleh awak media sendiri.
Foto: picture-alliance/ dpa
Kebebasan Semu di Turki dan Ukraina
Pemberitaan berimbang, keamanan buat wartawan dan minimnya pengaruh negara atas media: Menurut Freedom House, tahun 2013 silam cuma satu dari enam manusia di dunia yang dapat hidup dalam situasi semacam itu. Angka tersebut adalah yang terendah sejak 1986. Di antara negara yang dianggap "tidak bebas" antara lain Turki dan Ukraina.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Serangan Terhadap Kuli Tinta
Turki mencatat serangkain serangan terhadap wartawan. Gökhan Biçici (Gambar) misalnya ditangkap saat protes di lapangan Gezi. Menurut Komiter Perlindungan Jurnalis (CPJ), awal Desember lalu Turki memenjarakan 40 wartawan - jumlah tertinggi di seluruh dunia. Ancaman terbesar buat kebebasan pers adalah pengambil-alihan media-media nasional oleh perusahaan swasta yang dekat dengan pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images
Celaka Mengintai buat Suara Kritis
Serangan terhadap jurnalis juga terjadi di Ukraina, terutama selama aksi protes di lapangan Maidan dan okupasi militan pro Rusia di Krimea. Salah satu korban adalah Tetiana Chornovol. Jurnalis perempuan yang kerap memberitakan gaya hidup mewah bekas Presiden Viktor Yanukovich itu dipukuli ketika sedang berkendara di jalan raya. Ia meyakini, Yanukovich adalah dalang di balik serangan tersebut.
Foto: Genya Savilov/AFP/Getty Images
"Berhentilah Berbohong!"
Situasi kritis juga dijumpai di Cina dan Rusia. Kedua pemerintah berupaya mempengaruhi pemberitaan media dan meracik undang-undang buat memberangus suara kritis di dunia maya. Rusia misalnya membredel kantor berita RIA Novosti dan menjadikannya media pemerintah. Sebagian kecil penduduk Rusia pun turun ke jalan, mengusung spanduk bertuliskan, "Berhentilah Berbohong!"
Foto: picture-alliance/dpa
Mata-mata dari Washington
Buat Amerika Serikat, mereka adalah negara dengan kebebasan pers. Namun kebijakan informasi Washington belakangan mulai menuai kecaman. Selain merahasiakan informasi resmi dengan alasan keamanan nasional, pemerintah AS juga kerap memaksa jurnalis membeberkan nara sumber, tulis sebuah studi. Selain itu dinas rahasia dalam negeri AS juga kedapatan menguping pembicaraan telepon seorang jurnalis.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Terseret Kembali ke Era Mubarak
Setelah kejatuhan Presiden Mursi yang dianggap sebagai musuh kebebasan pers, situasi di Mesir pasca kudeta militer 2013 lalu terus memanas. Belasan jurnalis ditangkap, lima meninggal dunia "di tangan militer," tulis Freedom House. Media-media yang kebanyakan tunduk pada rejim militer Kairo membuat pemberitaan berimbang menjadi barang langka di Mesir.
Foto: AFP/Getty Images
Situasi di Mali Membaik
Mali mencatat perkembangan positif. Setelah pemilu kepresidenan dan operasi militer yang sukses menghalau pemberontak Islamis dari sebagian besar wilayah negara, banyak media yang tadinya dibredel kembali beroperasi. Kendati begitu perkembangan baru ini diwarnai oleh pembunuhan dua jurnalis asal Perancis, November 2913 silam.
Foto: AFP/Getty Images
Tren Positif di Kirgistan dan Nepal
Beberapa negara lain yang mengalami perbaikan dalam kebebasan pers adalah Kirgistan, di mana 2013 lalu tercatat lebih sedikit serangan terhadap jurnalis. Nepal yang juga berhasil mengurangi pengaruh politik terhadap media, tetap mencatat serangan dan ancaman terhadap awak pers. Loncatan terbesar dialami oleh Israel yang kini mendapat predikat "bebas" oleh Freedom House.
Foto: AFP/Getty Images
Terburuk di Asia Tengah
Freedom House menggelar studi di 197 negara. Setelah melalui proses penilaian, lembaga bentukan bekas ibu negara AS Eleanor Roosevelt itu memberikan status "bebas", "setengah bebas" dan "tidak bebas" buat masing-masing negara. Peringkat paling bawah didiami oleh Turkmenistan, Uzbekistan dan Belarusia. Sementara peringkat terbaik dimiliki oleh Belanda, Norwegia dan Swedia.
Foto: picture-alliance/dpa
10 foto1 | 10
"Banyak yang belum paham peran media," katanya kepada IPS. "Literasi Media adalah langkah penting untuk meningkatkan kesadaran ini.