1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Masjid Sebagai Pusat Pendidikan Perilaku Ramah Lingkungan

20 Mei 2019

Sebagian besar masjid kini masih hanya berperan sebagai tempat ibadah. EcoMasjid datang dan memelopori ide pendidikan lingkungan hidup yang berpusat di masjid. Seperti apa?

Bosnein-Herzegowina Foca Wiedereröffnung der Aladza Moschee
Foto: picture-alliance/PIXSELL/A. Durgut

Kehidupan bermasyarakat yang memberi perhatian besar pada lingkungan dan alam sangat dianjurkan dalam agama Islam. Oleh karena itu, untuk semakin meningkatkan kesadaran akan pelestarian lingkungan hidup pada umat muslim Indonesia, Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLHSDA) Majelis Ulama Indonesia (MUI) melahirkan gerakan ecoMasjid.

Inisiatif ini bermaksud menjadikan masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah, melainkan juga pusat pendidikan, dalam hal ini pendidikan dan pengetahuan terkait lingkungan hidup. Deutsche Welle berkesempatan untuk berbincang lebih lanjut mengenai inisiatif ecoMasjid bersama Direktur LPLHSDA MUI, Dr. Hayu S. Prabowo.   

Deutsche Welle: Apa ide dibalik inisiatif ecoMasjid?

Dr. Hayu Prabowo (ketiga dari kiri) pada acara penyerahan panel listrik surya untuk masjid terpencil di Papua BaratFoto: ecoMasjid

Dr. Hayu: Masjid itu fungsinya kan ada tiga ya, masjid sebagai tempat ibadah, pengajaran dan sosial. Masjid jadi sarana ideal untuk menyebarkan pengetahuan dan pendidikan mengenai lingkungan hidup. Karena tentang lingkungan hidup, dari dulu kita memiliki keyakinan bahwa lingkungan hidup ini bukan masalah yang terkait dengan teknis atau masalah hukum, melainkan lebih terkait dengan moral. Menggunakan pendekatan moral keagamaan untuk bagaimana mengubah perilaku menjadi lebih ramah lingkungan.

Nah, perilaku ini otomatis kita terjemahkan dalam bahasa-bahasa keagamaan. Kita ubah, kita sesuaikan, kita lengkapi masalah-masalah lingkungan hidup itu dengan bahasa-bahasa agama. Itu yang coba kita sebarkan untuk umat Islam. Nah, masjid ini sebagai pusatnya yang bisa kita gunakan bersama.

Jadi masjid bukan hanya untuk dakwah lisan dan tulisan, tapi juga dakwahnya dengan aksi, jadi masjid juga harus menunjukkan dirinya, pengurus dan jamaah harus bekerja bersama menyelesaikan masalah-masalah lingkungan.

Di 2011 ecoMasjid masih inisiasi. Diresmikan baru 2017 kemarin oleh Pak Jusuf Kalla, jadi memang itu agak lama, karena itu masih on-off dan cari tema yang cocok. Beberapa tahun itu kita masih berevolusi lah, dan di 2017 itu sudah pakem, program-programnya apa saja.

Yang mendorong sih sebenarnya itu untuk kepentingan umat dan kewajiban kita sebagai muslim, sebagai khalifah di bumi, yang memegang amanah dan tanggung jawab. Sudah menjadi tugas kita untuk menyebarkan Islam yang rahmatan lil alamin. Memberikan rahmat ke seluruh alam ini, ya termasuk kepada tumbuhan dan binatang.    

Sejak dibentuk hingga sekarang, apa efek nyata yang tampak dari program ecoMasjid?

Kesadaran masyarakat tentang lingkungan hidup memang masih rendah ya. MUI punya enam fatwa untuk mendukung kegiatan lingkungan hidup karena kita tidak bisa kampanye kalau kita tidak punya landasan basis syariah. Dengan adanya fatwa-fatwa itu, kita kembangkan menjadi pedoman, menjadi khotbah. Itu yang kita lakukan.

Sekarang kita sudah mulai sosialisasikan ke dai-dai. Kalau MUI, kalau (turun) langsung (ke masyarakat) itu kan sulit ya, kita ke dai-dai seluruh Indonesia, jadi dai-dai itu menyampaikannya dengan local wisdom, local culture. Jadi kita ke dai, dan dai yang langsung ke masyarakat. Efeknya memang sekarang ini, sudah ada beberapa masjid yang melakukan ecoMasjid dan orang sudah mulai tertarik gitu yah. Dan intinya sekarang orang sudah mulai aware, oh MUI itu ada lingkungan hidupnya.

Selain itu, di Ramadan ini kita launch yang namanya ecoRamadan. Nanti bisa lihat IG (akun instagram-red) kita, itu ecomasjid.id, kita lagi kampanye tentang SDGs (sustainable developtment goals-red) tapi di personal level.

Kalau di level masjid, ada tiga area yang kita fokuskan, yaitu air, energi dan pangan. Karena masjid tidak berurusan dengan pangan, kita fokusnya pada dua aspek, energi dan air. Karena masjid sangat membutuhkan air.

Basisnya apa? Basisnya itu ada hadis Rasulullah. Beliau bersabda "manusia berserikat dalam tiga hal, dalam makanan atau tanaman, dalam air dan dalam api atau energi” jadi manusia berserikat dalam air, energi dan pangan. Nah jadi fokus kita ke situ.

SDG itu kan sama, yang food, energy and water nexus. Itu klop sama kita sebetulnya.

Poster kampanye ecoRamadan dari ecoMasjidFoto: Eco Masjid

Tentang ecoRamadan, apa saja poin-poin yang menjadi perhatian utama?

Itu juga sebenarnya terjemahan dari air, energi dan pangan. Waktu Ramadan kan kita menahan diri ya, syahwat perut dan syahwat faraj. Untuk air misalnya, berwudu itu sunahnya 750 mililiter, satu mud, sekarang orang bisa lima liter, lebih malah bahkan untuk wudu itu. Kemudian juga wudu Maghrib dengan Isya satu wudu. Kemudian hemat air. Terkait air, ada tiga aspek; simpan air, hemat air dan jaga air.

Simpan air itu air hujan kita simpan, sumur resapan, tanam pohon, itu contoh tindakan simpan air. Hemat air itu, peran air wudu tadi. Yang ketiga jaga air, air yang bersih jangan dicemari.

Untuk pangan, jangan buang-buang makanan. Indonesia terkenal sebagai pembuang makanan terbesar di dunia setelah Arab Saudi. Sangat memalukan, kita kekurangan pangan tapi buang-buang pangan. Kalau makanan memang harus dibuang, itu diturunin, apakah dikasih orang, apakah dikasih ke binatang atau diurai jadi pupuk atau jadi pangan yang lain. Tapi jangan dibuang gitu loh.

Tips dari ecoMasjid untuk Ramadan yang lebih hijauFoto: Eco Masjid

Energi misalnya, matiin lampu. Atau kalau mau ngabuburit, itu enggak musti ngabuburit jalan-jalan, tapi beribadah saja.

Poin-poin yang kita sosialisasikan lewat akun sosial media ecoMasjid itu ada hadisnya. Misalnya hemat air wudu, sampah, makan. Insya Allah kita juga kampanyekan yang namanya "locavore". Locavore itu makan makanan lokal. Karena Rasulullah juga makan dari makanan lokal. Itu juga yang sedang kita kampanyekan. Makanan lokal dan tidak boleh buang-buang makanan. Itu ada hadisnya semua.

Ada sekitar 100 komunitas ecoMasjid di Indonesia. Jumlah tersebut bisa dibilang sedikit, jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan masjid di Indonesia. Apa bentuk usaha yang pihak ecoMasjid atau LPLHSDA MUI lakukan untuk semakin menggiatkan kampanye gaya hidup berkelanjutan di masjid dan pada umat Muslim Indonesia?

Saya sebenarnya pengurus Dewan Masjid Indonesia (DMI) juga. Kita juga coba perkenalkan di Dewan Masjid Indonesia, tapi memang enggak gampang. Di ecoMasjid, orang Malaysia belajar ke sini, orang Singapura interview, tapi dari Indonesia itu nggak ada care, maksudnya dari wartawan Indonesia wawancara ecoMasjid enggak ada. Nah ini jadi tantangan kita. Dan makanya kita juga masuk ke banyak komunitas. Pertama pada pegiat lingkungan hidup supaya kita melakukan hal ini.

Kita punya ecoRamadan tadi, tiap dua hari sekali kita keluarkan poster baru, dan kita punya green iftar. Green iftar itu buka puasa ramah lingkungan, tanpa plastik, tanpa sampah. Bagaimana pedomannya? Karena saya ketua salah satu masjid di sini, itu saya tahu persis, itu enggak gampang. Karena itu mengubah seluruh supply chain, dan mengubah fasilitas masjid. Mengubah juga semua prosedur cara bekerja orang-orang. Dan itu bukan sesuatu yang mudah, perlu ketelatenan. Itu yang sering kita perkenalkan. Hal seperti itu kita (lakukan) pelan-pelan dan kita baru tahu skemanya.

Apa langkah yang dilakukan untuk menanggulangi hambatan yang Anda temui dalam menggiatkan kampanye ecoMasjid?

Pertama, ini adalah bagian ibadah. Orang Indonesia lebih suka ya bicara ibadah daripada ngomong undang-undang, buang sampah didenda sekian. Saya yakin mereka masih dengerin kita.

Kedua, saya juga sudah bekerja sama dengan luar negeri, jadi ada green faith gitu ya, mereka punya program namanya living the change, kita masuk ke grup itu. Ekspektasi kita, karena ini internasional, jadi kalau Anda masuk ke gerakan kita berarti Anda masuk ke gerakan internasional. Nah, ini yang kami harapkan juga, dana internasional bisa support kita, itu yang sedang kita rintis sekarang ini. Cuma masalahnya fokus di Eropa atau di luar negeri, air itu bukan masalah, sementara bagi kita air itu masalah utama gitu. Nah kita sedang diskusikan. Kita lagi cari common ground-nya, persamaannya.

Kita sudah masuk ke internasional. Saya juga sudah diundang ke PBB, saya juga aktif di Interfaith. Dengan AS, Eropa, Inggris, kita sudah masuk. Cuma memang belum berkembang ya, masih dalam tahap awal. Mereka di dunia ini sudah mulai melihat gitu, Indonesia seperti apa. Alhamdulillah sih mulai tahun ini mulai agak berkembang. Tahun depan mudah-mudahan lebih tinggi lagi. Kalau kita punya afiliasi luar negeri itu exposure-nya lebih bagus.

Bagaimana dengan mengambil brand ambassador figur publik terkenal untuk mengampanyekan inisiatif ecoMasjid?

Kepikiran sebenarnya, ada koneksi dari MUI, tapi dai-dai yang terkenal itu belum tertarik ke lingkungan hidup. Jadi masih sedikit yang tertarik ke lingkungan hidup. Orang yang bisa membantu itu sangat sedikit gitu ya, kadang-kadang kami kewalahan juga. Itu challenge-nya. Ya mudah-mudahan lama-lama banyak orang yang mau, dai-dai yang mau ceramah, berbicara mengenai hal ini.

Di dunia muslim internasional, muslim Indonesia ini terdepan. Fatwa-fatwa kita canggih-canggih ya, National Geographic saat kita keluarkan fatwa tentang satwa langka, langsung mereka telepon dari Amerika. Wah salut kata mereka, biasanya fatwa mengenai hukuman seseorang, Salman Rushdi kan dulu ada fatwanya. Kita masih in progress lah.

Bagaimana tanggapan secara umum dari jemaah?

Masih banyak yang lebih suka berbicara tentang politik ya, apalagi di masa politik sekarang, kalau saya posting sesuatu, saya seperti orang aneh. Mereka ngomong ke mana, saya ngomong ke mana. Jadi kelihatannya saya yang aneh bukan mereka yang aneh. Nah masih tahap itu, jadi mereka masih di level paling dasar. Apalagi kalau ke masjid lain yang ketuanya juga belum punya sense seperti itu ya, otomatis berat. Kita coba terus mudah-mudahan bisa. Meskipun saya kayak orang aneh tapi saya enggak malu. Kita MUI dan kita membawa DMI juga karena kita di level atas, jadi sikat aja gitu, kalau kita di level bawah pasti enggak didengar. Kalau MUI mau nggak mau kan orang baca tuh. Apalagi dunia juga udah mulai ngeliat. Buktinya saya diundang ke Nairobi kemarin di acara PBB dan Indonesia itu interfaith-nya paling canggih. PPB initiate yang namanya faith for earth. Makanya kita diundang ke sana. Dan orang PBB datang ke sini juga waktu kita ada kolaborasi itu.

Jadi kita kampanye ada dua, secara agama dan secara reasoning. Jadi bukan hanya konteks keagamaan, tapi juga kenapa Anda harus peduli dengan lingkungan hidup. Ini kan untuk Anda sendiri, nah message itu, kira-kira dua, itu harus dapat.

Wawancara dilakukan oleh Nurzakiah Ahmad

na/hp

Pakan Ternak Ramah Lingkungan Karya Ilmuwan Indonesia di Jerman

04:00

This browser does not support the video element.