Sebuah film eksperimental Indonesia lolos seleksi di kategori Forum, Berlinale 2014. Sebuah film yang memotret wajah masyarakat yang diasuh oleh televisi.
Iklan
Kita memang masyarakat terpimpin. Akhir tahun 50an, kita dipimpin oleh demokrasi ala Sukarno. Era Orde Baru, kita patuh pada kepemimpinan otoriter Suharto. Kini setelah punya kebebasan, kita sukarela menyerahkan diri dibimbing oleh televisi.
TV punya pengaruh sangat besar bagi orang Indonesia. Tahun 2012, belanja iklan di layar kaca nilainya lebih dari 60 persen dari total kue iklan nasional.
Para konsultan politik menggunakan istilah “serangan udara” sebagai resep paling ampuh memenangkan pemilihan umum. Serangan yang dimaksud adalah lewat iklan atau acara televisi.
“Another Colour TV”, karya dua mahasiswa komunikasi Universitas Indonesia mencoba memotret masyarakat televisi ini.
Dyantini Adeline atau Aline, 22 tahun, dan Yovista Ahtajida atau Yovi, 21 tahun, adalah sutradara film berdurasi 8 menit yang lolos seleksi kategori Forum di Festival Film Belin atau Berlinale 2014.
Film eksperimental ini dibuat dengan memasang kamera di atas televisi dan merekam aktivitas keluarga di depan layar kaca. Dan yang direkam adalah keluarga Yovi, sang sutradara sendiri.
Sebuah film personal, tak hanya bagi Yovi, tapi bagi kita semua para konsumen televisi.
“Awalnya ketika saya menyadari ada perubahan dari ibu saya…” kata Yovi kepada Deutsche Welle.
DW:Darimana datangnya ide awal film ini?
Yovi:Awalnya di rumah, sering ibu saya bilang tentang segala hal yang referensinya televisi seperti “Jangan begini karena kata TV…” Itu bikin saya tertarik dan akhirnya saya dan Aline berpikir kayaknya menarik berksperimen dengan ini, bagaimana melihat reaksi yang langsung terjadi ketika suatu keluarga berinteraksi dengan televisi.
Aline:Karena kita memang kuliah komunikasi kita tahu banget bagaimana mengemas suatu program atau iklan biar bikin orang-orang yang nonton itu percaya. Selain ibunya Yovi, ibu saya juga melakukan itu. Kayak misalnya bilang ”Aline itu tolong jangan dicontoh ya Raffi Ahmad…” Kalau dulu, ibu menasihati itu rujukannya nenek moyang atau agama, misalnya tapi sekarang mereka rujukannya ke ustad yang ada di TV atau segala macam yang terjadi di TV yang mereka tonton.
DW:Apakah film ini sebenarnya juga ingin bicara secara khusus tentang ibu dan televisi?
Aline:Antara lain, karena anak-anak punya kehidupan di luar, suami sibuk di kantor, sedangkan ibu berakhir di rumah, dan teman satu-satunya agar dia tidak merasa kesepian ya cuma televisi. Di situ kita bisa melihat bagaimana ibu fokus banget dengan TV, terus ada dua anaknya yang selalu liat gadget. Ibunya jauh lebih akrab dengan televisi dibandingkan dengan anak-anaknya.
Yovi:Sebenarnya ini semacam curhatan kepada bapak saya, bahwa kenapa ibu seperti ini, karena dia benar-benar ditinggalin sama kita…
Film ini mengajak kita menyaksikan diri kita: betapa candunya kita pada televisi dengan acaranya yang buruk, hingga pada akhirnya “Life doesn”t imitate art, it imitates bad television” kata Woody Allen pada suatu ketika.
Dyantini Adeline, 22 tahun, sutradara “Another Colour TV” (2013), mahasiswi Komunikasi UI
Yovista Ahtajida, 21 tahun, sutradara “Another Colour TV” (2013), mahasiswa Komunikasi UI
Festival Fim Berlinale 2014
Festival Film Berlinale digelar untuk ke 64 kalinya, dengan menampilkan 400 film terbaru dan 1000 acara. Film mana dan siapa bintang yang akan terpilih meraih Beruang Emas dan Perak dalam ajang akbar di Berlin itu?
Festival Film Berlinale digelar untuk ke 64 kalinya, dengan menampilkan 400 film terbaru dalam 1000 acara. Acara resmi hanya terbuka untuk pakar dan kalangan perfilman. Tapi warga bisa mengikuti tayangan film yang dilombakan selama 10 hari di bioskop.
Foto: John Macdougall/AFP/Getty Images
Film Eksentrik dari Amerika
Berlinale dibuka dengan tayangan "Grand Budapest Hotel" karya sutradara Wes Anderson dari Texas AS. Kisahnya mengenai karyawan hotel Gustave, diperankan oleh Ralph Fiennes (kanan) dan tamu-tamunya yang eksentrik di masa diantara dua perang dunia di Eropa.
Foto: 2013 Twentieth Century Fox
Film Perampokan Karya Seni
Film terbaru karya sutradara sekaligus aktor utama George Clooney (tengah) "Monuments Men" menceritakan kerja berbahaya pasukan khusus di tahun-tahun terakhir Perang Dunia kedua. Pasukan khusus Monuments Men bertugas melacak karya seni yang dirampok NAZI. Film ini dipoduksi di studio Babelsberg Berlin dan di studio alam kawasan Harz Jerman.
Foto: 2013 Twentieth Century Fox
Film Jerman
Dalam festival memperebutkan hadiah Beruang Emas dan Beruang Perak, dalam Berlinale 2014 ikut serta cukup banyak film Jerman. Salah satunya film berjudul "Zwischen Welten" karya sutradara Feo Aladag, mengisahkan seorang serdadu Jerman diperankan Roland Zehrfeld (kanan), yang dalam penugasannya di Afghanistan terjebak diantara dua front yang bermusuhan.
Festival Berlinale, dimanfaatkan forum film Jerman sebagai ajang untuk menampilkan diri. Sejumlah film lokal ditayangkan dalam acara "Perspektive Deutsches Kino". Salah satunya film dokumenter "Amma & Appa" karya sutradara Franziska Schönenberger dan Jayakrishnan Subramanian, yang mengisahkan percintaan gadis Bayern dengan pemuda dari India selatan.
Foto: HFF / BR
Film Skandal dari Denmark
Film "Nymphomaniac" karya sutradara Lars von Trier dari Denmark dipastikan memicu kehebohan. Film mengisahkan jalan hidup seorang wanita muda yang kecanduan seks. Di Berlin film ini akan ditayangkan seutuhnya, tanpa potongan adegan "drastis" seperti pada tayang perdana di Kopenhagen.
Foto: Christian Geisnæs
Forum : Untuk Film Non-Konvensional
Bagian lain dari festival yang diberi nama Forum, menampilkan film-film berformat non-konvensional, seperti fim dokomenter essai dan film eksperimen. Misalnya film “N – The Madness of Reason“ karya sutradara asal Belgia, Peter Krüger, yang menampilkan gambaran keragaman di Afrika.
Foto: Inti Films
Panorama : Untuk Film Politis
Sementara bagian yang disebut Panorama, menampilkan film bertema politis. Di sini terutama ditangkan film yang mengupas kritis situasi di negara asal. Film „Asabani Nistam!“ karya Reza Dormishian mengupas tema perasaan rakyat Iran setelah pemilu 2009 yang diduga keras dimanipulasi.
Foto: Berlinale 2014
Film Untuk Penonton Remaja
Berlinale sejak beberapa tahun terakhir, juga menyasar penonton remaja. Dalam rangkaian Generation, ditampilkan film yang mengulas tema anak-anak dan remaja, dalam gaya yang samasekali berbeda dengan romantika Disney. Film "3 Histoires d’Indiens“ karya sutradara Robert Morin, diceritakan nasib anak-anak Indian di kawasan reservasi utara Kanada.
Foto: Berlinale 2014
Retrospektive
Berlinale juga membahas sejarah film dalam ajang yang diberi nama Retrospektive. Tahun ini tekanannya pada tata cahaya perfilman. Dalam "Estetika bayangan, tatacahaya dalam film dari tahun 1915-1950“ dipertontonkan 40 film yang dijadikan contoh menakjubkan peranan tata cahaya alami dan tata cahaya buatan dalam film. Misalnya dalam film klasik „La Belle et la Bête karya Jean Cocteau.
Salah satu puncak Berlinale adalah tayangan ulang film bisu Jerman dari tahun 1920 "Das Cabinet des Dr. Caligari“ karya Robert Wiene yang merupakan mahakarya Ekpresionisme dalam sejarah film. Film tua ini direstorasi dengan biaya mahal dan ketelitian tinggi, dilengkapi musik komposisi baru dari pemain jazz AS, John Zorn dalam bentuk Philharmonie.