Pernah memperhatikan, apa yang dipelajari anak sekolah hingga mahasiswa di Indonesia tentang sejarah tanah airnya? Butanya kita pada sejarah juga berarti butanya kita pada hari ini dan masa depan.
Iklan
Beberapa kali saya mendapat kesempatan mengajar di perguruan tinggi swasta. Saya mengajar bidang jurnalisme, dan karenanya saya merasa perlu tahu apa yang mahasiswa saya ketahui tentang sejarah jurnalisme di Indonesia. Dari empat kelas yang pernah saya ajar, tak satu pun mahasiswa di kelas saya tahu tentang sejarah jurnalisme di Indonesia.
Ketidaktahuan para mahasiswa itu membuat saya penasaran untuk terus bertanya, apa yang mereka ketahui tentang sejarah Indonesia, setidaknya mulai dari awal abad 20? Para mahasiswa itu pun tak tahu apa-apa. Saya tarik maju lagi, saya tanya apa yang mereka tahu tentang Indonesia sejak 1945 sampai 1965. Tak banyak juga pengetahuan mereka, kecuali tentang Sukarno dan Hatta sebagai presiden dan wakil presiden pertama Indonesia. Tentang 1965, hanya satu yang mereka tahu, bahwa di tahun itu Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pemberontakan. Hal itu membuat kening saya mengerut.
Lalu saya tanya lagi mereka, apa yang mereka ketahui tentang Indonesia sejak 1965 sampai 1998. Ada sebagian yang menjawab, masa itu adalah masa ketika hidup rakyat mudah, dan diakhiri dengan mundurnya Suharto pada 1998 karena ada demonstrasi mahasiswa. Kening saya semakin mengerut. Lalu saya tanya, "Kalian tahu sejarah Indonesia dari mana?” Semuanya menjawab sama, "Dari pelajaran sejarah sejak SD sampai SMA.”
Pelajaran sejarah, mengasyikan atau membosankan?
Saya tanya lagi, "Kalian suka pelajaran sejarah?” Semuanya menjawab tidak. Umumnya, alasan mereka karena pelajaran sejarah di sekolah membosankan, dan guru hanya menuntut para siswa untuk menghapal nama-nama tokoh, lembaga-lembaga, dan tanggal-tanggal kejadian.
Didorong rasa penasaran, saya kemudian membaca buku pelajaran sejarah untuk SMA dari dua kurikulum berbeda: kurikulum 2006 dan kurikulum 2013. Kurikulum 2006 isinya nyaris tak ada bedanya pelajaran sejarah yang diajarkan pada masa Orde Baru. Tak ada narasi dan penjelasan yang kaya tentang bagaimana sejarah mengalir. Isinya lebih banyak tentang kejayaan, sejak zaman kerajaan-kerajaan, sampai zaman modern.
Begitu juga tentang pergantian kekuasaan, isinya masih seperti dulu: seakan-akan pergantian kekuasaan di Indonesia dari Orde Lama ke Orde Baru sampai ke "Orde Reformasi” terjadi dengan normal. Seakan-akan setiap pergantian kekuasaan itu semuanya berjalan normal dan lembut. Konflik-konflik sosial yang menyertai setiap pergantian kekuasaan itu tidak disampaikan, alasan-alasan pergantian kekuasaan juga tidak dibahas. Tak terasa ada rangsangan bagi siswa untuk melihat alur sejarah itu dengan kritis dan memancing diskusi.
Kopassus Dalam Pusaran Sejarah
Dalam sejarahnya Komando Pasukan Khsusus banyak terlibat menjaga keutuhan NKRI. Tapi di balik segudang prestasi, tersimpan aib yang menyeret Kopassus dalam jerat pelanggaran HAM.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Heroisme Baret Merah
Tidak ada kekuatan tempur lain milik TNI yang memancing imajinasi heroik sekental Kopassus. Sejak didirikan pada 16 April 1952 buat menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan, satuan elit Angkatan Darat ini sudah berulangkali terlibat dalam operasi mengamankan NKRI.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Kecil dan Mematikan
Dalam strukturnya yang unik, Kopassus selalu beroperasi dalam satuan kecil dengan mengandalkan serangan cepat dan mematikan. Pasukan elit ini biasanya melakukan tugas penyusupan, pengintaian, penyerbuan, anti terorisme dan berbagai jenis perang non konvensional lain. Untuk itu setiap prajurit Kopassus dibekali kemampuan tempur yang tinggi.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mendunia Lewat Woyla
Nama Kopassus pertamakali dikenal oleh dunia internasional setelah sukses membebaskan 57 sandera dalam drama pembajakan pesawat Garuda 206 oleh kelompok ekstremis Islam, Komando Jihad, tahun 1981. Sejak saat itu Kopassus sering dilibatkan dalam operasi anti terorisme di Indonesia dan dianggap sebagai salah satu pasukan elit paling mumpuni di dunia.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Terjun Saat Bencana
Segudang prestasi Kopassus membuat prajurit elit Indonesia itu banyak dilirik negeri jiran untuk mengikuti latihan bersama, di antaranya Myanmar, Brunei dan Filipina. Tapi tidak selamanya Kopassus cuma diterjunkan dalam misi rahasia. Tidak jarang Kopassus ikut membantu penanggulangan bencana alam di Indonesia, seperti banjir, gempa bumi atau bahkan kebakaran hutan.
Foto: picture-alliance/dpa
Nila di Tanah Seroja
Namun begitu Kopassus bukan tanpa dosa. Selama gejolak di Timor Leste misalnya, pasukan elit TNI ini sering dikaitkan dengan pelanggaran HAM berat. Tahun 1975 lima wartawan Australia diduga tewas ditembak prajurit Kopassus di kota Balibo, Timor Leste. Kasus yang kemudian dikenal dengan sebutan Balibo Five itu kemudian diseret ke ranah hukum dan masih belum menemukan kejelasan hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Pengawal Tahta Penguasa
Jelang runtuhnya ejim Orde Baru, Kopassus mulai terseret arus politik dan perlahan berubah dari alat negara menjadi abdi penguasa. Pasukan elit yang saat itu dipimpin oleh Prabowo Subianto ini antara lain dituding menculik belasan mahasiswa dan menyulut kerusuhan massal pada bulan Mei 1998.
Foto: picture-alliance/dpa
Serambi Berdarah
Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami perkosaan dan hingga 12.000 orang tewas selama operasi militer TNI di Aceh antara 1990-1998. Sebagaimana lazimnya, prajurit Kopassus berada di garda terdepan dalam perang melawan Gerakan Aceh Merdeka itu. Sayangnya hingga kini belum ada kelanjutan hukum mengenai kasus pelanggaran HAM di Aceh.
Foto: Getty Images/AFP/Stringer
Neraka di Papua
Papua adalah kasus lain yang menyeret Kopasus dalam jerat HAM. Berbagai kasus pembunuhan aktivis lokal dialamatkan pada prajurit baret merah, termasuk diantaranya pembunuhan terhadap Theys Eluay, mantan ketua Presidium Dewan Papua. Tahun 2009 silam organisasi HAM, Human Rights Watch, menerbitkan laporan yang berisikan dugaan pelanggaran HAM terhadap warga sipil oleh Kopassus.
Foto: Getty Images/AFP/A.Berry
8 foto1 | 8
Di buku pelajaran sejarah kurikulum 2013, isinya sudah lebih baik. Ada upaya kepada guru dan siswa untuk mendiskusikan materi sejarah, dan siswa didorong untuk mencari sumber-sumber informasi lain tentang sejarah negeri ini. Namun, saya melihat materi di dalam buku pelajaran sejarah Indonesia isinya masih kental dengan doktrin untuk membuat siswa bangga dengan sejarah bangsanya, bukan untuk menjadi pembelajar yang kritis. Saya khawatir, jika guru sejarahnya tidak memperkaya diri dengan perkembangan pengetahuan sejarah, pelajaran sejarah akan kembali tergelincir ke masa Orde Baru: menjadi alat doktrin, alih-alih menjadi pembuka pikiran kritis.
Misalnya saja dalam pemaparan konflik politik dan sosial tahun 1965, G30S. Narasi sejarah yang disampaikan masih didominasi narasi sejarah versi Orde Baru, tanpa membuka kemungkinan-kemungkinan lain yang mendorong terjadinya peristiwa itu, dan peristiwa berdarah yang terjadi sesudahnya: pembantaian ribuan (bahkan ada juga klaim jutaan) warga yang dituding sebagai simpatisan PKI.
Narasi itu bagi saya mengerikan. Pertama, tidak ada narasi mengenai situasi nasional dan internasional yang utuh terkait peristiwa G30S, dan PKI masih dijadikan sebagai satu-satunya penyebab peristiwa itu. Kedua, narasi itu mengarahkan siswa untuk melihat PKI sebagai satu-satunya tokoh jahat, dan dengan demikian harus dibasmi. Ketiga, dengan justifikasi pembasmian PKI itu, jika suatu hari siswa mengetahui bahwa Indonesia pernah melakukan pembantaian massal terhadap warganya sendiri, siswa akan menganggap hal itu sebagai wajar dan sudah seharusnya.
Keterlibatan Asing dalam Pembantaian 1965
Sejarah mencatat pembantaian simpatisan PKI 1965 adalah buah kotor percaturan politik dunia di era Perang Dingin. Bahkan propaganda anti komunis yang disebarkan di Indonesia pun dirancang dan disusun di luar negeri
Foto: Yoichi Robert Okamoto
Dunia Terbelah Dua
Pada dekade 60an dunia didera konflik ideologi antara Amerika dan Uni Sovyet. Akibatnya perang proksi menjalar ke berbagai belahan Bumi. Jerman terbelah dua dan negara berkembang menjadi lahan lain perseteruan dua adidaya tesebut. Tahun 1963 Amerika Serikat gagal menjatuhkan benteng Komunisme di Kuba. Presiden baru AS, Lyndon B. Johnson, lalu beralih menginvasi Vietnam Utara.
Foto: Getty Images/P. Christain
Adu Jotos di Negeri Orang
Bagaimana kedua adidaya menjadikan negara berkembang sebagai catur politik terlihat dari banyaknya perang proksi. Dekade 1960an mencatat sedikitnya 50 konflik semacam itu, yang terbanyak selama Perang Dingin. Uni Sovyet dan Cina terutama getol memasok senjata buat pemberontak komunis. (Gambar: Pemimpin Cina Mao Tse Tung dan penguasa Sovyet Nikita Khrushchev di Beijing, 1959)
Foto: AP
Pemberontakan Komunis Malaysia
Lima tahun sebelum peristiwa G30S, Malaysia telah mendahului lewat perang antara Malayan National Liberation Army yang didukung Partai Komunis dan tentara persemakmuran pimpinan Inggris. Konflik serupa terjadi di Kongo, India, Bolivia dan Kolombia.
Foto: Public Domain
Primadona Perang Dingin
Indonesia adalah medan perang lain antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Mulai dekade 50an, Presiden Soekarno menjadi primadona politik yang diperebutkan oleh Presiden AS John F. Kennedy dan penguasa Uni Sovyet, Nikita Khrushchev. Saat itu Indonesia sudah menjadi salah satu kekuatan terbesar di Asia Tenggara dan mulai diperhitungkan di dunia.
Foto: Central Press/Hulton Archive/Getty Images
Petualangan di Timur
Soekarno yang mulai menua justru merasa Indonesia cukup kuat untuk menanggalkan asas netralitas dan menghidupkan poros Moskow-Beijing-Jakarta. Memasuki dekade 1960an, Uni Sovyet tercatat sebagai pemberi bantuan terbesar ke Indonesia, melebihi negara lain. Petualangan politik itu kemudian ternyata berujung fatal buat Indonesia
Foto: picture-alliance/Everett Collection
Manuver Sukarno
Hubungan Indonesia dan barat remuk setelah Amerika Serikat membantu pemberontakan PRRI/Permesta tahun 1958. Sebagai balasan Sukarno memerintahkan agresi militer terhadap Malaysia buat menentang pembentukan negara persemakmuran oleh Inggris. Soekarno saat itu beralasan dirinya menentang neo kolonialisme. Realitanya ia menyokong pemberontakan kelompok Komunis Malaysia di Serawak.
Foto: gemeinfrei
Harapan di Tangan Tentara
AS pun mulai berupaya menggembosi Partai Komunis Indonesia. Mereka mengkhawatirkan Soekarno yang mulai tua akan mewariskan tahta kepada PKI. Kendati dimusuhi Jakarta, dinas rahasia barat tetap menjalin kontak dengan TNI yang dianggap satu-satunya harapan memberangus komunisme di Indonesia. Hingga peristiwa 65, AS telah melatih setidaknya 4000 perwira TNI.
Bantuan dari Jerman
Tahun 1971 mingguan Jerman Der Spiegel melaporkan pada 1965 dinas rahasia BND bekerjasama dengan CIA memerangi PKI di Indonesia. BND antara lain membantu TNI dengan memasok senjata api, alat komunikasi dan uang senilai 300.000 DM atau sekitar 700 ribu Euro.
Foto: Imago
Pujian Gehlen buat Suharto
Tahun 1965 BND memiliki seorang agen rahasia, eks perwira NAZI, Rudolf Oebsger-Röder yang menyamar sebagai wartawan di Jakarta. Reinhard Gehlen (gambar), Presiden BND, menulis dalam memoarnya bahwa keberhasilan Suharto "menumpas PKI patut dihargai setinggi tingginya." Gehlen mengaku kehilangan "dua teman dekat" yang ikut dibunuh pada peristiwa G30S, salah satunya Brigjen Donald Isaac Pandjaitan
Foto: picture-alliance/dpa
Propaganda Kiriman Barat
National Security Archive di AS mencatat dinas rahasia Inggris, MI6, yang beroperasi dari Singapura, menggandeng dinas rahasia Australia buat merancang propaganda hitam terhadap PKI, etnis Cina dan Sukarno. MI6 bahkan memanipulasi pemberitaan media asing seperti BBC. Propaganda yang banyak berkaca pada pemberontakan komunis Malaysia itu lalu diadopsi berbagai media Indonesia yang dikuasai TNI
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Daftar Maut Amerika
Tidak banyak kejelasan mengenai keterlibatan langsung dinas rahasia asing terhadap pembantaian simpatisan PKI. Yang jelas sejarah mencatat bagaimana Kedutaan Besar Amerika Serikat menyerahkan daftar berisikan 5000 nama jajaran pimpinan PKI kepada TNI. Dokumen tersebut, kata Robert J. Martens, atase politik di kedubes AS, "adalah bantuan besar buat TNI."
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Darah Disambut Pesta
Di hari-hari pembantaian itu dunia merayakan kehancuran PKI di Indonesia. PM Australia Harold Holt (ki.) berkomentar "dengan dibunuhnya 500 ribu sampai 1 juta simpatisan Komunis, aman untuk berasumsi bahwa reorientasi (di Indonesia) sedang berlangsung." Ironisnya Uni Sovyet cuma bereaksi dingin dengan menyebut pembantaian tersebut sebagai "insiden yang tragis."
Foto: Yoichi Robert Okamoto
12 foto1 | 12
Saya pernah punya pengalaman tentang hal itu. Suatu hari saya memberi tugas kepada para mahasiswa saya di dua kelas (jumlah totalnya sekitar 80-90 orang) untuk membuat paper tentang dua film dokumenter karya Joshua Oppenheimer, "Jagal” dan "Senyap”. Dari seluruh paper yang dikumpulkan, sekitar 80 persen lebih terfokus pada teknik pembuatan film, dan tidak banyak menyentuh situasi moral di film itu. Jika pun ada yang menyentuh masalah moral film itu, argumentasinya kurang lebih "wajar ada pembantaian karena PKI itu pemberontak.”
Yang mengagetkan, sekitar 20 persen paper memaparkan bahwa film itu menceritakan kekejaman PKI dalam melakukan pembantaian terhadap rakyat Indonesia. Tadinya saya pikir, mereka yang membuat paper itu tidak menonton filmnya dan asal membuat paper. Tetapi setelah berkali-kali saya konfirmasi, saya ketahui mereka memang menonton dua film itu, tapi mereka tak sanggup untuk lepas dari kerangka berpikir bahwa yang seharusnya jahat dan melakukan pembantaian itu PKI, bukan negara, walau pun film itu mengungkap fakta yang sebaliknya.
Bagi saya ini bukan persoalan sepele, karena tidak seharusnya ada manusia yang memaklumi (bahkan membenarkan) sebuah pembantaian. Lebih sulit lagi bagi saya untuk menerima manusia yang tidak bisa melepaskan doktrin yang mengungkung kepalanya, sampai-sampai memaksa menulis paper yang menceritakan kejadian yang sebaliknya dari fakta yang terpampang.
Mengenang Kerusuhan Mei 1998
Menurut data Tim Relawan Untuk Kemanusian, Mei 1998 terdapat 1.190 korban tewas dalam keadaan terbakar dan ratusan korban hilang. Sementara korban dan/atau saksi mata perkosaan ada 189 orang.
Foto: Monique Rijkers
Hampir Dilalap Api
Mei 1998, Steven Winata berjalan kaki mengantar sabun, 500 meter dari rumahnya di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat. Dalam keadaan tangan penuh barang bawaan, murid sekolah dasar ini dituduh menyenggol dan membuat seorang anak pribumi jatuh ke dalam selokan. Massa yang mengamuk hampir membakar tubuh Steven. “Saya selamat karena Ketua RT mengenali saya dan mengantar saya pulang.”
Foto: Monique Rijkers
Api Reformasi Akan Terus Menyala
Suara tuntutan agar Presiden Soeharto lakukan reformasi politik bergema di sejumlah kampus termasuk dari Universitas Trisakti, Jakarta Barat. Namun aksi unjuk rasa damai itu dilawan dengan tembakan peluru tajam yang tewaskan 4 mahasiswa Trisakti. Taman Reformasi adalah inisiatif mahasiswa dan diresmikan bekas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tahun 2014 agar Api Reformasi terus menyala
Foto: Monique Rijkers
Terjebak Api
Mei 1998, tahun lokasi pusat perbelanjaan ini menjadi sasaran penjarahan massa. Namun bangunan itu terbakar dan ditemukan 118 jasad tewas terbakar yang tak dapat dikenali. Kini pusat perbelanjaan baru yang semarak dengan papan iklan di Klender, Jakarta Timur itu seakan ingin meredam ingatan pada teriak tubuh-tubuh yang dijilati api.
Foto: Monique Rijkers
Akibat Api Sentimen Rasial
Penjarahan saat Kerusuhan Mei ’98 bukan hanya menyasar pusat perbelanjaan, rumah warga pun tak luput dari sasaran massa. Rumah Sudono Salim, pemilik Bank BCA di kawasan Gunung Sahari, Jakarta Pusat diserbu massa dan sempat dibakar. Kini deretan aset keluarga Sudono Salim menjadi “monumen” sentimen rasial yang kembali menyala dua dekade lalu.
Foto: Monique Rijkers
Melawan Api Kebencian
Salah satu lokasi kerusuhan 98 adalah kawasan Glodok, Jakarta Barat. Pada sebuah lorong sempit di Glodok, Jakarta Barat sebuah pintu rumah terbuka dan terlihat sejumlah pria duduk sambil mendengar musik Mandarin. Bapak yang tak mau disebut namanya itu mengaku rumahnya dibakar orang pada Mei 1998 lalu. Kini rumah-rumah ini kembali dibangun. Warga mengurung diri dalam pagar tinggi demi rasa aman.
Foto: Monique Rijkers
Sisa Dari Yang Terbakar
Sepotong balok kayu bekas rumah yang terbakar Mei 1998 lalu masih dipertahankan oleh pemiliknya sebagai tonggak kesaksian peristiwa yang ingin ia lupakan. Informasi berasal dari petugas Perlindungan Masyarakat setempat.
Foto: Monique Rijkers
Bertugas Saat Api Melanda
Widodo adalah petugas Perlindungan Masyarakat di RW 01, Taman Sari, Jakarta Barat. Mei 1998, ia bertugas di lokasi dalam foto dan menyaksikan api menjalar seluruh tempat usaha sekaligus rumah warga. Widodo mengaku tidak mampu mencegah massa karena massa dan warga sudah berbaur sedangkan ia sibuk membantu petugas pemadam kebakaran. “Semua rumah yang sekarang ini rumah baru”, kata Widodo.
Foto: Monique Rijkers
Bangkit Dari Abu
Toko alat sembahyang agama Buddha ini sebelum kerusuhan adalah percetakan sekaligus rumah tiga lantai di Glodok, Jakbar. Setelah ludes terbakar, rmereka memulai dari nol. “Tak mau ingat-ingat lagi”, kata ibu yang menolak sebut namanya. “Kerugian alat cetak ratusan juta rupiah dan materi bisa dihitung tetapi kerugian mental tak ternilai.”, ujar anak laki-laki pemilik toko yang turut menjaga toko.
Foto: Monique Rijkers
Saksi Mata Selamat
Hendry (68 tahun) mempunyai rumah sekaligus bengkel las bubut di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Mei 1998 keluarganya menyelamatkan diri, menumpang di bedeng di sebelah rumahnya. Sementara Udin (50 tahun) saat itu jualan rokok di trotoar sebelah bengkel las bubut Hendry. Saat kerusuhan terjadi ia memilih pulang ke kampung di Kuningan, Jawa Barat. Udin dan Hendry sudah bersahabat selama 30 tahun
Foto: Monique Rijkers
Korban Tragedi
Pemerintah memakamkan korban tewas yang tidak bisa dikenali atau tidak beridentitas di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur. Seratusan nisan tak bernama menandai tragedi kemanusiaan 1998. Tahun 2015, pemerintah Jakarta resmikan Prasasti Tragedi Mei’98 bertuliskan pesan “Pengorbanan jiwa mereka telah menyalakan api reformasi menuju Indonesia yang lebih rukun, bermartabat dan cinta damai.”
Foto: Monique Rijkers
Pemerkosaan Itu Ada
Tim Relawan Untuk Kemanusian Mei ’98 menerima laporan korban perkosaan saat kerusuhan. Laporan yang bisa diverifikasi dengan menemui korban dan/atau saksi mata ada 189 orang. Ita.F. dan Dr Lie Dharmawan memeriksa fisik serta merawat sejumlah korban pemerkosaan. Korban pemerkosaan Mei ’98 Ita Martadinata tewas dibunuh Oktober 1998 saat akan bersaksi di PBB. Penulis: Monique Rijkers (ap/vlz)
Foto: Monique Rijkers
11 foto1 | 11
Fakta itu juga menakutkan
Karena butanya kita pada sejarah juga berarti butanya kita pada hari ini dan masa depan. Misalnya, jika siswa sekolah tak pernah diajarkan tentang bagaimana konflik-konflik sosial terjadi—sejak zaman prakemerdekaan sampai masa kemerdekaan—mereka tidak akan pernah punya pengetahuan untuk menghindarkan konflik-konflik sosial hari ini dan di masa mendatang. Lebih menakutkan lagi, mereka yang pikirannya sudah terkungkung doktrin sanggup untuk menganggap wajar sebuah peristiwa pembantaian.
Karena buta sejarah, Indonesia akan selalu terancam mengulang banyak kejadian berdarah dalam alur sejarahnya sendiri: mulai dari pembantaian ratusan ribu orang yang dituduh komunis pada 1965, kerusuhan yang memporak-poranda Jakarta pada 1998, konflik antar agama di Ambon, konflik antar suku di Sampit, dan berbagai konflik berdarah lainnya.
Akibat-akibat dari kebutaan akan sejarah konflik-konflik itu, menurut saya, sudah terpampang belakangan ini: persekusi dan pengusiran massal terhadap warga Ahmadiyah dan Syiah, sentimen rasial anti warga Tionghoa yang selalu dipelihara dari dulu sampai sekarang, juga sikap-sikap anti-toleransi terhadap suku dan agama lain yang yang terjadi di berbagai daerah, dan disirkulasikan melalui media-media sosial. Bahkan masih tetap saja ada yang menganggap wajar sebuah aksi persekusi. Misalnya dalam peristiwa penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Lombok baru-baru ini. Tak henti saya menatap respon pengguna media sosial yang mengatakan, "Biar saja, mereka itu sesat.”
Kenangan dari Bangku Sekolah
Siapa yang tidak ingat masa-masa bersekolah? Bermain, belajar, tertawa, berkelahi. DW mengumpulkan kisah-kisah unik lintas sejarah, yang merekam masa-masa di bangku sekolah dari berbagai negara.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Untuk si Kecil Ladka
Setiap bocah perempuan di Ukraina punya album berisikan puisi mengenai teman, saudara yang dibumbui kata-kata mutiara dan coretan tangan. Pada gambar ini keluarga si kecil Ladushka mengucapkan selamat untuk hari pertama di bangku sekolah.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Disiplin Ketat di Negeri Komunis
Ramah bukan kesan yang muncul dari wajah para guru di foto ini. Tahun 1970-an di Uni Sovyet adalah masa-masa penuh disiplin dan ketekunan. Situasinya tidak berbeda jauh dengan negara-negara lain di dunia. Hukuman fisik adalah metode yang saat itu masih lazim digunakan.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Berpose Untuk Lenin
Setiap tahun murid-murid di Uzbekistan berpose untuk difoto, tepat pada tanggal 22 April, yakni hari kelahiran bekas pemimpin besar Uni Sovyet, Vladmiir Lenin. Beberapa bocah perempuan berdandan layaknya seorang pengantin. Tidak berbeda dengan murid laku-laki yang mengenakan dasi.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Membaca dengan "Opa Haas"
Prilaku guru yang menjewer kuping muridnya adalah hal lumrah, kata seorang penduduk Belanda. Perempuan renta berusia 70 tahun itu masih mampu mengingat ruang kelasnya dengan jelas. Termasuk buku "Belajar Membaca dengan Opa Haas" yang dipakainya untuk mempelajari alfabet.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Terdidik dan Terjajah
Jerman tergolong telat merambah wilayah baru untuk dijadikan jajahan. Baru 1884 kekaisaran Jerman menganeksasi kawasan barat daya Afrika. Penguasa kulit putih itu berbuat banyak untuk menampilkan kesan damai kepada penduduk asli. Sebuah kartu pos yang terbit 1912 menampilkan pelajaran di sebuah sekolah untuk murid berkulit hitam.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Musim Panen, Sekolah Libur
Musim panen menyedot banyak tenaga kerja, termasuk di antaranya anak-anak. Sering sekolah diliburkan atau orangtua memaksa anaknya untuk membolos. Gambar yang dibuat tahun 1950 ini menampilkan keluarga yang tengah beristirahat.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Rapor yang Baik
Rapor yang bisa membuat setiap orang tua berbangga hati ini berasal dari seorang murid perempuan dari Kazakhstan yang bermigrasi ke Jerman tahun 1984. Rapornya harus telebih dahulu diterjemahkan ke bahasa Jerman. Namun mata pelajaran seperti, "Dasar Hukum Uni Sovyet" tidak dipelajari di negara barunya itu.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Sayonara Bangku Sekolah!
Remaja asal Kazakhstan ini baru saja menuntaskan bangku sekolah menengah pertama. Ketika masuk ke jenjang yang lebih tinggi, mereka diwajibkan membawa bunga untuk para guru. Dan ketika lulus, mereka mendapatkan bunga dari para guru, seperti murid-murid di tahun 1969 ini.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Kenangan Terakhir Seusai Lulus
Murid sekolah mengabadikan wajahnya di koran sekolah seusai lulus dari ujian akhir, sementara para guru di barisan teratas. Hingga 1975, pemuda-pemudi yang terpampang di gambar ini masih duduk di bangku sekolah Stalin di Uzbekistan.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
9 foto1 | 9
Sementara itu, masyarakat yang merasa bahwa kelompok-kelompok intoleran itu sebagai gangguan, juga tidak banyak yang memiliki kesadaran bahwa sesungguhnya kelompok-kelompok intoleran itu bukan saja mengganggu kenyamanan, tetapi berbahaya bagi kemanusiaan. Salah satu sebabnya, saya yakin, karena sebagian besar dari kita tidak banyak memiliki referensi sejarah tentang bangsa kita sendiri, dan tidak memiliki kesadaran bahwa sebuah tragedi bisa terulang karena masyarakat tidak memiliki ingatan akan tragedi sebelumnya.
Di titik itu, ketidakpedulian para pihak yang terkait dengan pendidikan sejarah, adalah dosa bagi peradaban dan kemanusiaan.
Penulis:
Zaky Yamani
Jurnalis dan novelis
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Sejarah Perang Korea 1950-1953
Ambisi Kim Il Sung menguasai Semenanjung Korea tidak hanya merenggut jutaan nyawa, tetapi juga berakhir pahit untuk aliansi komunis di utara. Perang Korea gagal mengubah garis demarkasi yang masih bertahan hingga kini.
Foto: Public Domain
Korea Terbagi Dua
Selepas Perang Dunia II, Korea yang dijajah Jepang mendapat nasib serupa layaknya Jerman yang dibagi dua antara sekutu Barat dan Uni Soviet. Ketika AS membentuk pemerintahan boneka di bawah Presiden Syngman Rhee untuk kawasan di selatan garis lintang 38°, Uni Soviet membangun rezim komunis di bawah kepemimpinan Kim Il Sung.
Foto: Getty Images/AFP
Siasat Kim Lahirkan Perang Saudara
Awal 1949 Kim Il Sung berusaha meyakinkan Josef Stalin untuk memulai invasi ke selatan. Namun permintaan itu ditolak Stalin karena mengkhawatirkan intervensi AS. Terlebih serdadu Korut saat itu belum terlatih dan tidak mempunyai perlengkapan perang yang memadai. Atas desakan Kim, Soviet akhirnya membantu pelatihan militer Korut. Pada 1950 pasukan Korut sudah lebih mumpuni ketimbang serdadu Korsel
Foto: Bundesarchiv, Bild 183-R80329 / CC-BY-SA
Peluang Emas di Awal 1950
Keraguan Stalin bukan tanpa alasan. Sebelum 1950 Cina masih tenggelam dalam perang saudara antara kaum nasionalis dan komunis, pasukan AS masih bercokol di Korsel dan ilmuwan Soviet belum berhasil mengembangkan bom nuklir layaknya Amerika Serikat. Ketika situasi tersebut mulai berubah, Stalin memberikan lampu hijau bagi invasi pada April 1950.
Foto: picture-alliance/dpa/Bildfunk
Kekuatan Militer Korut
Berkat Soviet, pada pertengahan 1950-an Korut memiliki 200.000 serdadu yang terbagi dalam 10 divisi infanteri, satu divisi kendaraan lapis baja berkekuatan 280 tank dan satu divisi angkatan udara dengan 210 pesawat tempur. Militer Korut juga dipersenjatai 200 senjata artileri, 110 pesawat pembom dan satu divisi pasukan cadangan berkekuatan 30.000 serdadu dengan 114 pesawat tempur dan 105 tank
Foto: AFP/Getty Images
Kekuatan Militer Korsel
Sebaliknya kekuatan militer Korea selatan masih berada jauh di bawah saudaranya di utara. Secara umum Korsel hanya berkekuatan 98.000 pasukan, di antaranya cuma 65.000 yang memiliki kemampuan tempur, dan belasan pesawat, tapi tanpa tank tempur atau artileri berat. Saat itu pasukan AS banyak terkonsentrasi di Jepang dan hanya menempatkan 300 serdadu di Korsel.
Foto: picture-alliance/dpa
Badai Komunis Mengamuk di Selatan
Pada 25 Juni 1950 sekitar 75.000 pasukan Korut menyebrang garis lintang 38° untuk menginvasi Korea Selatan. Hanya dalam tiga hari Korut yang meniru strategi Blitzkrieg ala NAZI Jerman merebut ibu kota Seoul dengan mengandalkan divisi lapis baja dan serangan udara. Pada hari kelima kekuatan Korsel menyusut menjadi hanya 22.000 pasukan
Foto: picture-alliance/dpa
Arus Balik dari Busan
Kendati AS mulai memindahkan pasukan dari Jepang ke Korsel, hingga awal September 1950 pasukan Korut berhasil menguasai 90% wilayah selatan, kecuali secuil garis pertahanan di sekitar kota Busan. Dari kota inilah Amerika Serikat dan pasukan PBB melancarkan serangan balik yang kelak mengubur impian Kim Il Sung menguasai semenanjung Korea.
Foto: Public Domain
September Berdarah
Di bawah komando Jendral Douglas MacArthur, pasukan gabungan antara AS, PBB dan Korea Selatan yang kini berjumlah 180.000 serdadu mulai mematahkan kepungan Korut terhadap Busan. Berbeda dengan pasukan Sekutu, Korut yang tidak diperkuat bantuan laut dan udara mulai kewalahan dan dipaksa mundur semakin ke utara.
Foto: Public Domain
Nasib Buruk Berputar ke Utara
Pada 25 September pasukan sekutu berhasil merebut kembali Seoul. Serangan udara dan artileri militer AS berhasil menghancurkan sebagian besar tank dan senjata artileri milik Korut. Atas saran Cina, Kim menarik mundur pasukannya dari selatan. Jelang Oktober hanya sekitar 30.000 pasukan Korut yang berhasil kembali ke utara.
Foto: Public Domain
Intervensi Mao
Ketika pasukan AS melewati batas demarkasi pada 1 Oktober, Stalin dan Kim mendesak Mao Zedong dan Zhou Enlai agar mengirimkan enam divisi invanteri Cina ke Korea. Soviet sendiri sudah menegaskan tidak akan menurunkan langsung pasukannya. Permintaan tersebut baru dijawab pada 25 Oktober, setelah serangkaian perjalanan diplomasi antara Beijing dan Moskow.
Foto: gemeinfrei
Mundur Teratur
Hingga November 1950 pasukan AS tidak hanya merebut Pyongyang, tetapi juga berhasil merangsek hingga ke dekat perbatasan Cina. Kemenangan AS terhenti setelah pasukan Cina yang berkekuatan 200.000 tentara mulai melakukan serangan balik. Intervensi tersebut menyebabkan kekalahan besar pada pasukan AS yang terpaksa mengundurkan diri dari Korea Utara pada pertengahan Desember.
Foto: Public Domain
Berakhir dengan Kebuntuan
Hingga Juli 1951 pasukan Cina dan AS masih bertempur sengit di sekitar perbatasan garis lintang 38°. Baru pada pertengahan tahun kedua pihak mulai mengendurkan serangan yang menyebabkan situasi buntu. Setelah kematian Josef Stalin, sikap Uni Soviet mulai melunak dan pada 27. Juli 1953 kedua pihak menyepakati gencatan senjata yang masih berlaku hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Hilang Nyawa Terbuang
Pada akhir Perang Korea, sebanyak 33.000 pasukan AS dilaporkan tewas dalam pertempuran. Sementara Korsel melaporkan sebanyak 373.000 warga sipil dan 137.000 pasukan tewas. Sebaliknya Cina kehilangan 400.000 serdadu dan Korut 215.000 pasukan, serta 600.000 warga sipil. Secara umum angka kematian yang diderita kedua pihak mencapai 1,2 juta jiwa.