1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Multatuli Bukan Pahlawan Tanpa Cela

Indonesien Geger Riyanto Autor, Essayist und Aktivist
Geger Riyanto
29 Februari 2020

Siapakah Max Havelaar atau Multatuli? Apa yang Anda ketahui tentang sosok yang tercatat dalam sejarah sastra Indonesia ini? Simak opini Geger Riyanto.

Eduard Douwes Dekker Foto: picture-alliance/dpa/Bifab

Reputasinya, yang Anda dengar, mungkin adalah sosok penentang kolonialisme. Novelnya, Max Havelaar, tak habis-habis dipromosikan sebagai novel yang membunuh kolonialisme.

Max Havelaar sendiri bercerita tentang Havelaar, sosok idealis yang ditempatkan sebagai asisten residen Lebak, Banten. Lebak merupakan daerah yang melarat di masa tanam paksa.

Havelaar, yang tulus berharap dapat membantu orang-orang Lebak, menemukan residen dan bupati bersekongkol mengeksploitasi orang-orang Lebak. Ia dicopot dari jabatannya. Lantas, beberapa tahun selepasnya, kisah itu terungkap dalam novel ini.

Namun, berbagai penyelidikan mengungkap fakta-fakta tidak sedap. Mitos dari Lebak karangan Nieuwenhuys memperlihatkan novel Max Havelaar punya segambreng masalah dengan akurasi historis.

Multatuli dianggap tidak memahami masyarakat yang hendak "dilindunginya.” Dari masa jabatannya  yang singkat di Lebak, kesaksian mengatakan ia lebih banyak mengucilkan diri dari subjeknya. Di hadapan bupati, ia membawakan dirinya sebagai atasan ketimbang rekanan. Ia tergulung dalam intrik persengketaan lokal yang tak disadarinya.

Geger RiyantoFoto: Privat

Max Havelaar memotret Havelaar sebagai sosok yang idealis. Lantaran idealisme yang naif itulah, ia karam menantang tatanan kolonialisme yang besar, represif, dan licik.

Akan tetapi, musuh-musuh Multatuli mengungkap surat-surat pribadinya sepeninggal sang pengarang untuk memperlihatkan "Havelaar” tak seperti yang digambarkan di novelnya. Ia ketagihan berjudi. Ia memperlakukan anak dan istrinya dengan buruk tanpa alasan apa pun. Ia pernah tiba-tiba saja menuduh anaknya melakukan pembunuhan.

Satire, Bukan Sejarah

Kendati demikian, sedari awal Multatuli tak berpretensi hendak mengakhiri kolonialisme. Sedari awal, Multatuli tak menolak sistem penguasaan Belanda di koloninya. Apa yang disayangkannya adalah segelintir elite yang menyelewengkannya padahal perkaranya berwatak sistemis—bahwa sistem kolonial itu sendiri bermasalah.

Lantas, Multatuli juga tak pernah berpretensi bahwa karyanya merupakan gambaran sejarah yang akurat. Multatuli mengandaikan novelnya sebagai teriakan seorang ibu yang anaknya tercebur ke dalam air. Di bagian terakhir novelnya Multatuli juga secara gamblang menegaskan berulang-ulang dirinya akan didengar melalui novelnya. Ia akan melakukan apa pun agar karyanya dibaca—menerjemahkannya ke berbagai bahasa atau dengan kekerasan kalau perlu.

Gestur ini bukan milik seseorang yang ingin memotret sejarah secara presisi. Gestur ini milik seseorang yang merasa dicopot dari jabatannya dengan tidak adil, dipermalukan, dan ingin memulihkan kehormatannya. Ia bertekad menjadi whistleblower. Dan tebak apa? Multatuli sukses secara spektakuler melakukannya.

Pengarang D.H. Lawrence, dalam pengantarnya untuk buku Max Havelaar terbitan 1927, saya kira, cukup jitu mengidentifikasi motif Multatuli. "Ia [Multatuli] ingin didengar,” tulis Lawrence.

"Ia adalah misionaris menggebu-gebu untuk orang-orang Jawa yang malang! Pasalnya, ia tahu misionaris didengar! Dan orang-orang Jawa merupakan tongkat yang pas untuk memukuli anjing. Publik yang terpikat merupakan anjing bersangkutan. Anjing yang ingin dipukulinya. Untuk dipukulinya hingga mereka tak akan melupakannya!”

Lawrence lantas menilai Max Havelaar dengan provokasi yang bukannya tidak masuk akal. "Buku ini sama sekali bukan traktat. Ini adalah satire.”

Menilai Max Havelaar

Dengan begitu, bagaimana kita seharusnya menilai novel Max Havelaar? Pertama, kita harus menaksir andil sejarahnya dengan proporsional. Yang sekarang terjadi, kita masih membaca Max Havelaar sebagai pisau yang dilesapkan ke jantung kolonialisme. Ada masalah serius dari pemaknaan ini. Pemaknaan ini mengecilkan arti dari perlawanan korban tanam paksa itu sendiri dalam melucuti sistem yang jahat ini.

Jan Breman, dalam penelitiannya perihal tanam paksa di Priangan, mengamati bahwa sistem tanam paksa mandek karena perlawanan terus-menerus dari para petani yang tercekik olehnya. Hal semacam juga tidak asing di tempat lain seperti Banten sebagaimana diungkap sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888. Max Havelaar, menurut Breman, memang menggegarkan publik Belanda namun penolakannya baik oleh partai liberal maupun konservatif menyebabkannya sulit mempengaruhi keputusan politik riil.

Waktu itu, berkembang pula anggapan bahwa sistem tanam paksa terlalu menguntungkan untuk ditinggalkan begitu saja. Breman percaya bahwa yang terjadi adalah perlawanan-perlawanan dari bawah akhirnya menjadikan sistem tak kondusif dijalankan lagi.

Dan di sisi lain dari mata uang yang sama, pemaknaan ini membesarkan peran penulis Eropa dan ide humanisme yang dicetuskan di benua ini. Ia membuat mata kita selalu terarah ke kerja intelektual dan pendidikan Eropasentris dalam memungkinkan perubahan di gugus kepulauan yang kelak dinamai Indonesia.

Tentu saja, kita patut menyediakan kredit untuk gambaran bagaimana Max Havelaar memperlihatkan kejahatan kolonialisme yang menggetarkan khalayak luas. Di masa itu  dampak sistem yang diterapkan Belanda di daerah jajahannya ditutupi serapat-rapatnya (Max Havelaar sendiri bisa diterbitkan setelah nama tokoh, tanggal, dan tempat disamarkan). Namun, dengan membacanya lebih kritis, kita akan tahu  bahwa penulisnya insan fana yang tercebur dalam sejarah. Ia punya kealpaan. Ia punya kepentingan. Ia tak bebas dari kepicikan zamannya.

@gegerriy

Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.