Mayoritas Warga G20 Percaya Titik Kritis Iklim Sudah Dekat
17 Agustus 2021
Sekitar 58% orang di negara-negara G20 merasa khawatir akan kondisi Bumi, namun orang di negara-negara berkembang yang cenderung bersedia melindunginya, demikian hasil survei global yang dirilis pada Selasa (17/08).
Iklan
Sekitar 73% orang kini percaya bahwa iklim di Bumi telah mendekati "titik kritis” yang tidak dapat diubah akibat aktivitas manusia, demikian menurut sebuah survei global yang dirilis pada Selasa (17/08).
Survei yang dilakukan oleh Global Commons Alliance (GCA) dan Ipsos MORI itu menunjukkan bahwa 58% responden di negara-negara G20 merasa sangat khawatir tentang kondisi planet Bumi. Survei juga menunjukkan bahwa empat dari lima responden ingin berbuat lebih banyak untuk melindungi planet Bumi.
"Dunia ini tidak berjalan dalam tidurnya menuju bencana. Orang-orang tahu bahwa kita mengambil risiko besar, mereka ingin berbuat lebih banyak, dan mereka ingin pemerintah berbuat lebih banyak,” kata Owen Gaffney, penulis utama laporan tersebut.
Cuaca Ekstrem Mematikan Kejutkan Dunia
Dari Jerman, Kanada hingga Cina, gambar-gambar dramatis dari dampak buruk cuaca ekstrem telah mendominasi kepala berita baru-baru ini. Apakah krisis iklim yang menjadi penyebabnya?
Foto: AFP/Getty Images
Banjir bandang dahsyat di Eropa
Banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya ini disebabkan oleh hujan lebat selama dua hari berturut-turut. Aliran air yang sempit meluap menjadi amukan banjir hanya dalam hitungan jam dan menghantam perumahan warga. Sedikitnya 209 orang tewas di Jerman dan Belgia. Upaya pemulihan rumah, bisnis, dan infrastruktur yang rusak diperkirakan menelan biaya miliaran euro.
Foto: Thomas Lohnes/Getty Images
Musim hujan ekstrem
Banjir juga melanda sebagian wilayah di India dan Cina bagian tengah. Hujan turun sangat lebat, bahkan lebih deras dari yang biasanya turun di musim hujan. Para ilmuwan memperkirakan bahwa perubahan iklim akan menyebabkan curah hujan yang lebih sering dan intens, karena udara yang lebih hangat menahan lebih banyak air, sehingga menciptakan lebih banyak hujan.
Foto: AFP/Getty Images
Banjir menggenangi Cina bagian tengah
Curah hujan yang memecahkan rekor selama berhari-hari menyebabkan banjir dahsyat di seluruh provinsi Henan, Cina, pada akhir Juli. Puluhan orang tewas, ratusan ribu lainnya mengungsi, dan banyak warga masih dilaporkan hilang. Di Zhengzhou, ibu kota provinsi Henan, warga terjebak di rel kereta bawah tanah ketika banjir datang. Daerah pedesaan dilaporkan terkena dampak lebih parah.
Foto: Courtesy of Weibo user merakiZz/AFP
Rekor suhu panas di AS dan Kanada
Suhu yang semakin panas juga menjadi lebih umum terjadi. Seperti di negara bagian Washington dan Oregon di AS dan provinsi British Columbia di Kanada pada akhir Juni lalu. Ratusan kematian terkait suhu panas dilaporkan terjadi di sana. Desa Lytton di Kanada bahkan mencatat suhu tertinggi hingga 49,6 Celcius.
Foto: Ted S. Warren/AP/picture alliance
Kebakaran hutan memicu badai petir
Gelombang panas mungkin sudah berakhir tetapi kondisi kering telah memicu salah satu musim kebakaran hutan paling intens di Oregon, AS. Kebakaran yang dijuluki Oregon’s Bootleg Fire itu menghanguskan area seluas Los Angeles hanya dalam waktu dua minggu. Saking besarnya, asap dari kebakaran dilaporkan sampai ke New York.
Foto: National Wildfire Coordinating Group/Inciweb/ZUMA Wire/picture alliance
Amazon mendekati ‘titik kritis’?
Brasil bagian tengah dilaporkan mengalami kekeringan terburuk dalam 100 tahun, sehingga meningkatkan risiko kebakaran dan deforestasi lebih lanjut di hutan hujan Amazon. Menurut para ilmuwan, sebagian besar wilayah tenggara Amazon telah berubah fungsi dari yang awalnya menyerap emisi, kini berubah menjadi memancarkan emisi CO2, menempatkan Amazon lebih dekat ke ‘titik kritis’.
Foto: Andre Penner/AP Photo/picture alliance
‘Di ambang bencana kelaparan’
Setelah bertahun-tahun alami kekeringan, lebih dari 1,14 juta orang di Madagaskar mengalami kerawanan pangan. Beberapa dari mereka terpaksa memakan kaktus mentah, daun liar, dan belalang, dalam kondisi yang mirip seperti ‘wabah kelaparan’. Nihilnya bencana atau konflik membuat situasi di sana disebut sebagai kelaparan pertama dalam sejarah modern yang semata-mata disebabkan oleh perubahan iklim.
Foto: Laetitia Bezain/AP photo/picture alliance
Melarikan diri dari bencana
Tahun 2020, jumlah orang yang melarikan diri dari konflik dan bencana alam mencapai level tertinggi dalam 10 tahun. Jumlah orang yang berpindah di dalam negera mereka sendiri mencapai rekor 55 juta, sementara 26 juta lainnya melarikan diri hingga melintasi perbatasan. Sebuah laporan dari pemantau pengungsi pada bulan Mei menemukan tiga perempat dari pengungsi internal adalah korban cuaca ekstrem.
Foto: Fabeha Monir/DW
London terendam banjir
Tidak hanya negara-negara di Eropa utara, Inggris juga dilanda banjir bandang. Beberapa bagian London dibanjiri oleh air yang naik dengan cepat karena hujan lebat dalam satu hari. Stasiun kereta bawah tanah dan jalan-jalan juga terendam banjir. Menurut Wali Kota London Sadiq Khan, banjir bandang menunjukkan bahwa “bahaya perubahan iklim kini bergerak lebih dekat ke rumah.”
Foto: Justin Tallis/AFP/Getty Images
Yunani ‘meleleh’ akibat gelombang panas
Sementara negara-negara di Eropa utara mengalami banjir, negara di bagian selatan seperti Yunani justru dicengkeram oleh gelombang panas di awal musim panas. Di minggu pertama bulan Juli, suhu melonjak hingga 43 derajat Celcius. Tempat-tempat wisata seperti Acropolis terpaksa ditutup pada siang hari, sementara panas ekstrem memicu kebakaran hutan di luar kota Thessaloniki.
Foto: Sakis Mitrolidis/AFP/Getty Images
Sardinia dilanda kebakaran hutan yang belum pernah terjadi sebelumnya
“Ini adalah kenyataan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Sardinia,” kata Gubernur Sardinia Christian Salinas tentang kebakaran hutan di sana. “Sejauh ini, 20.000 hektar hutan yang mewakili sejarah lingkungan selama berabad-abad di pulau kami telah hangus menjadi abu," tambahnya. Sedikitnya 1.200 orang dievakuasi akibat kebakaran tersebut. (gtp/hp)
Foto: Vigili del Fuoco/REUTERS
11 foto1 | 11
Warga negara berkembang lebih peduli iklim?
Survei ini juga menunjukkan bahwa orang-orang di negara-negara berkembang cenderung lebih bersedia untuk melindungi alam dan iklim daripada mereka yang tinggal di negara-negara yang lebih kaya.
Seperti di Indonesia, sebanyak 95% responden mengatakan mereka akan berbuat lebih banyak untuk planet ini. Di Afrika Selatan, angkanya sebanyak 94%. Namun, di Jerman dan Amerika Serikat, responden yang bersedia berbuat lebih banyak untuk planet ini hanya 70% dan 74%.
Sementara itu, meskipun 59% dari orang yang disurvei mengatakan percaya pada dibutuhkannya transisi cepat untuk menjauh dari bahan bakar fosil, hanya 8% yang mengakui dibutuhkannya pergeseran ekonomi skala besar dalam dekade ini.
Menurut Gaffney survei tersebut menunjukkan bahwa manusia benar-benar ingin melakukan sesuatu untuk melindungi alam, tapi terkendala kurangnya informasi dan finansial terkait apa yang bisa mereka lakukan.
Sementara itu, melihat mayoritas warga di negara-negara terkaya di dunia khawatir akan keadaan Bumi dan ingin melindunginya, ahli lingkungan dari Kenya Elizabeth Wathuti menyebut bahwa hal ini seharusnya membuka mata para pemimpin dunia untuk berbuat lebih banyak. "Warga ingin menjadi pengurus planet. Ini harus menjadi wake-up call bagi pemimpin di seluruh dunia,” ujarnya.
Laporan IPCC tersebut memperingatkan bahwa Bumi diprediksi menjadi 1,5 derajat Celsius lebih panas dibanding masa pra-industri di tahun 2030 – satu dekade lebih awal dari yang diproyeksikan tiga tahun lalu.