MBG di Persimpangan: Solusi Gizi atau Proyek Politis?
2 Oktober 2025
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan dengan janji ambisius, yakni memberi makan gratis kepada jutaan pelajar setiap hari. Tujuannya untuk memperbaiki status gizi, membebaskan anak Indonesia dari malnutrisi, dan menekan angka stunting.
Untuk mewujudkan itu, pemerintah menggelontorkan anggaran ratusan triliun rupiah. Namun, sembilan bulan berjalan, program yang menyerap 44,2% anggaran pendidikan ini justru menghadirkan tanya: Apakah MBG benar-benar solusi jangka panjang untuk memperbaiki gizi anak atau sekadar proyek politis jangka pendek?
“Program ini terkesan terburu-buru dan dipaksakan segera jalan karena merupakan bagian dari visi dan janji kampanye Presiden Prabowo. Akibatnya, implementasi di lapangan sering bermasalah,” ujar Fachrial Kautsar, Policy and Advocacy Manager dari Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) kepada DW Indonesia.
Menurutnya, pelaksanaan MBG sarat masalah, mulai dari perencanaan, distribusi, hingga pengawasan di lapangan.
Program MBG terburu-buru?
Tiga bulan setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo-Gibran, tepatnya pada 6 Januari 2025, program MBG resmi diberlakukan. Namun, pendiri CISDI menyoroti bahwa program ini belum sepenuhnya menjawab kebutuhan lokal.
“Kalau misalnya kita lihat, sekarang kan pakai approach-nya benar-benar blanket approach ya. Itu digunakan di semua wilayah, tanpa mengenal ataupun menilai bahwa apakah wilayah tersebut memang anak-anak sekolahnya misalnya membutuhkan MBG,” jelas Fachrial.
Untuk mencapai target 82,9 juta penerima manfaat sepanjang tahun 2025, pemerintah mempercepat pembangunan infrastruktur khusus berupa Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Hingga September 2025, tercatat 9.639 SPPG telah beroperasi, dengan target mencapai 30.000 unit pada akhir tahun.
Namun, distribusi SPPG dinilai belum sejalan dengan wilayah yang memiliki prevalensi stunting tinggi. Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2023, Nusa Tenggara Timur (NTT) mencatat prevalensi stunting tertinggi secara nasional, yaitu 35,3%. Meski demikian, data Badan Gizi Nasional (BGN) menunjukkan hanya terdapat 32 SPPG di NTT. Sebaliknya, Provinsi Jawa Tengah dengan prevalensi stunting 20,7% justru memiliki 1.285 unit.
Selain itu, ahli gizi masyarakat Tan Shot Yen menyoroti hanya 34 dapur pengelola MBG yang telah memiliki Sertifikasi Laik Higienis dan Sanitasi (SLHS) dari ribuan dapur pengelola yang beroperasi.
“Program ini jelas masih terburu-buru. Kenapa kita selalu bicara soal kuantitas tanpa memikirkan kualitas? Persoalannya, dari sekian banyak dapur yang sudah berdiri, berapa sebenarnya yang berjalan sesuai SOP?” ujar Tan.
Realitas MBG di lapangan
Target ambisius program MBG seolah menjadi jawaban cepat atas persoalan stunting yang masih membayangi Indonesia. Namun, implementasinya justru menuai banyak keluhan.
Di berbagai sekolah, muncul catatan soal menu yang monoton, porsi yang dinilai tidak sesuai kebutuhan gizi anak, serta keterlambatan distribusi yang berdampak pada kesegaran makanan. Situasi ini diperburuk dengan laporan keracunan massal di sejumlah daerah.
Kasus keracunan pertama tercatat pada 16 Januari 2025 di Sukoharjo, Jawa Tengah, hanya 10 hari setelah program dimulai.
Menurut data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), sepanjang Januari hingga September 2025, tercatat 8.649 kasus keracunan makanan akibat MBG di seluruh Indonesia. Salah satu insiden terbesar terjadi pada 24 September di Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, ketika 1.171 siswa SD hingga SMA/SMK mengalami gejala keracunan, hanya dua hari setelah insiden serupa di lokasi yang sama.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Ahli gizi masyarakat Tan Shot Yen menilai lemahnya kontrol terhadap standar keamanan pangan sebagai penyebab utama berulangnya kasus ini.
“Kenapa keracunan ini bisa terjadi dan berkali-kali? Ya, tentu saja karena prinsip HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) tidak terjadi. Pertama, bahan bakunya harus benar, kedua storage-nya, ketiga cara masaknya, dan keempat ketika makanan sudah jadi, dikemas dan sampai ke tangan penerima. Semua itu harus diperhatikan agar risiko kontaminasi bisa ditekan,” jelasnya kepada DW Indonesia.
Selain soal keamanan, Tan juga mengkritisi penggunaan produk ultra-processed food (UPF) dalam menu MBG yang dinilai bertentangan dengan tujuan peningkatan gizi. Berdasarkan berbagai studi internasional, termasuk publikasi di BioMed Central, konsumsi UPF berpotensi menurunkan fungsi kognitif anak, meningkatkan risiko obesitas, serta memicu penyakit kronis seperti diabetes dan hipertensi.
Sementara itu, CISDI kembali mengingatkan pentingnya penyesuaian menu dengan kebutuhan lokal. “Padahal tiap daerah itu punya keunikan masing-masing, punya kebutuhan dari masyarakatnya masing-masing, yang semestinya tidak bisa dijawab hanya dengan satu program saja,” kata Fachrial.
Gejolak desakan moratorium
Desakan moratorium terhadap program MBG kini semakin menguat, datang dari berbagai kalangan seperti LSM, akademisi, dan ekonom.
"Call to action-nya jelas, yaitu moratorium dari program MBG itu sendiri karena kami percaya bahwa evaluasi yang menyeluruh, yang komprehensif, hingga tingkat lapangan, itu hanya bisa terjadi jika program ini dihentikan sementara atau dimoratorium,” tegas Fachrial.
Payung regulasi dalam pelaksanaan MBG juga menjadi sorotan. Menurut Fachrial, koordinasi lintas sektor selama ini hanya didasarkan pada nota kesepahaman (MoU) bilateral yang tidak mengatur secara rinci. Akibatnya, tidak ada mekanisme antisipasi maupun solusi yang jelas ketika terjadi kasus keracunan.
Fachrial mengingatkan bahwa tanpa moratorium dan evaluasi menyeluruh, risiko yang dihadapi bukan hanya soal keuangan negara, tetapi juga menyangkut kesehatan para siswa.
Pemerintah: MBG tetap berjalan, kami evaluasi
Di tengah desakan moratorium dari berbagai pihak, pemerintah menegaskan bahwa program MBG akan tetap berjalan.
Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Nanik S. Deyang, menyampaikan, “pemerintah terus melakukan evaluasi dan peningkatan kualitas. Kami bekerja sama dengan dinas terkait untuk memastikan distribusi makanan lebih higienis dan bergizi.”
Lebih lanjut, Nanik menegaskan komitmen pemerintah untuk melanjutkan program MBG. “Kami memperkuat SOP, memberikan sanksi bagi pelanggar, dan memastikan tenaga dapur memiliki sertifikasi. Semua masukan dari masyarakat akan kami terima sebagai bagian dari perbaikan berkelanjutan,” katanya.
BGN juga telah berkoordinasi dengan dinas pendidikan dan kesehatan di sejumlah provinsi untuk meningkatkan standar kebersihan dan gizi, serta memastikan prosedur monitoring dan evaluasi berjalan sesuai standar nasional.
Perbaikan struktural yang mendesak
Program MBG mendapat alokasi dana sekitar Rp335 triliun, hampir setengah dari total anggaran pendidikan nasional sebesar Rp757,8 triliun. Untuk menutup kebutuhan tersebut, pemerintah juga memangkas lebih dari Rp300 triliun anggaran kementerian, lembaga, dan daerah.
Menurut Fachrial, investasi sebesar ini harus diiringi dengan evaluasi berkelanjutan. “Tanpa itu, dana publik bisa habis untuk program yang tidak menjawab masalah struktural gizi anak,” ujarnya.
Efektivitas MBG, lanjut Fachrial, sangat bergantung pada perencanaan yang matang, sistem pengawasan yang akuntabel, dan implementasi yang sesuai standar. Tanpa perbaikan mendasar, ia menilai MBG berisiko menjadi proyek politis mahal yang gagal menjawab akar persoalan gizi anak Indonesia.
Ahli gizi masyarakat Tan Shot Yen juga menekankan pentingnya tata kelola yang rapi dan pedoman yang jelas dalam pelaksanaan MBG.
“Ini sudah harus jadi perhatian nasional. Program dengan tujuan baik, tapi pelaksanaannya tidak sesuai, pedomannya acak-adul, tata kelolanya buruk dan tidak akuntabel, itulah yang sedang kita rasakan saat ini,” tegasnya.
Editor: Hani Anggraini