Gagasan internet sebagai medan perang merupakan gagasan yang sudah lama berkembang. Namun, sekarang ia menjadi ranah untuk mengkultivasi perang-perang imajiner. Ikuti opini Geger Riyanto.
Iklan
Idiom perang siber mungkin sudah terlalu terpaut dengan gempuran ke jaringan komputasi dan upaya-upaya mempertahankannya. Pelumpuhan dan perlindungan infrastruktur siber. Peretasan dan proteksi sistem internet. Sabotase Rusia sebelum menyerang Georgia pada tahun 2008, misalnya. Mungkin, karenanya, tak bijak lagi bila kita menggunakannya untuk pemahaman lain.
Bagaimana, lantas, kita harus memanggil kekisruhan-kekisruhan fenomenal yang dimulai dari perang imajiner di dunia maya? Betul, fenomenal: seorang gubernur yang sempat tenar tiada tara dipenjarakan karenanya. Gerakan-gerakan terbesar sepanjang sejarah—dalam hal jumlah partisipannya, setidaknya—mencuat dari sana. Dan kalau kita mau percaya dengan spekulasi Allan Nairn, rezim infrastruktur hampir terlengserkan dipantik keributannya.
Apa lagi? Kemenangan Trump, boleh jadi, tak akan mulus tanpa bertebarannya berita-berita palsu. Di Italia, dua partai pemenang pemilu terakhir bertekad akan membersihkan Italia dari migran. Keduanya percaya bukan cuma berita-berita yang memojokkan migran di internet melainkan juga hoaks tentang vaksinasi yang menyebabkan autisme serta teori konspirasi 9/11. Segenap kesemrawutan ini dibebat oleh satu pemantik. Imajinasi perang yang kini memperoleh wadah untuk digembar-gemborkan seolah-olah nyata di media sosial.
Saya, karenanya, meringis ketika ada yang menyepelekan dampak dari teknologi penghubung kita yang bernama internet ini. Dan percayalah, banyak dari antara kita yang masih menganggap provokasi-provokasi di sana akan berakhir menjadi sampah dunia maya.
"Ah, itu cuma di internet,” seorang kawan menampik. "Kalau ketemu beneran orangnya baik-baik saja dan rasional kok.”
Persoalannya, rasanya tak ada yang kurang nyata dari pemandangan yang sudah terpapar di atas. Bila butuh yang lebih nyata—yang berarti, yang lebih mencabik-cabik—mari kita periksa sebuah kerusuhan di Ampara, sebuah kota kecil di Sri Lanka. Satu restoran dihancurkan. Seorang pengelolanya dibakar. Penyebabnya? Para penyerangnya percaya bahwa para pemilik restoran ini, yang kebetulan orang Muslim, menyisipkan pil-pil untuk mensterilisasi orang-orang Buddha yang merupakan mayoritas di negara ini.
Sebuah hoaks, tentu saja.
7 Trik Mencegah Retasan
Wikileaks baru-baru ini membocorkan data yang diberi nama “Vault 7- Leaks“, bahwa Dinas Rahasia AS-CIA mengerahkan pasukan peretas untuk memata-matai setiap orang. Ini 7 trik untuk mencegah penyadapan semacam itu.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Rain
Jangan Gunakan Internet
Cara paling gampang adalah jangan gunakan internet. Tapi cara ini juga paling sulit dilakukan. Pasalnya setiap orang di dunia modern pasti memiliki perangkat yang selalu terhubung ke internet, baik itu komputer, smartphone, tablet atau peralatan rumah tangga sehari-hari.
Foto: picture-alliance/dpa
Cek Koneksi Internet
Alternativnya, cek semua peralatan yang terkoneksi ke internet. Banyak peralatan di rumah, tanpa sepengetahuan kita terus melakukan pertukaran data dengan pabrik pembuatnya. Atau yang lebih jahat, ada komponen yang sengaja dipasang untuk mengirim data. Cek lewat Shodan.io, perangkat mana yang terhubung dengan internet dan bagaimana cara melindunginya
Foto: picture alliance/dpa/A. Franke
Gunakan Password
Dengan menggunakan password atau teknik sandi lainnya, pengguna internet bisa mengatur arus data yang mereka unduh atau unggah. Biasanya fitur pada perangkat pintar memiliki opsi untuk pengaturan keamanan transfer data. Dengan memasang opsi ini, Anda yang mengatur transfer data, dan bukan perangkat yang kita miliki.
Foto: Fotolia/Pedro Nunes
Pakai Jejaring Aman
Di negara maju memiliki jaringan WiFi di rumah sudah merupakan hal lazim. Disarankan lindungi WLAN dengan password dan sandi yang cukup aman. Jika menggunakan WiFi terbuka atau Hotspot, usahakan menggunakan jejaring yang memasang fitur keamanan.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Schutt
Update Teratur
Bukan hanya keamanan jaringan internet, juga sistem operasi perangkat yang Anda miliki harus aman. Produsen yang peduli, selalu melakukan update software yang mereka pasang di perangkatnya secara teratur. Menurut Vault-7 peretas CIA diketahui menyerang celah keamanan pada sistem operasi Apple yang tidak diupdate.
Foto: Kimihiro Hoshino/AFP/Getty Images
Tutup Kamera dan Mikrofon
Perangkat canggih yang Anda miliki biasanya dipasangi fitur kamera dan mikrofon untuk komunikasi digital. Jika Anda tidak mau kehidupan probadi dimata-matai, tutup kamera dan mikrofon itu dengan lakban. Pendiri Facebook, Mark Zuckerberg juga melakukan tindakan pengaman ini. Mottonya: perusahaan sehebat dan seaman Facebook saja, merasa was-was dengan serangan peretas sekelas Vault-7
Foto: picture-alliance/dpa/O. Berg
Unduh App Aman
App adalah alat bantu utama pada smartphone. Pastikan Anda mengunduh app yang aman yang tidak menghimpun dan mengirim data dari perangkat Anda ke pihak ketiga. Walau cukup banyak aplikasi yang aman, peretas juga lebih pintar, dengan mencoba menyadap informasi saat ditulis, sebelum disandi oleh app aman. as/yf(dari berbagai sumber)
Sebut saja fenomena ini sebagai ujaran kebencian. Apa masalahnya? Masalahnya, yang pertama-tama terpantik dari unggahan-unggahan di media sosial pemantik kegaduhan adalah imajinasi perang. Kami yang tengah diancam oleh mereka. Agama kami yang diinjak-injak oleh mereka. Etnis minoritas—yang jumlahnya sangat kecil, tidak berdaya secara politik, serta tak akan meraup faedah apa pun dengan mengancam kelompok mayoritas—dibayangkan hendak menghabisi kelompok mayoritas.
Di Indonesia sendiri, Anda tahu, kabar-kabar yang acap berlalu lalang terkait Ahok jauh sebelum isu penistaan agama adalah ia hendak menguasai Jakarta untuk kelompok etnisnya sendiri. Ada sejumlah kebijakan nyata Ahok yang jelas-jelas bermasalah untuk warga miskin. Lucunya, kabar yang paling mudah terembus ke mana-mana adalah kabar meragukan dan rasis bahwa ia dan para konglomerat Tionghoa perlahan-lahan tengah merenggut ibu kota dari pemilik aslinya.
Pihak-pihak yang berpijak pada kabar demikian untuk membenci Ahok tak perlu merasa pihaknya membenci kelompok rentan. Gerakan massa yang kelak mereka galang untuk menjatuhkannya adalah panggilan moral. Mereka tengah berperang. Pilihannya hanya memerangi yang lain atau menjadi korban. Pikiran yang sama dengan yang menjangkiti para laskar Sinhala yang menyerang toko Muslim di Sri Lanka. Pun, sama dengan yang menjangkiti warga Myanmar sehingga mereka membenarkan kekejaman tak terkira militer terhadap orang-orang Rohingya.
6 Kabar Hoax yang Menyulut Perang
Ia bisa memicu konflik, menggulingkan pemerintahan dan memecah belah satu bangsa: kabar bohong alias Hoax sejak lama ikut menggerakkan sejarah peradaban manusia. Inilah kisahnya:
Foto: Fotolia
Fenomena Beracun
Kabar bohong kembali mengalami kebangkitan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pada hakikatnya, berita palsu yang marak di media-media sosial saat ini tidak berbeda dengan propaganda hitam yang disebar buat memicu perang dan kebencian pada abad silam. Fenomena itu mengandalkan jumlah massa untuk membumikan sebuah kebohongan. Karena semakin banyak yang percaya, semakin nyata juga sebuah berita
Foto: Fotolia/svort
Oplah Berganda buat Hearst
Pada 1889 pengusaha AS William Hearst ingin agar AS mengobarkan perang terhadap Spanyol di Amerika Selatan. Untuk itu ia memanfaatkan surat kabarnya, Morning Journal, buat menyebar kabar bohong dan menyeret opini publik, antara lain tentang serdadu Spanyol yang menelanjangi perempuan AS. Hearst mengintip peluang bisnis. Karena sejak perang berkecamuk, oplah Morning Journal berlipat ganda
Kebohongan Memicu Perang Dunia
Awal September 1939, Adolf Hitler mengabarkan kepada parlemen Jerman bahwa militer Polandia telah "menembaki tentara Jerman pada pukul 05:45." Ia lalu bersumpah akan membalas dendam. Kebohongan yang memicu Perang Dunia II itu terungkap setelah ketahuan tentara Jerman sendiri yang membunuh pasukan perbatasan Polandia. Karena sejak 1938 Jerman sudah mempersiapkan pendudukan terhadap jirannya itu.
Foto: Getty Images/H.Hoffmann
Kampanye Hitam McNamara
Kementerian Pertahanan AS mengabarkan bahwa kapal perang USS Maddox ditembaki kapal Vietnam Utara pada 2 dan 4 Agustus 1964. Insiden di Teluk Tonkin itu mendorong Kongres AS menerbitkan resolusi yang menjadi landasan hukum buat Presiden Lyndon B. Johnson untuk menyerang Vietnam. Tapi tahun 1995 bekas menhan AS, Robert McNamara, mengakui insiden tersebut adalah berita palsu.
Foto: NATIONAL ARCHIVES/AFP/Getty Images
Kesaksian Palsu Nariyah
Seorang remaja putri Kuwait, Nariyah, bersaksi di depan kongres AS pada 19.10.1990 tentang kebiadaban prajurit Irak yang membunuh puluhan balita. Kesaksian tersebut ikut menyulut Perang Teluk. Belakangan ketahuan Nariyah adalah putri duta besar Kuwait dan kesaksiannya merupakan bagian dari kampanye perusahaan iklan, Hill & Knowlton atas permintaan pemerintah Kuwait.
Foto: picture alliance/CPA Media
Operasi Tapal Besi
April 2000 pemerintah Bulgaria meneruskan laporan dinas rahasia Jerman tentang rencana pembersihan etnis ala Holocaust oleh Serbia terhadap etnis Albania dan Kosovo. Buktinya adalah citra udara dari lokasi kamp konsentrasi. Laporan tersebut menggerakkan NATO untuk melancarkan serangan udara terhadap Serbia. Rencana yang diberi kode "Operasi Tapal Besi" itu tidak pernah terbukti hingga kini.
Foto: Yugoslav Army/RL
Bukti Kosong Powell
Pada 5 Februari 2003 Menteri Luar Negeri AS, Colin Powell, mengklaim memiliki bukti kepemilikan senjata pemusnah massal oleh Irak pada sebuah sidang Dewan Keamanan PBB. Meski tak mendapat mandat PBB, Presiden AS George W. Bush, akhirnya tetap menginvasi Irak buat meruntuhkan rejim Saddam Hussein. Hingga kini senjata biologi dan kimia yang diklaim dimiliki Irak tidak pernah ditemukan.
Foto: AFP/Getty Images
7 foto1 | 7
Terkait persekusi kolosal orang-orang Rohingya, mata kita lebih sering terpaut ke kezaliman militer kepada etnis tak berdaya ini. Kita, karenanya, merasa pejuang kemanusiaan seperti Aung San Suu Kyi seharusnya bisa berbuat sesuatu untuk menghentikannya. Namun, kita pun seyogianya sadar, banyak warga awam yang merestui kekejian tersebut. Cerita palsu seperti orang Rohingya menyembunyikan senjata di masjid mereka, pasalnya, merambat secepat api. Dan ini, jelas, bukan satu-satunya berita palsu yang memupuk ketakutan mereka.
Dalam kegamangan yang tersemai berkat kejelian media sosial melesatkan unggahan-unggahan emosional, operasi militer mengusir orang-orang Rohingya tak akan nampak sama sekali sebagai kejahatan yang spektakular. Ia adalah upaya pemerintah untuk melindungi warganya. Kekejaman, dengan demikian, tersulap dengan begitu saja menjadi perlindungan.
Ada di Mana-mana
Tentu saja, bukan baru-baru ini saja imajinasi peperangan melalap orang-orang dan memicu konflik horizontal. Ketakutan yang tak jauh berbeda adalah yang melatarbelakangi konflik antaragama yang membara di Maluku antara 1999-2002. Para pendatang dari Sulawesi dianggap tengah berkomplot untuk menguasai Maluku dan imajinasi ini kian menjadi-jadi ketika Gubernur serta jajarannya diganti dengan pejabat beragama Islam.
Perkaranya, imajinasi semacam kini menjangkau kita daya sergap yang tak akan pernah kita temukan sebelumnya. Sejak media sosial menggusur media massa tradisional menjadi sumber informasi utama kita, bayangan kepunahan menggentayangi setiap kali kita membuka gawai. Ketakutan kepada yang lain membuntuti kita ke mana pun sepanjang kita masih mengantungi gawai kita. Dan tak ada yang keliru dengan ini dalam logika bisnis raksasa-raksasa media sosial. Bayangan ini, pasalnya, memagut perhatian kita ke media sosial—menjadikan kita konsumen media sosial yang baik dan tidak akan beralih ke mana-mana.
8 Fakta Menarik seputar Internet
Internet tidak bisa terlepaskan dari kehidupan sehari-hari. Apa jadinya jika internet mati dalam sehari saja? Simak galeri foto berikut untuk mengetahui beberapa fakta menarik tentang internet.
Foto: picture-alliance/blickwinkel
Jika Internet Mati
Seandainya koneksi internet terputus selama satu hari, sekitar 3 miliar e-mail dan 3 juta pencarian di Google akan tertunda
Foto: Fotolia/Calado
Serangan di Internet
Para penjahat siber atau juga para peretas menyebarkan virus dengan berbagai cara, termasuk lewat e-mail. Menurut Sophos Lab, rata-rata 30.000 situs diretas setiap harinya.
Foto: Reuters/Dado Ruvic
Situs Porno
Hasil studi dari tahun 2010 yang dikeluarkan Optenet mengataklan bahwa 37 persen materi di intenet merupakan materi pornografi. Menurut Optener, angka tersebut berasal dari „sampel yang representatif“ dari seiktar 4 juta URL yang ada di database-nya.
Foto: picture-alliance/dpa
Tingkat Kesabaran
Di dunia maya semua berjalan begitu cepatnya. Menunggu bukanlah kata yang dikenal para user internet. Menurut penelitian, 50 persen pengguna internet akan urung menyimak satu video di internet, jika setelah 10 detik video tersebut belum dapat dibuka.
Foto: imago/McPHOTO
Kamera Web Pertama
Trojan Room Coffe Pot merupakan cikal bakal webcam. Webcam versi perdana ini mampu menghasilkan gambar hitam putih 128x18 pixel. Webcam ini dioperasikan pada tahun 1991 di satu ruang yang dinamakan Trojan Room milik Laboratorium Komputer, University of Cambridge.
Foto: picture alliance/dpa
Lalulintas Internet
Menurut data dari tahun 2014, permenitnya: sekitar 204 juta e-mail terkirim, Amazon melakukan transaksi sebesar US$ 83.000, 48.000 app diunduh dari Apple Store, 2,46 juta konten diposting user Facebook dan 277.000 twit ditulis pengguna Twitter.
Foto: Imageshop
World Wide Web
Walaupun sebenarnya bagian dari internet, WWW sering dianggap sama dengan internet secara keseluruhan. Diperkenalkan pada 12 Maret 1989, pada akhir 1993 baru terdapat 623 situs pada world wide web. Meski jumlahnya selalu berubah, karena munculnya situs baru atau situs yang tidak aktif lagi, saat ini diperkirakan jumlah situs yang ada mencapai 1 miliar.
Foto: picture-alliance/dpa
Transaksi Internet Pertama
Barang pertama yang diperjualbelikan lewat internet adalah mariyuana. Transaksi ini terjadi pada tahun 1971 atau 1972. Beberapa mahasiswa menggunakan akun Arpaner di Artificial Intelligence Laboratory Stanford University untuk melakukan transaasi komersial dengan mahasiswa lain di Massachussetts Institute of Technology. Tidak jelas berapa banyak ganja yang diperjualbelikan lewat inernet ini.
Foto: Imago
8 foto1 | 8
Tetapi, tentu saja, dalam semua logika lain, ia keliru. Sangat keliru. Ia mengadu domba para penggunanya sementara memperkaya segelintir pemiliknya. Ia menyulut sumbu permusuhan di seluruh belahan dunia sementara perusahaan-perusahaan menjadi raksasa bisnis karenanya.
Dan apakah ia menyemarakkan main hakim yang kini menjadi pemandangan yang mulai kita jumpai di mana-mana? Pada tahun 2014, menurut data yang dihimpun Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan, toh, jumlah insiden main hakim sendiri meningkat menjadi 4.306 kejadian dari sebelumnya 2.574 kejadian pada 2011. Saya tak akan menutup kemungkinan tersebut. Melakukan "kekerasan balasan," pasalnya, adalah hasrat paling pertama yang dipantik imajinasi peperangan tersebut.
Dan pada konteks yang lebih keruh seperti di Myanmar, ia sudah berujung pada direstuinya pelumatan kolosal hak hidup orang-orang Rohingya. Tak lupa, pada Oktober tahun lalu, Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta dikepung oleh ribuan massa. Saya ada di dalamnya—menatap langsung ke mata massa pengepung yang meluap-luap ingin merangsek masuk dan, entah, apa yang dapat mereka lakukan apabila itu terjadi. Penyebabnya? Lagi-lagi, berita palsu dan imajinasi perang.
Jadi, apa istilah yang tepat untuknya? Atau, apakah lebih penting untuk memikirkan apa yang dapat dilakukan dibanding sekadar menamainya?
Penulis:
Geger Riyanto (ap/vlz) esais dan peneliti. Tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.
@gegerriy
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Peringkat Kebebasan Internet, Cina Terburuk
Freedom House (www.freedomhouse.org) membandingkan situasi kebebasan internet di 65 negara. Ranking kebebasan internet terburuk diduduki Cina, Suriah, Iran, Etiopia dan Uzbekistan.
Foto: picture-alliance/dpa
Cina terburuk dari 65 negara
Pemblokiran situs asing, pengintaian para cyber-disiden, penggunaan media sosial untuk tujuan propaganda, Cina memiliki sistem pengawasan internet yang paling canggih di dunia. 2003 diluncurkan jaringan tertutup "Great Firewall of China". Sistem ini bisa memblokir akses ke situs asing dan menyaring kata-kata kunci seperti "hak asasi" atau "Tiananmen" di mesin pencari.
Foto: picture-alliance/dpa
Peringkat 2 terburuk: Suriah
Baik pemerintah Suriah maupun kelompok teror ISIS memberlakukan aturan keras untuk akses ke Internet. Sedikitnya 17 blogger dan penulis internet ada dalam tahanan negara. September 2015 kartunis Akram Raslan meninggal dalam tahanan, diduga karena akibat penyiksaan.
Foto: picture-alliance/dpa/I. Kupljenik
Peringkat 3 terburuk: Iran
Mengikuti langkah Cina, Iran saat ini sedang mengembangan sistem internet sendiri yang disebut “Halal” Internet, Tapi pemerintah Iran tetap perlu internet untuk mengembangkan sektor bisnis. Menurut statistik resmi, ada 36 juta pengguna internet di Iran dengan tingkat penetrasi internet sampai 49 persen. Menurut media pemerintah, ada lebih 50 aktivis online yang berada dalam penjara.
Foto: ISNA
Peringkat 4 terburuk: Etiopia
Media sosial dan jalur komunikasi di internet beberapa kali diblokir. meim 2016, blogger Zelalem Workagenehu dijatuhi hukuman lima tahun penjara karena memberikan kursus keamanan digital. Sebelumnya anggota kelompok aktivis online Zone 9 ditahan atas tuduhan terlibat terorisme.
Foto: DW/J. Jeffrey
Peringkat terburuk 5: Uzbekistan
Uzbekistan memiliki salah satu sistem pengawasan internet tercanggih dunia. Kritik terhadap pemerintah bisa diganjar dengan hukuman penjara. Situs-situs media internasional diblokir. Pemerintah memberlakukan UU pasal karet yang melarang "penggunaan media massa atau sarana telekomunikasi untuk membangkitkan keresahan publik".
Foto: Imago/imagebroker
Peringkat 6 terburuk: Kuba
Akses internet di Kuba dibatasi. Para blogger dan jurnalis independen biasanya menggunakan internet di gedung-gedung kedutaan asing untuk mengirim tulisannya ke luar negeri. Tapi banyak intel pemerintah yang mengawasi gedung-gedung perwakilan asing.
Foto: Imago/Zuma Pres
Peringkat 7 terburuk: Vietnam
Pemerintah Vietnam tidak menoleransi debat politik di internet. Blogger yang berani mengecam kebijakan pemerintah atau mempertanyakan legitimasinya bisa ditangkap. Para jurnalis kritis diawasi ketat dan keluarganya sering mengalami intimidasi. Juga penggunaan smartphones diawasi ketat, karena negara mengendalikan tiga operator utama telekomunikasi.
Foto: picture-alliance/dpa
Indonesia: Pengawasan internet diperketat
Pengawasan internet di Indonesia tahun 2016 makin ketat. pemerintah bisa memblokir situs internet dengan klaim "isinya negatif", tapi prosedur pengawasan dan pelarangan tidak transparan. Dengan lebih 100 juta pengguna internet, Indonesia berpotensi menjadi salah satu pasar online terbesar tahun 2020.
Foto: Getty Images/ Oscar Siagian
Jerman termasuk sangat bebas
Jerman menduduki peringkat atas, pada posisi ke lima, satu posisi di bawah Amerika Serikat. Namun beberapa tahun terakhir ini pengawasan makin ketat. Juli 2015 polisi mengumumkan sedang menginvestigasi dua jurnalis online dari Netzpolitik.org atas tuduhan melakukan pengkhianatan. Tapi kasus itu cepat ditarik setelah muncul protes luas.
Foto: picture-alliance/dpa/H. Galuschka
Estonia negara internet paling bebas
Menurut sutvei Freedom House, Estonia adalah negara dengan kebebasan internet tertinggi, diikuti oleh Islandia, Kanada, Amerika Serikat dan Jerman. Estonia sejak 2004 menjadi anggota Uni Eropa. Di seluruh negeri, penggunaan internet gratis. Ibukota Tallin dengan sekitar 400.000 penduduk menjadi pusat inovasi dan pemerintahan.