1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Medan Perang Maya yang Siap Menjadi Nyata

4 Mei 2018

Gagasan internet sebagai medan perang merupakan gagasan yang sudah lama berkembang. Namun, sekarang ia menjadi ranah untuk mengkultivasi perang-perang imajiner. Ikuti opini Geger Riyanto.

Symbolfoto Big Data
Foto: Imago/Ikon Images/J. Holcroft

Idiom perang siber mungkin sudah terlalu terpaut dengan gempuran ke jaringan komputasi dan upaya-upaya mempertahankannya. Pelumpuhan dan perlindungan infrastruktur siber. Peretasan dan proteksi sistem internet. Sabotase Rusia sebelum menyerang Georgia pada tahun 2008, misalnya. Mungkin, karenanya, tak bijak lagi bila kita menggunakannya untuk pemahaman lain.

Bagaimana, lantas, kita harus memanggil kekisruhan-kekisruhan fenomenal yang dimulai dari perang imajiner di dunia maya? Betul, fenomenal: seorang gubernur yang sempat tenar tiada tara dipenjarakan karenanya. Gerakan-gerakan terbesar sepanjang sejarah—dalam hal jumlah partisipannya, setidaknya—mencuat dari sana. Dan kalau kita mau percaya dengan spekulasi Allan Nairn, rezim infrastruktur hampir terlengserkan dipantik keributannya.

Penulis;Geger Riyanto Foto: Privat

Apa lagi? Kemenangan Trump, boleh jadi, tak akan mulus tanpa bertebarannya berita-berita palsu. Di Italia, dua partai pemenang pemilu terakhir bertekad akan membersihkan Italia dari migran. Keduanya percaya bukan cuma berita-berita yang memojokkan migran di internet melainkan juga hoaks tentang vaksinasi yang menyebabkan autisme serta teori konspirasi 9/11. Segenap kesemrawutan ini dibebat oleh satu pemantik. Imajinasi perang yang kini memperoleh wadah untuk digembar-gemborkan seolah-olah nyata di media sosial. 

Saya, karenanya, meringis ketika ada yang menyepelekan dampak dari teknologi penghubung kita yang bernama internet ini. Dan percayalah, banyak dari antara kita yang masih menganggap provokasi-provokasi di sana akan berakhir menjadi sampah dunia maya.

"Ah, itu cuma di internet,” seorang kawan menampik. "Kalau ketemu beneran orangnya baik-baik saja dan rasional kok.”

Persoalannya, rasanya tak ada yang kurang nyata dari pemandangan yang sudah terpapar di atas. Bila butuh yang lebih nyata—yang berarti, yang lebih mencabik-cabik—mari kita periksa sebuah kerusuhan di Ampara, sebuah kota kecil di Sri Lanka. Satu restoran dihancurkan. Seorang pengelolanya dibakar. Penyebabnya? Para penyerangnya percaya bahwa para pemilik restoran ini, yang kebetulan orang Muslim, menyisipkan pil-pil untuk mensterilisasi orang-orang Buddha yang merupakan mayoritas di negara ini.

Sebuah hoaks, tentu saja.

Baca juga:

Ada Yang Lebih Penting dari Uang - Dan Ini Bukan Cinta

Gunakan Medsos sejak Usia Dini, Anak Perempuan Cenderung Tidak Bahagia saat Remaja

Bukan Ujaran Kebencian Belaka

Sebut saja fenomena ini sebagai ujaran kebencian. Apa masalahnya? Masalahnya, yang pertama-tama terpantik dari unggahan-unggahan di media sosial pemantik kegaduhan adalah imajinasi perang. Kami yang tengah diancam oleh mereka. Agama kami yang diinjak-injak oleh mereka. Etnis minoritas—yang jumlahnya sangat kecil, tidak berdaya secara politik, serta tak akan meraup faedah apa pun dengan mengancam kelompok mayoritas—dibayangkan hendak menghabisi kelompok mayoritas.

Di Indonesia sendiri, Anda tahu, kabar-kabar yang acap berlalu lalang terkait Ahok jauh sebelum isu penistaan agama adalah ia hendak menguasai Jakarta untuk kelompok etnisnya sendiri. Ada sejumlah kebijakan nyata Ahok yang jelas-jelas bermasalah untuk warga miskin. Lucunya, kabar yang paling mudah terembus ke mana-mana adalah kabar meragukan dan rasis bahwa ia dan para konglomerat Tionghoa perlahan-lahan tengah merenggut ibu kota dari pemilik aslinya.

Pihak-pihak yang berpijak pada kabar demikian untuk membenci Ahok tak perlu merasa pihaknya membenci kelompok rentan. Gerakan massa yang kelak mereka galang untuk menjatuhkannya adalah panggilan moral. Mereka tengah berperang. Pilihannya hanya memerangi yang lain atau menjadi korban. Pikiran yang sama dengan yang menjangkiti para laskar Sinhala yang menyerang toko Muslim di Sri Lanka. Pun, sama dengan yang menjangkiti warga Myanmar sehingga mereka membenarkan kekejaman tak terkira militer terhadap orang-orang Rohingya.

Terkait persekusi kolosal orang-orang Rohingya, mata kita lebih sering terpaut ke kezaliman militer kepada etnis tak berdaya ini. Kita, karenanya, merasa pejuang kemanusiaan seperti Aung San Suu Kyi seharusnya bisa berbuat sesuatu untuk menghentikannya. Namun, kita pun seyogianya sadar, banyak warga awam yang merestui kekejian tersebut. Cerita palsu seperti orang Rohingya menyembunyikan senjata di masjid mereka, pasalnya, merambat secepat api. Dan ini, jelas, bukan satu-satunya berita palsu yang memupuk ketakutan mereka.

Dalam kegamangan yang tersemai berkat kejelian media sosial melesatkan unggahan-unggahan emosional, operasi militer mengusir orang-orang Rohingya tak akan nampak sama sekali sebagai kejahatan yang spektakular. Ia adalah upaya pemerintah untuk melindungi warganya. Kekejaman, dengan demikian, tersulap dengan begitu saja menjadi perlindungan.

Ada di Mana-mana

Tentu saja, bukan baru-baru ini saja imajinasi peperangan melalap orang-orang dan memicu konflik horizontal. Ketakutan yang tak jauh berbeda adalah yang melatarbelakangi konflik antaragama yang membara di Maluku antara 1999-2002. Para pendatang dari Sulawesi dianggap tengah berkomplot untuk menguasai Maluku dan imajinasi ini kian menjadi-jadi ketika Gubernur serta jajarannya diganti dengan pejabat beragama Islam.

Perkaranya, imajinasi semacam kini menjangkau kita daya sergap yang tak akan pernah kita temukan sebelumnya. Sejak media sosial menggusur media massa tradisional menjadi sumber informasi utama kita, bayangan kepunahan menggentayangi setiap kali kita membuka gawai. Ketakutan kepada yang lain membuntuti kita ke mana pun sepanjang kita masih mengantungi gawai kita. Dan tak ada yang keliru dengan ini dalam logika bisnis raksasa-raksasa media sosial. Bayangan ini, pasalnya, memagut perhatian kita ke media sosial—menjadikan kita konsumen media sosial yang baik dan tidak akan beralih ke mana-mana.

Tetapi, tentu saja, dalam semua logika lain, ia keliru. Sangat keliru. Ia mengadu domba para penggunanya sementara memperkaya segelintir pemiliknya. Ia menyulut sumbu permusuhan di seluruh belahan dunia sementara perusahaan-perusahaan menjadi raksasa bisnis karenanya.

Dan apakah ia menyemarakkan main hakim yang kini menjadi pemandangan yang mulai kita jumpai di mana-mana? Pada tahun 2014, menurut data yang dihimpun Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan, toh, jumlah insiden main hakim sendiri meningkat menjadi 4.306 kejadian dari sebelumnya 2.574 kejadian pada 2011. Saya tak akan menutup kemungkinan tersebut. Melakukan "kekerasan balasan," pasalnya, adalah hasrat paling pertama yang dipantik imajinasi peperangan tersebut.

Dan pada konteks yang lebih keruh seperti di Myanmar, ia sudah berujung pada direstuinya pelumatan kolosal hak hidup orang-orang Rohingya. Tak lupa, pada Oktober tahun lalu, Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta dikepung oleh ribuan massa. Saya ada di dalamnya—menatap langsung ke mata massa pengepung yang meluap-luap ingin merangsek masuk dan, entah, apa yang dapat mereka lakukan apabila itu terjadi. Penyebabnya? Lagi-lagi, berita palsu dan imajinasi perang.

Jadi, apa istilah yang tepat untuknya? Atau, apakah lebih penting untuk memikirkan apa yang dapat dilakukan dibanding sekadar menamainya?

Penulis:

Geger Riyanto (ap/vlz) esais dan peneliti. Tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.

@gegerriy

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.