Media Arab Berjuang dengan Kebebasan
23 Agustus 2012Lebih dari 30 jurnalis terbunuh dalam konflik Suriah. Seorang kepala redaksi dipecat dari koran milik pemerintah Mesir. Kebijakan media yang lebih ketat juga diberlakukan di Tunisia. Dan di sana kompetisi semakin meningkat antara lembaga penyiaran dari Iran dan negara-negara teluk.
Kecenderungan umum di lanskap media Arab setelah revolusi: TV, korban, dan internet semakin kembali berada di bawah kontrol negara, atau paling tidak berada di bawah pengawasan pemerintah.
Media di Arab saat ini menuju perkembangan yang semakin kompleks dan cenderung kontradiktif. Begitu kata Soazig Dollnet, pakar timur tengah dari organisasi Wartawan Tanpa Batas atau Reporters sans Frontiers kepada DW. Di awal revolusi, kebebasan pers mengalami lompatan besar di banyak negara. Tapi kemudian, perkembangan itu terhenti dan „di banyak negara kini muncul kekhawatiran akan adanya serangan balik, jadi tidak ada alasan untuk bicara mengenai kemenangan kebebasan pers“ kata Dollnet.
Pengaruh Media
Alasan di balik sikap pemerintah yang saat ini represif adalah karena peran media yang penting selama revolusi. Televisi, koran dan internet menunjukkan sejauh mana mereka bisa mempengaruhi perkembangan politik.
Contoh paling jelas adalah Mesir. Sukses revolusi menentang Husni Mubarak, terkait erat dengan laporan stasiun Al Jazeera yang berbasis di Qatar. Jaringan televisi itu melaporkan, sebagaimana yang dikritik kelompok pro pemerintah, sebagian besar perspektif dari kelompok demonstran dan mengambil posisi sama dengan mereka. Tentu saja, beberapa hari setelah demonstrasi dimulai, Mubarak melarang Al Jazeera.
Kini di Suriah, media Arab dan barat memainkan peran penting. Dengan simpati luar negeri yang jelas mendukung para pemberontak, rejim Assad secara internasional punya kesempatan kecil untuk menampilkan pandangan mereka dalam situasi ini.
Tekanan Pemerintah
Mengingat pengalaman ini, banyak pemerintahan di Timur Tengah kini mencoba mulai mengontrol media nasional. Di Tunisia, aturan baru untuk melindungi media diberlakukan dengan sikap ragu-ragu, kata Dollet. Dia menjelaskan bahwa Reporters sans Frontiers cemas atas pengaruh kelompok partai Islamis Ennahda, yang menempatkan orang-orang mereka di radio, TV dan surat kabar.
Dia juga cemas dengan perkembangan di Mesir. Meski Mubarak tidak lagi berkuasa, namun sisa-sisa rejim lamanya masih berada di istana. Dan pergantian kepala editor yang diperintahkan oleh presiden baru Morsi, meyakinkan Dollet bahwa pemerintah baru ini ingin melanjutkan kontrol pemerintah atas media.
Lawrence Pintak, adalah bekas koresponden CBS di Timur Tengah, juga mempunyai kecemasan yang sama atas perkembangan terakhir di Mesir. Kepada DW, ia mengatakan bahwa dia percaya ada sebuah bahaya besar yang sedang mengancam kebebasan media di Mesir. Media pemerintah sekali lagi dipaksa menjadi instrumen rejim, meski rejimnya telah berubah. Seperti halnya Dollet, ia juga skeptis atas perkembangan masa depan. “Media independen telah satu kali melangkah ke depan dan dua kali mundur dalam sejumlah kesempatan. Kini ada ada adegan yang lebih hidup di media, termasuk beberapa saluran TV berpengaruh, namun ini semua masih berada di bawah pengaruh pemerintah.“
Perang Media
Tekanan ini juga terjadi di semenanjung Arab. Namun Pintak mendeteksi sejumlah perubahan, misalnya di Arab Saudi, di mana media bergerak dalam perubahan yang lambat. Pintak menjelaskan bahwa kontrol atas media di Arab Saudi bagaimanapun kini lebih longgar meski masih ada sejumlah garis merah yang disadari semua orang. Saat sejumlah media lebih liberal, yang lainnya lebih berada di garis yang sama dengan elemen konservatif di masyarakat.
Dollet percaya bahwa media milik pemerintah di Teluk, seperti Al Jazeera atau Al Arabiya akan makin bersaing dengan lembaga penyiaran Iran. „Arena pertempuran yang paling diperebutkan dalam perang ini akan terjadi di media audiovisual. Senjata itu“ kata dia menambahkan „akan berupa infromasi, informasi yang keliru serta laporan yang sangat bias.“
Knipp, Kersten DW (ab/hp)