Ancaman calon Menlu AS, Rex Tillerson untuk memblokir akses Beijing ke Laut Cina Selatan dianggap sebagai deklarasi perang oleh media Cina. Kedua pihak, tulis salah satunya, akan menghadapi konfrontasi bersenjata
Iklan
Media-media Cina memperingatkan bakal Menteri Luar Negeri AS, Rex Tillerson agar berhati-hati dalam berucap setelah mengancam akan memblokir akses Beijing ke Laut Cina Selatan. Komentar tersebut diungkapkan Tillerson dalam sidang uji kelayakan dan kepatutan di Senat AS. Menurutnya Laut Cina Selatan "bukan bagian dari teritorial Cina."
Bekas direktur perusahaan minyak ExxonMobil itu juga menyebut tindak tanduk Beijing di Laut Cina Selatan serupa invasi Rusia di Krimea.
Atas pernyataan tersebut media pemerintah, China Daily, mewanti-wanti langkah tersebut "akan mengarahkan hubungan Cina dan AS pada konfrontasi yang berbahaya."Tillerson antara lain mengancam akan menghalangi Cina menggunakan kepulauan Spratly dan Paracel.
Sejak beberapa tahun terakhir Beijing aktif membangun infrastruktur militer, termasuk di antaranya bandar udara dan pangkalan angkatan laut, di sejumlah pulau yang diperebutkan. Namun media Cina menilai kebijakan tersebut adalah deklarasi perang.
"Kecuali Washington berencana melancarkan perang dalam skala besar di Laut Cina Selatan, pendekatan yang mencegah CIna mengakses pulau-pulau ini akan menjadi tindakan yang bodoh," tulis Global Times.
Harian terbitan Partai Komunis itu juga menulis Tillerson harus menyiapkan strategi yang sempurna jika ingin "mengusir negara kekuatan nuklir dari wilayah teritorialnya sendiri."
Saling Tikam Berebut Laut Cina Selatan
Konflik Laut Cina Selatan menjadi ujian terbesar Cina buat menjadi negara adidaya. Meski bersifat regional, konflik itu mendunia dan mengundang campur tangan pemain besar, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Bersekutu dengan Rusia
Cina sendirian dalam konflik seputar Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut Cina Selatan. Kecuali Rusia yang rutin menggelar latihan militer bersama (Gambar), negeri tirai bambu itu tidak banyak mendulang dukungan atas klaim teritorialnya. Terutama karena klaim Beijing bertentangan dengan hukum laut internasional.
Foto: picture-alliance/AP Images/Color China Photo/Z. Lei
David Versus Goliath
Secara umum Cina berhadapan dengan enam negara dalam konflik di Laut Cina Selatan, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Brunai dan Filipina yang didukung Amerika Serikat. Dengan lihai Beijing menjauhkan aktor besar lain dari konflik, semisal India atau Indonesia. Laut Cina Selatan tergolong strategis karena merupakan salah satu jalur dagang paling gemuk di dunia dan ditengarai kaya akan sumber daya alam.
Foto: DW
Diplomasi Beton
Ketika jalur diplomasi buntu, satu-satunya cara untuk mengokohkan klaim wilayah adalah dengan membangun sesuatu. Cara yang sama ditempuh Malaysia dalam konflik pulau Sipadan dan Ligitan dengan Indonesia. Berbeda dengan Malaysia, Cina lebih banyak memperkuat infrastruktur militer di pulau-pulau yang diklaimnya.
Foto: CSIS, IHS Jane's
Reaksi Filipina
Langkah serupa diterapkan Filipina. Negara kepulauan itu belakangan mulai rajin membangun di pulau-pulau yang diklaimnya, antara lain San Cay Reef (gambar). Beberapa pulau digunakan Manila untuk menempatkan kekuatan militer, kendati tidak semewah Cina yang sudah membangun bandar udara di kepulauan Spratly.
Foto: CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/DigitalGlobe
Di Bawah Naungan Paman Sam
Filipina boleh jadi adalah kekuatan militer terbesar selain Cina dalam konflik di perairan tersebut. Jika Beijing menggandeng Rusia, Filipina sejak dulu erat bertalian dengan Amerika Serikat. Secara rutin kedua negara menggelar latihan militer bersama. Terakhir kedua negara melakukan manuver terbesar dengan melibatkan lebih dari 1000 serdadu AS.
Foto: Reuters/E. De Castro
Indonesia Memantau
Indonesia pada dasarnya menolak klaim Cina, karena ikut melibas wilayah laut di sekitar kepulauan Natuna. Kendati tidak terlibat, TNI diperintahkan untuk sigap menghadapi konflik yang diyakini akan menjadi sumber malapetaka terbesar di Asia itu. Tahun lalu TNI mengerahkan semua kekuatan tempur milik Armada Barat untuk melakukan manuver perang di sekitar Natuna.
Foto: AFP/Getty Images/J. Kriswanto
Bersiap Menghadapi Perang
TNI juga membentuk Komando Operasi Khusus Gabungan untuk menangkal ancaman dari utara. Komando tersebut melibatkan lusinan kapal perang, tank tempur amfibi dan pesawat tempur jenis Sukhoi.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Indonesia Tolak Klaim Cina
Cina berupaya menjauhkan Indonesia dari konflik dengan mengakui kedaulatan RI di kepualuan Natuna dan meminta kesediaan Jakarta sebagai mediator. Walaupun begitu kapal perang Cina berulangkali dideteksi memasuki wilayah perairan Natuna tanpa koordinasi. Secara umum sikap kedua negara saling diwarnai kecurigaan, terutama setelah Presiden Jokowi mengatakan klaim Cina tidak memiliki dasar hukum
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
AS Tidak Tinggal Diam
Pertengahan Mei 2015 Kementrian Pertahanan AS mengumumkan pihaknya tengah menguji opsi mengirimkan kapal perang ke Laut Cina Selatan. Beberapa pengamat meyakini, Washington akan menggeser kekuatan lautnya ke Armada ketujuh di Pasifik demi menangkal ancaman dari Cina.
Foto: U.S. Navy/Anna Wade/Released
9 foto1 | 9
Pemerintah Beijing sendiri bereaksi tenang atas pernyataan Tillerson. Jurubicara Kementerian Luar Negeri, Lu Kang, secara sopan menganjurkan Washington agar memperhatikan urusan sendiri.
"Situasi di Laut Cina Selatan telah kondunsif dan kami berharap negara-negara non regional menghormati konsensus yang menjadi kepentingan dunia internasional," ujarnya.
Presiden terpilih AS, Donald Trump, membentuk kabinet yang antara lain berisikan tokoh konservatif garis keras seperti Peter Navarro yang pernah mendeklarasikan Beijing sebagai manipulator mata uang.
"Jika tim diplomat yang disusun Trump akan menata hubungan Cina-AS di masa depan, maka kedua pihak sebaiknya mempersiapkan diri untuk konflik militer."
Dilema Cina di Selat Malaka
Cina mati-matian mempertahankan klaimnya di Laut Cina Selatan. Padahal pasang surut perekonomian negeri tirai bambu itu bergantung pada Selat Malaka. Kelemahan tersebut coba dimanfaatkan AS dan India
Foto: picture-alliance/ChinaFotoPress/Maxppp
Surutkan Pengaruh
Dengan segala cara pemerintah Cina berupaya mencaplok Laut Cina Selatan (LCS). Faktor ekonomi dan militer adalah motivasi terbesar di balik langkah sarat konflik itu. Ironisnya bukan pada Laut Cina Selatan perekonomian Cina bergantung, melainkan pada Selat Malaka. Manuver Beijing dalam konflik LCS justru melenyapkan sisa pengaruh Cina di jalur laut antara Indonesia dan Malaysia itu
Foto: Getty Images/AFP/R. Rahman
Blokade Laut
Sebanyak 80% impor energi Cina diangkut dengan kapal melewati selat Malaka. Tanpanya mesin ekonomi negeri tirai bambu itu akan cepat meredup. Serupa dengan strategi Iran di Selat Hormuz, berbagai negara besar yang berkonflik dengan Beijing telah mengadopsi blokade laut ke dalam strategi militernya untuk menundukkan Cina.
Foto: AP
Neraka Logistik
Blokade laut masuki masa kejayaan pada era Perang Dunia II dilanjutkan pada Perang Dingin dan Perang Irak 1991. Cara ini terbukti efektif memutus suplai logistik sebuah negara yang terlibat dalam perang. Saking efektifnya, diktatur NAZI Jerman Adolf Hitler perintahkan armada kapal selamnya buat menyerang semua kapal dagang yang berlayar dari AS ke Inggris.
Foto: Getty Images/AFP/K. Kasahara
India di Gerbang Selat Malaka
Sebab itu AS telah meracik strategi buat memblokir pasokan energi Cina di Selat Malaka. Baru-baru ini India bahkan menempatkan pesawat pengintai dan sejumlah kapal perang di Kepulauan Andaman dan Nicobar di gerbang utama Selat Malaka di Teluk Bengal. Jarak antara pulau Great Nicobar yang dijadikan pangkalan militer India dengan Selat Malaka cuma berkisar 650 kilometer
Foto: Getty Images
Jalur Kuno di Era Modern
Tidak heran jika Beijing sejak lama berupaya mencari jalan lain untuk mengimpor energi tanpa harus melewati selat Malaka. Untuk itu Cina berpaling dari laut dan fokus menggarap proyek infrastruktur di daratan. Rencana tersebut bukan hal baru. Beijing berniat menghidupkan kembali jalan sutera yang dulu aktif digunakan sebagai jalur dagang hingga abad ke-13.
Berpaling ke Myanmar
Salah satu wujudnya adalah proyek pembangunan pipa minyak seharga 2,5 milyar Dollar AS yang menghubungkan pelabuhan Kyaukphyu di Myanmar dengan Kunming di provinsi Yunan. Pipa sepanjang 2800 kilometer itu mampu mengalirkan 12 milyar ton minyak mentah per tahun. Proyek ini dituntaskan 2014 silam.
Pipa ke Teluk Persia
Proyek lain adalah menghubungkan pelabuhan Gwadar di Pakistan dengan provinsi Xinjiang. Koridor ekonomi itu buka akses Cina langsung ke negara produsen minyak di Teluk Persia. Tapi opsi ini tidak murah. Lantaran kondisi geografis yang didominasi pegunungan, biaya pembangunan pipa antara kedua wilayah bakal menambah ongkos 10 Dollar AS untuk setiap barrel minyak mentah.
Foto: picture-alliance/dpa
Gas dari Utara
Beijing juga berharap pada Rusia. Tahun 2014 silam kedua negara menyepakati pembangunan pipa minyak dan gas sepanjang 4800 km dari Angarsk menuju Daqing. Proyek seharga 400 milyar Dollar AS itu direncanakan bakal mampu mengangkut 1,6 juta barrel minyak per hari. Tapi Rusia menangguhkan pembangunan menyusul anjloknya harga minyak.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Fulai
Membelah Thailand
Cina bahkan mengusulkan pembangunan kanal laut di Thailand dengan mencontoh Terusan Panama. Proyek seharga 25 milyar US Dollar itu bakal menghubungkan Samudera Hindia dengan Teluk Thailand. Namun rencana ini ditolak oleh pemerintah di Bangkok lantaran masalah keamanan.
Opsi Terbatas
Analis berpendapat, rencana Cina membangun koridor darat untuk mengamankan pasokan energi justru menegaskan peran tak tergantikan Selat Malaka. Upaya Beijing diyakini cuma akan menambah keragaman jalur pasokan energi, tapi tidak akan mengurangi ketergangtungan Cina terhadap Selat Malaka.