Indonesia kembali masuk dalam sorotan media internasional menyusul vonis penjara 18 bulan terhadap Meiliana karena mengeluhkan suara adzan. Vonis tersebut, klaim Sky News, semakin memperkuat pengaruh kelompok radikal
Iklan
Media-media internasional ramai memberitakan tentang Meiliana di Tanjung Balai, Sumatra Utara yang divonis 18 bulan penjara karena mengeluhkan volume azan yang dinilainya terlalu keras. Perempuan itu dianggap terbukti menghina agama Islam.
Newsweek, majalah mingguan Amerika Serikat mengangkat berita tersebut dengan artikel berjudul "Woman Complains About Noise From Mosque, Gets 18 Months in Prison". Sedangkan media Inggris, Sky News menuliskan bahwa vonis tersebut kemungkinan akan memicu kekhawatiran bahwa imej Islam di Indonesia dipengaruhi oleh para radikal. Dengan judul artikel "Woman jailed in Indonesia for complaining mosque was too noisy", media Inggris itu juga mengutip pernyataan pengacara Meiliana, Rantau Sibarani, yang mengatakan tak ada bukti jelas penistaan agama.
"Kasus ini tampaknya sangat dipaksakan. Ini hanya untuk memenuhi keinginan orang-orang," ujar Sibarani seperti ditulis Sky News, Kamis (23/8/2018). Sky News juga menuliskan tentang Meiliana yang akan mengajukan banding atas putusan ini.
Media Al-Jazeera mengangkat berita ini dengan judul "Indonesia jails woman for 'insulting Islam' over mosque 'noise'". Begitu pula media Arab News yang menuliskan judul artikel "Indonesia woman irked by mosque noise convicted of blasphemy".
Media Inggris, The Independent mengutip pernyataan Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia yang menyerukan Pengadilan Tinggi Sumatra Utara untuk membatalkan vonis terhadap Meiliana tersebut.
Inilah Aturan Volume Toa Masjid di Negara Muslim Lain
Ketika seorang warga minoritas di Indonesia dipenjara lantaran mengeluhkan volume suara adzan, di sejumlah negara muslim lain pemerintah bersama ulama mewajibkan pengurus masjid menghargai ketenangan umum.
Foto: Imago/Geisser
Arab Saudi
Sejak 2015 silam Kementerian Agama Islam di Arab Saudi melarang masjid menggunakan pengeras suara di bagian luar, kecuali untuk adzan, sholat Jumat, sholat Idul Fitri & Adha, serta sholat minta hujan. Kebijakan ini diambil menyusul maraknya keluhan warga ihwal volume pengeras suara yang terlalu besar. Arab News melaporkan tahun lalu masjid-masjid diperintahkan mencabut toa dari menara.
Foto: picture-alliance /akg-images/A. Jemolo
Mesir
Keputusan pemerintah Mesir melarang pengeras suara masjid digunakan untuk selain adzan juga didukung oleh Universitas al-Azhar. Larangan ini terutama mulai diawasi sejak bulan Ramadan 2018 lalu. Al-Azhar mengatakan, pengeras suara bisa mengganggu pasien di rumah sakit atau manula dan sebabnya bertentangan ajaran Islam.
Foto: Getty Images
Bahrain
Belum lama ini Kementerian Agama Islam di Bahrain memperpanjang larangan penggunaan pengeras suara di masjid selain untuk adzan. Lantaran banyak keluhan, pemerintah juga meminta masjid menurunkan volume pengeras suara. "Islam adalah soal toleransi, bukan mempersulit kehidupan orang lain dengan mengganggu lewat pengeras suara," kata Abdallah al-Moaily, seorang pejabat lokal kepada GulfInsider.
Foto: Getty Images
Malaysia
Di Malaysia aturan ihwal pengeras suara masjid bergantung pada negara bagian masing-masing. Penang, Perlis dan Selangor termasuk negara bagian yang melarang pengeras suara digunakan selain untuk adzan. Dalam fatwanya mufti Perlis, Datuk Asri Zainul Abidin, menegaskan larangan tersebut sudah sesuai dengan ajaran nabi Muhammad S.A.W untuk tidak mengganggu ketertiban umum.
Foto: Getty Images/AFP/M. Vatsyayana
Uni Emirat Arab
Pemerintah setempat tidak menerbitkan ketentuan khusus mengenai pengeras suara masjid. Namun penduduk didorong untuk menyampaikan keluhan jika volume pengeras suara terlalu tinggi. UAE menggariskan suara adzan tidak boleh melebihi batas 85 desibel di kawasan pemukiman agar tidak mengganggu aktivitas warga setempat.
Foto: imago/T. Müller
Indonesia
Kementerian agama tidak membatasi volume pengeras suara masjid, melainkan hanya mengatur penggunaan toa untuk keperluan ibadah. Dalam instruksi Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, masjid diperkenankan menggunakan pengeras suara untuk adzan dan pembacaan ayat Al-Quran maksimal 15 menit sebelum waktu sholat. Selama sholat masjid hanya boleh menggunakan pengeras suara di bagian dalam.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
India
Pemerintah mengawasi penggunaan pengeras suara yang tak berizin di masjid-masjid. Aturan nasional antara lain membatasi volume pengeras suara di ruang publik menjadi maksimal 10 desibel di atas volume derau di sekitar atau 5dB di atas volume bunyi-bunyian di ruang pribadi. Aturan yang juga didukung ulama Islam India ini diterbitkan untuk menjamin ketertiban umum. (rzn/hp: dari berbagai sumber)
Foto: DW/S. Bandopadhyay
7 foto1 | 7
"Mengajukan keluhan tentang kebisingan bukanlah pelanggaran pidana. Keputusan yang menggelikan ini merupakan pelanggaran mencolok dari kebebasan berekspresi," kata Usman seperti dikutip The Independent, Kamis (23/8/2018) dalam artikel berjudul "Woman who complained about noisy mosque jailed for blasphemy".
"Menghukum seseorang hingga 18 bulan penjara karena sesuatu yang sangat sepele adalah ilustrasi gamblang dari penerapan hukum penodaan agama yang semakin sewenang-wenang dan represif di negara ini," cetusnya
"Pengadilan Tinggi di Sumatra Utara harus membalikkan ketidakadilan ini dengan membatalkan hukuman Meiliana dan memastikan pembebasannya segera dan tanpa syarat," tandas Hamid.
Media Australia, ABC News juga mengangkat berita tersebut dengan judul "Indonesian Buddhist woman imprisoned after complaining mosque is too loud". Begitu pula koran berbahasa Inggris tertua di Malaysia, New Straits Times yang memberi titel artikelnya "Indonesian Buddhist jailed for blasphemy after complaining mosque 'too loud'".
Media Singapura, The Straits Times juga memberitakannya dengan judul "Woman jailed in Indonesia for complaining about volume of mosque's speakers". Juga media India, NDTV yang memilih judul "Indonesian Woman, Who Complained About Mosque Being Too Loud".
Umat yang Terbelah: Pandangan Mayoritas Muslim Tentang Syariah dan Negara
Apakah Al-Quran dan Syariah Islam harus menjadi konstitusi di negara muslim? Inilah hasil jajak pendapat yang digelar Pew Research Centre di delapan negara sekuler berpenduduk mayoritas muslim
Foto: Ahmad Gharabli/AFP/Getty Images
Malaysia
Hasil jajak pendapat Pew Research Centre tahun 2015 silam mengungkap lebih dari separuh (52%) penduduk muslim Malaysia mendukung pandangan bahwa konstitusi negara harus mengikuti Syariah Islam secara menyeluruh. Sementara 17% mewakili pandangan yang lebih moderat, yakni ajaran Al-Quran hanya sebagai acuan tak resmi penyelenggaraan negara. Sisanya (17%) menolak pengaruh agama pada konstitusi.
Foto: Getty Images/M.Vatsyayana
Pakistan
Dari semua negara berpenduduk mayoritas muslim, Pakistan adalah yang paling gigih menyuarakan penerapan Syariah Islam sebagai konstitusi negara. Sebanyak 78% kaum muslim mendukung pandangan tersebut. Hanya 2% yang mendukung sekularisme dan menolak pengaruh agama dalam penyelenggaraan negara.
Foto: Reuters/P.Rossignol
Turki
Pengaruh Kemalisme pada masyarakat Turki masih kuat, kendati politik agama yang dilancarkan partai pemerintah AKP. Hanya sebanyak 13% kaum muslim yang mendukung Syariah Islam sebagai konstitusi, sementara mayoritas (38%) mewakili pandangan moderat, yakni Al-Quran sebagai acuan tak resmi. Uniknya 36% penduduk tetap setia pada pemisahan agama dan negara.
Foto: Getty Images/C. McGrath
Libanon
Mayoritas kaum muslim Libanon (42%) yang memiliki keragaman keyakinan paling kaya di dunia menolak pengaruh agama pada konstitusi. Adapun 37% penduduk mendukung Al-Quran sebagai acuan tak resmi penyelenggaraan negara. Hanya 15% yang menuntut penerapan Syariah Islam secara menyeluruh.
Foto: J.Eid/AFP/Getty Images
Indonesia
Hingga kini Indonesia masih berpedoman Pancasila. Tak heran jika 52% kaum muslim menolak penerapan menyeluruh Syariah Islam. Namun mereka mendukung pandangan bahwa prinsip Al-Quran harus tercerminkan dalam dasar negara. Sebanyak 22% penduduk menginginkan Syariah sebagai konstitusi dan 18% menolak pencampuran antara agama dan negara.
Foto: Getty Images/O. Siagian
Yordania
Penduduk muslim di Yordania tergolong yang paling konservatif di dunia. Sebanyak 54% menginginkan Syariah Islam sebagai landasan negara. Sementara 38% menolak Syariah, namun mendukung pandangan bahwa konstitusi tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran. Hanya 7% yang memihak Sekularisme sebagai prinsip dasar negara.
Foto: S. Samakie
Nigeria
Sebagian besar kaum muslim Nigeria (42%) lebih mendukung faham Sekularisme ketimbang Syariah Islam. Di negeri yang sering dilanda konflik agama itu hanya 22% yang mengingingkan Syariah Islam sebagai konstitusi. Sementara 17% mewakili pandangan moderat, dan puas pada konstitusi yang tidak melanggar hukum Islam.
Foto: DW/Stefanie Duckstein
Palestina
Tahun 2011 hanya 38% penduduk Palestina yang mendukung Syariah sebagai konstitusi, pada 2015 jumlahnya berlipatganda menjadi 65%. Sementara 23% mewakili pandangan yang lebih moderat terkait penerapan Syariah. Hanya 8% yang menolak agama mencampuri urusan negara. (rzn/hp - Pew Research Centre, Economist)