Meditasi Menaklukkan Gen Stres
19 Januari 2014Sebuah studi oleh periset di Spanyol, Perancis dan Amerika Serikat menyediakan bukti ilmiah bagi pemikiran bahwa manusia dapat mengubah aktivitas gen dan meningkatkan kesehatan melalui pikiran dan perilaku. Ini juga terkait dengan bidang epigenetika yang tergolong baru, yang mencermati bagaimana faktor lingkungan dapat mengubah aktivitas gen secara permanen pada tingkat molekuler.
Saat epigenetika muncul sebagai sebuah bidang biologi molekuler awal tahun 90-an, sempat menggoncang pemikiran konvensional bahwa nasib sebuah organisme sudah ditentukan sebelumnya oleh gen.
Bruce Lipton, seorang ahli biologi perkembangan dan penulis yang menyatakan dirinya membantu merintis bidang epigenetika, menjelaskan bahwa sebuah kromosom separuhnya terdiri dari DNA, dan separuh lagi protein. "Ilmuwan hanya fokus kepada DNA, dan melupakan protein - epigenetika mengatakan protein ini turut berperan," kata Lipton kepada DW.
'Alam, asuh, suara'
Ritwick Sawarkar, pimpinan tim Institut Max Planck untuk Immunobiologi dan Epigenetika di Freiburg, Jerman, menjelaskan bagaimana perubahan pada level kromatin sifatnya permanen dan turun-temurun - diwariskan dari ibu ke anak, atau bahkan dari sel ke sel.
Sejumlah studi telah menerangkan aspek genetika, misalnya, bagaimana anak-anak dari para ibu yang hamil pada masa kelaparan di Belanda menderita risiko penyakit yang lebih tinggi begitu dewasa akibat kelaparan yang dialami orangtua mereka. Atau bagaimana anak tikus yang diasuh oleh induknya bereaksi dengan lebih tenang dalam situasi penuh stres saat dewasa ketimbang tikus sebaya yang tidak mendapat jilatan induknya.
Menekan inflamasi melalui meditasi
Dalam studi, yang akan dirilis pada edisi Februari jurnal 'Psychoneuroendocrinology,' para subjek penelitian menunjukkan berkurangnya level gen berpotensi inflamasi setelah 8 jam bermeditasi. Ini berkorelasi dengan kesembuhan fisik yang lebih cepat dari situasi penuh stres.
"Yang berikutnya harus terjadi adalah tindak lanjut secara lebih mekanis," tambahnya, menjelaskan bahwa studi hanya mencermati langkah ketiga dalam proses seseorang merasakan sesuatu, kemudian mengirimkan sinyal yang berujung pada perubahan.
Sawarkar juga mencatat bahwa studi tidak membuktikan perubahan terjadi secara epigenetika, dalam arti secara permanen, meski ia mengakui ini mungkin. "Akan bermanfaat untuk mengobservasi sekelompok orang yang terus bermeditasi untuk waktu yang lama, menaruh mereka dalam situasi penuh stres, kemudian membandingkan mereka dengan sebuah kelompok yang tidak bermeditasi" untuk melihat apakah perubahan epigenetika terjadi, katanya.
Ia juga mengatakan studi "meningkatkan kemampuan konsep meditasi sebagai penangkal stres," yang penting untuk kesehatan, karena "stres menghentikan pertumbuhan dan perawatan tubuh, dan sistem kekebalan tubuh."
Obat psikosomatis
György Irmey, direktur Asosiasi Ketahanan Biologis terhadap Kanker di Heidelberg, kepada DW mengatakan bahwa "penyakit kanker kerap diikuti proses inflamasi."
"Kami menyarankan kepada pasien untuk meditasi," kata Irmey, baik untuk pencegahan maupun pengobatan kanker.
Studi meditasi "bertentangan dengan banyak bidang medis lain yang mengatakan peta genetik memutuskan apa yang terjadi pada pasien," tambah Irmey. Melanjutkan studi menurutnya mungkin dapat membantu menjelaskan fenomena remisi kanker yang terjadi secara spontan.
Sementara Bruce Lipton yakin, manusia dapat menyembuhkan diri sendiri dengan keyakinan dan perilaku. Ia merujuk pada sebuah studi pada tahun 2008 yang menunjukkan bahwa perubahan gizi dan gaya hidup menekan ekspresi gen pro-kanker.
Publik harus mendapat pengetahuan lebih banyak terkait epigenetika perilaku, simpulnya: "Menjaga kesehatan adalah sebuah masalah gaya hidup. Maka perubahan yang harus dilakukan juga terpaut gaya hidup."