Berbagai kelompok masyarakat mengawasi proses banding Meiliana. Kasus penodaan agama ini menjadi tolak ukur bagaimana nasib minoritas di tanah air di masa depan. Simak opini Kalis Mardiasih.
Iklan
Di akun Facebooknya, Rumadi Ahmad, tokoh PBNU yang menjadi saksi ahli persidangan Meiliana menulis dengan muram. Keterangan yang ia berikan tidak berhasil menyelamatkan Meiliana dari penjara.
Rumadi telah menjelaskan bahwa azan bukan ashlun min ushuluddin alias bukan pokok-pokok ajaran agama dan mengeluhkan pengeras suara berbeda sama sekali dengan mengeluhkan substansi azan. Meiliana juga tidak menggalang dukungan orang lain, suaranya adalah sesuatu yang bersifat pribadi saja.
Meiliana adalah seorang perempuan dan ibu biasa yang siang itu mengeluhkan kerasnya suara azan dari masjid depan rumah yang ia sewa. Sebuah percakapan lazim antara penjual dan pembeli yang sedang berbelanja di warung.
Akan tetapi, omongannya itu tiba-tiba menjadi milik banyak warga, menjadi desas-desus yang dibumbui provokasi, hingga berujung pembakaran tak hanya tempat tinggalnya, namun juga tempat ibadah umat Buddha di kota Tanjung Balai.
Hasil penelitian Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Paramadina tentang Rekayasa Kebencian dalam Konflik Agama: Kasus Tanjung Balai memaparkan adanya rekayasa kebencian dan ketersinggungan pada peristiwa ini. Peristiwa Meiliana bukan semata konflik etno-relijius seperti dugaan awal dan dugaan umum banyak orang.
Sebuah ironi
Ada beberapa poin yang mesti kita tengok kembali dalam persoalan kasus hukum Meiliana, seorang Tionghoa beragama Buddha yang divonis 18 bulan karena dakwaan penodaan agama. Pertama, soal ikatan sosial. Kedua, kuasa organisasi massa atau tekanan mayoritas. Ketiga, masa depan pasal penodaan agama.
Cerita Meiliana adalah ironi. Tak terbayangkan trauma berat yang dialami oleh empat anaknya menyaksikan kebrutalan serombongan massa yang berteriak-teriak menyebut nama Tuhan sambil membakar rumah orang lain hanya sebab terpicu oleh desas-desus. Belum lagi untuk mendampingi Meiliana dari persidangan ke persidangan yang akhirnya menjatuhkan vonis penjara 18 bulan kepada ibu mereka.
Inilah Aturan Volume Toa Masjid di Negara Muslim Lain
Ketika seorang warga minoritas di Indonesia dipenjara lantaran mengeluhkan volume suara adzan, di sejumlah negara muslim lain pemerintah bersama ulama mewajibkan pengurus masjid menghargai ketenangan umum.
Foto: Imago/Geisser
Arab Saudi
Sejak 2015 silam Kementerian Agama Islam di Arab Saudi melarang masjid menggunakan pengeras suara di bagian luar, kecuali untuk adzan, sholat Jumat, sholat Idul Fitri & Adha, serta sholat minta hujan. Kebijakan ini diambil menyusul maraknya keluhan warga ihwal volume pengeras suara yang terlalu besar. Arab News melaporkan tahun lalu masjid-masjid diperintahkan mencabut toa dari menara.
Foto: picture-alliance /akg-images/A. Jemolo
Mesir
Keputusan pemerintah Mesir melarang pengeras suara masjid digunakan untuk selain adzan juga didukung oleh Universitas al-Azhar. Larangan ini terutama mulai diawasi sejak bulan Ramadan 2018 lalu. Al-Azhar mengatakan, pengeras suara bisa mengganggu pasien di rumah sakit atau manula dan sebabnya bertentangan ajaran Islam.
Foto: Getty Images
Bahrain
Belum lama ini Kementerian Agama Islam di Bahrain memperpanjang larangan penggunaan pengeras suara di masjid selain untuk adzan. Lantaran banyak keluhan, pemerintah juga meminta masjid menurunkan volume pengeras suara. "Islam adalah soal toleransi, bukan mempersulit kehidupan orang lain dengan mengganggu lewat pengeras suara," kata Abdallah al-Moaily, seorang pejabat lokal kepada GulfInsider.
Foto: Getty Images
Malaysia
Di Malaysia aturan ihwal pengeras suara masjid bergantung pada negara bagian masing-masing. Penang, Perlis dan Selangor termasuk negara bagian yang melarang pengeras suara digunakan selain untuk adzan. Dalam fatwanya mufti Perlis, Datuk Asri Zainul Abidin, menegaskan larangan tersebut sudah sesuai dengan ajaran nabi Muhammad S.A.W untuk tidak mengganggu ketertiban umum.
Foto: Getty Images/AFP/M. Vatsyayana
Uni Emirat Arab
Pemerintah setempat tidak menerbitkan ketentuan khusus mengenai pengeras suara masjid. Namun penduduk didorong untuk menyampaikan keluhan jika volume pengeras suara terlalu tinggi. UAE menggariskan suara adzan tidak boleh melebihi batas 85 desibel di kawasan pemukiman agar tidak mengganggu aktivitas warga setempat.
Foto: imago/T. Müller
Indonesia
Kementerian agama tidak membatasi volume pengeras suara masjid, melainkan hanya mengatur penggunaan toa untuk keperluan ibadah. Dalam instruksi Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, masjid diperkenankan menggunakan pengeras suara untuk adzan dan pembacaan ayat Al-Quran maksimal 15 menit sebelum waktu sholat. Selama sholat masjid hanya boleh menggunakan pengeras suara di bagian dalam.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
India
Pemerintah mengawasi penggunaan pengeras suara yang tak berizin di masjid-masjid. Aturan nasional antara lain membatasi volume pengeras suara di ruang publik menjadi maksimal 10 desibel di atas volume derau di sekitar atau 5dB di atas volume bunyi-bunyian di ruang pribadi. Aturan yang juga didukung ulama Islam India ini diterbitkan untuk menjamin ketertiban umum. (rzn/hp: dari berbagai sumber)
Foto: DW/S. Bandopadhyay
7 foto1 | 7
Pada bulan Juli 2016, ketika Meiliana menyampaikan keluhan tentang suara azan yang berkumandang dari masjid, kasus Ahok memang sedang panas-panasnya. Riuh di Jakarta bergema tak hanya untuk Meiliana, ada juga kasus persekusi Dokter Otto Rajasa di Balikpapan dan Dokter Fierra Lovieta di Solok yang lumayan menegangkan.
Banyak orang heran mengapa hanya gara-gara mengeluhkan suara azan, Meiliana dipersekusi hingga dibakar rumahnya. Perkara kecil yang harusnya selesai dengan komunikasi antarwarga tidak bekerja dalam kasus Meiliana. Meiliana disebut "Cina”.
Sebuah panggilan rasis yang menandakan ketidakberesan ikatan sosial antarwarga. Di banyak tempat, masyarakat kita biasa hidup berdampingan tanpa membedakan identitas maupun status sosial. Kadang-kadang, identitas agama dalam masyarakat pun sangat cair.
Seorang Tionghoa di desa saya menonton tayangan pengajian televisi Mamah Dedeh setiap hari dan hafal doa ibadah agama Islam sebab tinggal di lingkungan Muslim. Asalkan seseorang berperilaku baik, ia akan diterima sebagai warga di tengah-tengah realitas lingkungan yang beragam. Sebutan China ternyata lazim digunakan di daerah Tanjung Balai, daerah di Sumatera Utara yang hidup berdampingan dengan penduduk Tionghoa sejak abad ke 18.
Kerusuhan rasial pada Tionghoa kerap terjadi. Penduduk secara umum masih menganggap warga Tionghoa sebagai pendatang dan penjajah ekonomi, meskipun tidak semua warga Tionghoa berekonomi mapan. Suami Meiliana adalah warga biasa yang bekerja menjaga sarang burung walet. Akan tetapi, tetap saja ada ungkapan, "Semiskin-miskinnya warga Tionghoa, tak semiskin warga pribumi.”
Geger Pacinan: Sejarah Kelam Batavia 1740
Tumpahnya darah etnis Tionghoa di Batavia tahun 1740 menjadi bagian sejarah kelam ibukota metropolitan yang gemerlap ini.
Foto: Public Domain
Membangun Batavia
Awal abad ke-17, Belanda membutuhkan bantuan dalam pembangunan kota pesisir di Hinda Belanda. Kaum migran Tionghoa bekerja sebagai tukang bangunan, buruh pabrik gula dan berdagang. Sebagian tinggal di dalam tembok Batavia, sisanya di luar tembok. Beberapa di antara mereka menjadi kaya karena berdagang, namun tidak sedikit yang miskin dan dimanfaatkan oleh VOC.
Foto: Public Domain
Merosotnya pendapatan VOC
Awal awad ke 17, Kamar Dagang VOC kalah bersaing dengan maskapai dagang Inggris, Britisch East India Company. Alhasil VOC pusat menekan VOC Hindia Belanda untuk menaikkan pendapatan. Meningkatnya imigran Tionghoa yang masuk ke Batavia bukan lagi dianggap bantuan, melainkan ancaman. Tahun 1719, jumlah etnis Tionghoa lebih dari 7500 jiwa, sementara tahun 1739 melonjak jadi lebih dari 10 ribu.
Foto: public domain
Gula dunia merosot
Di pasar dunia, harga gula yang menjadi andalan VOC menurun, akibat banyaknya ekspor gula ke Eropa. Hal ini menyebabkan pabrik gula di Hindia Belanda terus merugi. Angka pengangguran termasuk para buruh gula Tionghoa di Batavia pun meningkat.
Foto: public domain
Aturan izin tinggal diperketat
Gubernur Jendral Hindia Belanda saat itu Adriaan Valckeneir memberlakukan aturan izin tinggal yang ketat. Ancamannya: penjara, denda atau di deportasi. Para etnis Tionghoa kaya merasa diperas. Semenatara itu isu berkembang, jika aturan izin tinggal tak dipenuhi, para buruh dan pengangguranTionghoa dikirim ke Zeylan (Sri Lanka). Etnis Tionghoa didera kecemasan.
Foto: Public Domain
Korupsi merajalela
Sementara kaum Tionghoa terdiskriminasi oleh pembatasan itu, oknum pejabat diduga memanfaatkan aturan untuk meraup duit ke kocek mereka sendiri. Situasi itu menciptakan rasa frustrasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan terjadi tanggal 7 Oktober 1740. Ratusan etnis Tionghoa menyerbu pabrik gula, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia keesokan harinya.
Foto: Public Domain
Konflik internal di Dewan Hindia
Kebijakan pembatasan etnis Tionghoa sebenarnya ditentang keras oleh beberapa kalangan lain di Dewan Hindia, misalnya mantan gubernur Zeylan, Gustaaf Willem baron van Imhoff, yang datang kembali ke Batavia tahun 1738. Namun Valckeneir tetap mengambil tindakan tegas dan mematikan dalam mengatasi kerusuhan di bawah otoritasnya.
Foto: Public Domain
Pecah pemberontakan
Situasi itu menciptakan rasa frustrasi yang berlanjut dengan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan memuncak pada tanggal 7 Oktober 1740. Ratusan etnis Tionghoa menyerbu pabrik gul, pos-pos keamanan VOC, disusul serangan ke Benteng Batavia kesokan harinya.
Foto: Public Domain
Pembumihangusan rumah kaum Tionghoa
9 Oktober 1740, tentara VOC mengatasi pemberontakan, berbalik mengejar pemberontak. Rumah-rumah & pasar warga Tionghoa dibumihanguskan. Ratusan warga Tionghoa lari ke kali, diburu & dibantai tanpa ampun. Kali Angke & Kali Besar banjir darah. Razia etnis Tionghoa berlanjut. Bahkan Dewan Hindia menjanjikan hadiah per kepala etnis Tionghoa yang dipancung. Hal itu memancing etnis lain ikut memburu.
Foto: Public Domain
Gustaaf Willem van Imhoff gantikan van Valkeneir
Diperkirakan hanya sekitar 600 hingga 3000 etnis Tionghoa yang selamat akibat insiden itu. Valckeneir ditarik kembali ke Belanda dan tahun 1742 ia digantikan Gustaaf Willem Imhoff yang berhasil meyakinkan pemegang saham utama VOC, bahwa Valckenier yang memicu pembantaian di Batavia.
Foto: Public Domain
9 foto1 | 9
Akan tetapi, fakta persidangan melaporkan bahwa ikatan sosial antarwarga sesungguhnya baik-baik saja. Pengurus mesjid yang diduga tersinggung, kenyataannya tidak tersinggung. Masyarakat memiliki itikad baik untuk berkomunikasi, sebelum terjadi intervensi dari beberapa organisasi keislaman yang menolak upaya damai. Beberapa organisasi keislaman seperti FUI, HTI dan Al Washliyyah mendorong MUI Kota Tanjung Balai agar mengeluarkan fatwa bahwa ucapan Meiliana adalah bagian dari penodaan agama.
Fatwa tersebut memiliki kuasa untuk mengobarkan kemarahan seisi kota dan menekan pihak kepolisian maupun jaksa. Sepanjang 2016 dan 2017, kasus Meliana kalah dengan hiruk pikuk kasus Ahok yang juga meluaskan eskalasi konflik, baik di sosial media maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa organisasi massa berbasis agama di daerah, seperti yang terjadi di Tanjung Balai merasa mendapat tambahan energi dan kepercayaan diri untuk memaksakan kehendaknya melihat pergerakan yang ada di Jawa, dan khususnya Jakarta. Ahok yang divonis bersalah menjadi justifikasi kuat untuk membungkam dan setidaknya menakut-nakuti orang untuk berpendapat.
Dengan 200 Foto Telanjang Melawan Rasisme dan Intoleransi
Fotografer Rumania Tiberiu Capudean membuat potret telanjang hitam-putih, menunjukkan kisah hidup dari lebih 200 pria gay dari berbagai bangsa.
Foto: Javier Santiago
J. - Penjaga toko,, Spanyol
"Saya dibesarkan di sebuah desa di Spanyol. Saya sering diganggu di sekolah. Ketika berusia sekitar 13 tahun, seorang anak lelaki yang lebih tua mendekati saya waktu saya sedang duduk di bangku dan membaca. Dia mengatakan 'Kamu kotor!' Dan dia menuangkan sebotol susu cokelat pada saya. Saya kaget, sementara orang-orang di sekitar saya tertawa dan menatap saya seolah-olah saya adalah monster. "
Foto: Tiberiu Capudean
A. - Perancang mode, Spanyol
"Saya bekerja di lingkungan yang sangat 'machista'. Meskipun tidak ada yang menindas saya secara pribadi, saya melihat apa yang terjadi pada orang gay yang lebih muda yang bekerja dengan saya. Apa arti 'maskulin'? "Apakah kita semua harus muda dan kuat? Apakah kita semua harus berotot? Apakah kita hanya objek seksual?"
Foto: Tiberiu Capudean
D. - Manajer IT, Belgia
"Waktu saya masih tinggal dengan orang tua, saya bekerja shift malam di toko roti lokal. Tiga hari setelah saya mengakui homoseksualitas saya kepada orang tua, di pagi hari Ibu masuk ke kamar saya. Dia kelihatan panik dan bertanya, "Kamu harus bilang siapa yang melakukan, ya?" Ternyata seseorang telah menulis kata 'homo' di kap mobil saya... Tapi saya anggap saja itu sebagai suatu kehormatan."
Foto: Tiberiu Capudean
D. - Manajer pemasaran, Italia
"Saya dari dulu sudah 'gendut.' Anak-anak di sekolah sering mengejek saya. Saya tumbuh di kota kecil di Italia dan tidak pernah menyatakan orientasi seksual saya. Pada usia 30, saya meninggalkan Italia dan pindah ke Perancis karena perspektif kehidupan gay lebih baik. "Saya pernah mengalami krisis dan merasa sangat kacau. Sekarang, saya mencoba menerima diri saya dan bahagia dengan badan saya."
Foto: Tiberiu Capudean
S. - Aktor, Perancis
"Di Eropa Timur, saya tinggal di apartemen seorang perempuan tua, di sebuah menara yang sudah kusam. Dia mengundang cucunya bertemu saya. Kami minum vodka, langsung dari botol. Dia mulai berbicara tentang apa arti keluarga dan bertanya, apa yang saya pikir tentang itu? 'Saya tidak tahu,' kata saya (berbohong). 'Saya tidak pernah benar-benar memikirkan mereka'.
Foto: Tiberiu Capudean
Tiberiu Capudean, fotografer Rumania dan aktivis LGBT
"Pria telanjang di foto-foto ini adalah aspek yang paling tidak penting. Tujuan saya adalah untuk menunjukkan bahwa keragaman adalah sesuatu yang normal, baik itu menyangkut orientasi seksual, bentuk tubuh, usia atau ras." (Teks: Lavinia Pitu/hp/ )
Foto: Javier Santiago
6 foto1 | 6
Bagaimana di negara-negara lain?
Istilah anti penodaan agama bermaksud melindungi seperangkat kepercayaan, ide dan nilai-nilai. Pada mulanya, Pakistan mengusulkan pasal ini sebab diskrimasi terhadap Muslim terus meningkat, hampir setara dengan kebencian terhadap anti-Semit di masa lalu.
Penegasan pasal ini menguat pasca peristiwa 11 September 2001 di Washington DC, terbunuhnya Theo Van Gogh, terbitnya gambar parodi Nabi Muhammad pada 2005 di koran Jyllands-Posten dan produksi film Fitna di Belanda.
Sementara sepanjang sejarah, sebuah agama berkonflik dalam tubuhnya sendiri terhadap keragaman tafsir kebenaran yang bersumber dari doktrin, baik yang bersifat teks maupun riwayat kenabian. Kebenaran tafsir yang dimenangkan bersumber dari pihak-pihak yang memiliki otoritas.
Seringnya, otoritas sebuah lembaga keagamaan adalah milik golongan mayoritas atau golongan yang memiliki kuasa dalam politik, ekonomi dan komunitas sosial budaya.
Satu Rumah Tiga Agama
Sebuah proyek di Berlin ingin menyatukan tiga agama Samawi dalam satu atap. Nantinya umat Muslim, Kristen dan Yahudi saling berbagi ruang saat beribadah. The House of One bakal dibiayai murni lewat Crowdfunding.
Foto: Lia Darjes
Berkumpul di Bawah Satu Atap
Tidak lama lagi ibukota Jerman, Berlin, bakal menyambut sebuah rumah ibadah unik, yang menyatukan tiga agama Ibrahim, yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Rencananya The House of One akan memiliki ruang terpisah untuk ketiga agama, dan beberapa ruang umum untuk para pemeluk buat saling bersosialiasi.
Foto: KuehnMalvezzi
Tiga Penggagas
Ide membangun The House of One diusung oleh tiga pemuka agama, yakni Pendeta Gregor Hohberg, Rabi Tovia Ben-Chorin dan seorang imam Muslim, Kadir Sanci. "Ketiga agama ini mengambil rute yang berbeda dalam perjalanannya, tapi tujuannya tetap sama," ujar Kadir Sanci. Menurutnya The House of One merupakan kesempatan baik buat ketiga agama untuk menjalin hubungan dalam kerangka kemanusiaan
Foto: Lia Darjes
Berpondasi Sejarah
Di atas lahan yang digunakan The House of One dulunya berdiri gereja St. Petri yang dihancurkan pada era Perang Dingin. Arsitek Kuehn Malvezzi memutuskan menggunakan pondasi gereja St. Petri untuk membangun The House of One. Sang arsitek mengakomodir permintaan masing-masing rumah ibadah, seperti Masjid dan Sinagoga yang harus mengadap ke arah timur.
Foto: Michel Koczy
Cerca dan Curiga
Awalnya tidak ada komunitas Muslim yang ingin terlibat dalam proyek tersebut. Namun, FID, sebuah kelompok minoritas Islam moderat yang anggotanya kebanyakan berdarah Turki mengamini. Kelompok tersebut harus menghadapi cercaan dari saudara seimannya lantaran dianggap menkhianati aqidah Islam. Namun menurut Sanci, perdamaian adalah rahmat semua agama.
Foto: KuehnMalvezzi
Dikritik Seperti Makam Firaun
Tidak jarang proyek di Berlin ini mengundang kritik tajam. Salah seorang tokoh agama Katholik Jerman, Martin Mosebach, misalnya menilai desain arsitektur The House of One tidak mencerminkan sebuah bangunan suci. Bentuk di beberapa bagiannya malah tampak serupa seperti makan Firaun. Tapi ketiga pemuka agama yang terlibat memilih acuh dan melanjutkan dialog terbuka untuk menggalang dukungan publik
Foto: Lia Darjes
Sumbangan Massa
Penggagas proyek The House of One menyadari betul pentingnya peran publik dalam pembangunan. Sebab itu mereka sepenuhnya mengandalkan pendanaan massa alias crowdfunding. Setiap orang bisa menyumbang uang buat membeli satu batu bata. Sebanyak 4,350.000 batu bata dibutuhkan buat menyempurnakan bangunan. Sejauh ini dana yang terkumpul sebesar 1 juta Euro dari 43 juta yang dibutuhkan
Foto: KuehnMalvezzi
Merajut Damai
Manajamen proyek berharap rumah baru ini bakal menjadi pusat pertukaran budaya antara ketiga pemeluk agama untuk saling menengenal dan saling menghargai. "Adalah hal baik buat mengenal lebih dekat jiran kita," ujar Imam Kadir Sanci.
Foto: Lia Darjes
7 foto1 | 7
UU penodaan agama tak mampu mencegah kasus kekerasan Anti Kristen di bagian negara Orissa India oleh pemeluk hindu, tak bisa bersuara untuk jamaah Ahmadiyah di Pakistan, jamaah Bahai di Iran, jamaah Falun Bong di China, dan hak-hak Muslim dan Sikh di beberapa negara Eropa.
Di Mesir, seorang profesor di Universitas Kairo dicap kafir sebab mengajar mahasiswa membaca beberapa bagian Al Qur'an secara metaforik.
Dalam konteks keIndonesiaan, UU penodaan agama bisa memenjarakan Ahok dan Meiliana, tetapi sekalipun Pemerintah tidak mampu melindungi hak-hak warga Ahmadiyah Cikeusik dan Sungailiat, pengungsi Syiah yang terusir dari Sampang, komunitas Gafatar di Kalimantan Barat juga jemaat GKI Yasmin-HKBP Filadelfia Bogor yang telah ratusan kali menggelar ibadah di seberang istana.
UU penodaan agama telah berubah jauh dari apa yang dicita-citakan, yakni melawan diskriminasi. Sebaliknya, ia kini adalah alat dikriminasi untuk mengintimidasi pemeluk agama yang berpikiran terbuka, perlawanan terhadap sektarian, dan minoritas beragama.
Hal terbaik untuk merawat kebebasan beragama adalah lewat perlindungan pada ritus-ritus ibadah semua pemeluk agama dan kepercayaan, bukan dengan membatasi pendapat dari sebagian pemeluk agama dan kepercayaan.
Jika percaya pada agama adalah sebentuk keimanan transedental, maka menjadi pemeluk agama yang mandiri dan bebas rasa takut adalah keniscayaan. Ketakutan pada hal-hal yang mencederai agama bersumber dari egoisme gerombolan, politik jamaah dan hasrat mengalahkan golongan lain.
@mardiasih adalah penulis opini lepas dan penerjemah. Bergiat sebagai riset dan tim media Jaringan nasional Gusdurian Indonesia.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia adalah sepenuhnya opini penulis dan menjadi tanggung jawab penulis.
*Ingin ikut berdiskusi? Silakan tuliskan komentar Anda di sini
Menakar Keislaman Aliran Alevi
Hingga kini penganut aliran Alevi masih berpolemik ihwal identitas keislaman mereka. Sebagian mengklaim Alevi sebagai bagian Islam, yang lain menolak keras. Inilah potret kepercayaan sub kultur yang sering ditindas itu
Foto: Imago/Zuma Press/xDavidxI.xGrossx
Kelahiran Turki, Berakar di Islam
Alevi adalah keyakinan berpengikut terbesar kedua di Turki. Sekitar 15-25% penduduk memeluk ajaran yang terbentuk pada abad ke-13 di dataran Anatolia ini. Alevi banyak mengadopsi ajaran Syiah yang diiringi dengan sentuhan sufisme. Meski Alevi berarti pengikut Imam Ali, keyakinan ini berbeda dengan Syiah Alawiyah yang berakar di Arab.
Foto: AP
Pengikut Ali Ibn Abi Thalib
Alevi terutama mengagungkan salah satu khalifah Islam, Ali ibn Abi Thalib. Menurut teologi Alevi, Ali merupakan salah satu wali Allah S.W.T. Aliran ini juga menghormati empat kitab suci agama samawi. Berbeda dengan Islam pada umumnya, Al-Quran buat kaum Alevi bukan sumber hukum dan cendrung menginterpretasikan ayat-ayat Al-Quran dari sudut pandang mistik
Foto: gemeinfrei
Islam Atau Bukan?
Termasuk ke dalam salah satu bentuk ibadah kaum Alevi adalah tarian berputar serupa Sufisme yang disebut Semah. Mereka tidak menjalankan rukun Islam dan Iman. Sebab itu pula banyak pengikut Alevi yang menanggap keyakinannya tidak bisa digolongkan Islam. Namun begitu pemimpin revolusi Iran, Ayatollah Khomeini, menetapkan pada dekade 1970an bahwa Alevi merupakan bagian dari Islam Syiah.
Foto: Imago/Zuma Press/xDavidxI.xGrossx
Kesempurnaan Absolut
Tujuan keimanan menurut Alevi adalah pencerahan dan kesempurnaan dalam konteks Al-Insan al-Kamil. Kesempurnaan itu bisa dicapai dengan cara menaklukkan hawa nafsu, rasa cinta terhadap sesama, kesabaran, kesederhanaan dan nilai-nilai kebajikan lain yang digunakan pada kehidupan sehari-hari.
Foto: Imago/Zuma Press
Semua dan Sama
Perempuan dalam tradisi Alevi memiliki posisi setara dengan laki-laki. Ajaran ini juga melarang poligami dan menganggap semua umat agama sebagai saudara seiman. Sebab itu pula kaum Alevi menilai semua agama berada di jalan yang benar menuju Tuhan.
Foto: Imago/Zuma Press
Puasa Muharram
Alevi juga mewajibkan umatnya berpuasa. Tapi berbeda dengan Islam, kaum Alevi berpuasa selama 12 hari di bulan Muharram. Setelah masa puasa tersebut mereka merayakan hari Asyura yang dalam tradisinya menyaratkan setiap orang memasak dan membagi-bagikan makanan pada teman, tetangga dan saudara.
Foto: Imago/Zuma Press/xDavidxI.xGrossx
Keyakinan 12 Imam
Ajaran Alevi tidak mengenal ritual Sholat dan tidak memiliki ketetapan waktu untuk melakukan ibadah. Kebanyakan ritual ibadah Alevi juga berbeda dengan Islam Sunni atau Syiah. Namun Alevi juga meyakini 12 Imam yang diagungkan Syiah Imamiyah. Mereka terutama mengikuti ajaran Imam ke-enam, Ja'far As-Shadiq yang juga menjadi guru bagi dua pendiri Mazdhab Sunni, yakni Abu Hanifah dan Malik bin Anas.
Foto: AP
Tragedi Madimak
Adalah pembantaian di hotel Madimak di kota Sivas pada 1993 yang mengubah wajah Alevi. Saat itu 37 pengikut Alevi yang sedang menghadiri festival dibakar hidup-hidup di dalam hotel oleh pengikut Sunni di Turki. Untuk menghindari tragedi serupa terulang, sejak itu kaum Alevi tidak lagi bersembunyi, melainkan mulai aktif di ranah publik. Meski begitu pengikut Alevi sering menjadi korban presekusi