1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Meiliana dan Pasal Penodaan Agama

Kalis Mardiasih
4 September 2018

Berbagai kelompok masyarakat mengawasi proses banding Meiliana. Kasus penodaan agama ini menjadi tolak ukur bagaimana nasib minoritas di tanah air di masa depan. Simak opini Kalis Mardiasih.

Minarett mit Lautsprechern
Foto: Imago/Geisser

Di akun Facebooknya, Rumadi Ahmad, tokoh PBNU yang menjadi saksi ahli persidangan Meiliana menulis dengan muram. Keterangan yang ia berikan tidak berhasil menyelamatkan Meiliana dari penjara. 

 

Rumadi telah menjelaskan bahwa azan bukan ashlun min ushuluddin alias bukan pokok-pokok ajaran agama dan mengeluhkan pengeras suara berbeda sama sekali dengan mengeluhkan substansi azan. Meiliana juga tidak menggalang dukungan orang lain, suaranya adalah sesuatu yang bersifat pribadi saja.

Penulis: Kalis Mardiasih Foto: Kalis Mardiasih

Meiliana adalah seorang perempuan dan ibu biasa yang siang itu mengeluhkan kerasnya suara azan dari masjid depan rumah yang ia sewa. Sebuah percakapan lazim antara penjual dan pembeli yang sedang berbelanja di warung.

Akan tetapi, omongannya itu tiba-tiba menjadi milik banyak warga, menjadi desas-desus yang dibumbui provokasi, hingga berujung pembakaran tak hanya tempat tinggalnya, namun juga tempat ibadah umat Buddha di kota Tanjung Balai.

Hasil penelitian Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Paramadina tentang Rekayasa Kebencian dalam Konflik Agama: Kasus Tanjung Balai memaparkan adanya rekayasa kebencian dan ketersinggungan pada peristiwa ini. Peristiwa Meiliana bukan semata konflik etno-relijius seperti dugaan awal dan dugaan umum banyak orang.

Sebuah ironi

Ada beberapa poin yang mesti kita tengok kembali dalam persoalan kasus hukum Meiliana, seorang Tionghoa beragama Buddha yang divonis 18 bulan karena dakwaan penodaan agama. Pertama, soal ikatan sosial. Kedua, kuasa organisasi massa atau tekanan mayoritas. Ketiga, masa depan pasal penodaan agama.

Cerita Meiliana adalah ironi. Tak terbayangkan trauma berat yang dialami oleh empat anaknya menyaksikan kebrutalan serombongan massa yang berteriak-teriak menyebut nama Tuhan sambil membakar rumah orang lain hanya sebab terpicu oleh desas-desus. Belum lagi untuk mendampingi Meiliana dari persidangan ke persidangan yang akhirnya menjatuhkan vonis penjara 18 bulan kepada ibu mereka.

Pada bulan Juli 2016, ketika Meiliana menyampaikan keluhan tentang suara azan yang berkumandang dari masjid, kasus Ahok memang sedang panas-panasnya. Riuh di Jakarta bergema tak hanya untuk Meiliana, ada juga kasus persekusi Dokter Otto Rajasa di Balikpapan dan Dokter Fierra Lovieta di Solok yang lumayan menegangkan.

Banyak orang heran mengapa hanya gara-gara mengeluhkan suara azan, Meiliana dipersekusi hingga dibakar rumahnya. Perkara kecil yang harusnya selesai dengan komunikasi antarwarga tidak bekerja dalam kasus Meiliana. Meiliana disebut "Cina”.

Sebuah panggilan rasis yang menandakan ketidakberesan ikatan sosial antarwarga. Di banyak tempat, masyarakat kita biasa hidup berdampingan tanpa membedakan identitas maupun status sosial. Kadang-kadang, identitas agama dalam masyarakat pun sangat cair.

Seorang Tionghoa di desa saya menonton tayangan pengajian televisi Mamah Dedeh setiap hari dan hafal doa ibadah agama Islam sebab tinggal di lingkungan Muslim. Asalkan seseorang berperilaku baik, ia akan diterima sebagai warga di tengah-tengah realitas lingkungan yang beragam. Sebutan China ternyata lazim digunakan di daerah Tanjung Balai, daerah di Sumatera Utara yang hidup berdampingan dengan penduduk Tionghoa sejak abad ke 18.

Kerusuhan rasial pada Tionghoa kerap terjadi. Penduduk secara umum masih menganggap warga Tionghoa sebagai pendatang dan penjajah ekonomi, meskipun tidak semua warga Tionghoa berekonomi mapan. Suami Meiliana adalah warga biasa yang bekerja menjaga sarang burung walet. Akan tetapi, tetap saja ada ungkapan, "Semiskin-miskinnya warga Tionghoa, tak semiskin warga pribumi.”

Akan tetapi, fakta persidangan melaporkan bahwa ikatan sosial antarwarga sesungguhnya baik-baik saja. Pengurus mesjid yang diduga tersinggung, kenyataannya tidak tersinggung. Masyarakat memiliki itikad baik untuk berkomunikasi, sebelum terjadi intervensi dari beberapa organisasi keislaman yang menolak upaya damai. Beberapa organisasi keislaman seperti FUI, HTI dan Al Washliyyah mendorong MUI Kota Tanjung Balai agar mengeluarkan fatwa bahwa ucapan Meiliana adalah bagian dari penodaan agama.

Fatwa tersebut memiliki kuasa untuk mengobarkan kemarahan seisi kota dan menekan pihak kepolisian maupun jaksa. Sepanjang 2016 dan 2017, kasus Meliana kalah dengan hiruk pikuk kasus Ahok yang juga meluaskan eskalasi konflik, baik di sosial media maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Beberapa organisasi massa berbasis agama di daerah, seperti yang terjadi di Tanjung Balai merasa mendapat tambahan energi dan kepercayaan diri untuk memaksakan kehendaknya melihat pergerakan yang ada di Jawa, dan khususnya Jakarta. Ahok yang divonis bersalah menjadi justifikasi kuat untuk membungkam dan setidaknya menakut-nakuti orang untuk berpendapat.

Bagaimana di negara-negara lain?

Istilah anti penodaan agama bermaksud melindungi seperangkat kepercayaan, ide dan nilai-nilai. Pada mulanya, Pakistan mengusulkan pasal ini sebab diskrimasi terhadap Muslim terus meningkat, hampir setara dengan kebencian terhadap anti-Semit di masa lalu.

Penegasan pasal ini menguat pasca peristiwa 11 September 2001 di Washington DC, terbunuhnya Theo Van Gogh, terbitnya gambar parodi Nabi Muhammad pada 2005 di koran Jyllands-Posten dan produksi film Fitna di Belanda.

Sementara sepanjang sejarah, sebuah agama berkonflik dalam tubuhnya sendiri terhadap keragaman tafsir kebenaran yang bersumber dari doktrin, baik yang bersifat teks maupun riwayat kenabian. Kebenaran tafsir yang dimenangkan bersumber dari pihak-pihak yang memiliki otoritas.

Seringnya, otoritas sebuah lembaga keagamaan adalah milik golongan mayoritas atau golongan yang memiliki kuasa dalam politik, ekonomi dan komunitas sosial budaya.

UU penodaan agama tak mampu mencegah kasus kekerasan Anti Kristen di bagian negara Orissa India oleh pemeluk hindu, tak bisa bersuara untuk jamaah Ahmadiyah di Pakistan, jamaah Bahai di Iran, jamaah Falun Bong di China, dan hak-hak Muslim dan Sikh di beberapa negara Eropa.

Di Mesir, seorang profesor di Universitas Kairo dicap kafir sebab mengajar mahasiswa membaca beberapa bagian Al Qur'an secara metaforik.

Dalam konteks keIndonesiaan, UU penodaan agama bisa memenjarakan Ahok dan Meiliana, tetapi sekalipun Pemerintah tidak mampu melindungi hak-hak warga Ahmadiyah Cikeusik dan Sungailiat, pengungsi Syiah yang terusir dari Sampang, komunitas Gafatar di Kalimantan Barat juga jemaat GKI Yasmin-HKBP Filadelfia Bogor yang telah ratusan kali menggelar ibadah di seberang istana.

UU penodaan agama telah berubah jauh dari apa yang dicita-citakan, yakni melawan diskriminasi. Sebaliknya, ia kini adalah alat dikriminasi untuk mengintimidasi pemeluk agama yang berpikiran terbuka, perlawanan terhadap sektarian, dan minoritas beragama.

Hal terbaik untuk merawat kebebasan beragama adalah lewat perlindungan pada ritus-ritus ibadah semua pemeluk agama dan kepercayaan, bukan dengan membatasi pendapat dari sebagian pemeluk agama dan kepercayaan.

Jika percaya pada agama adalah sebentuk keimanan transedental, maka menjadi pemeluk agama yang mandiri dan bebas rasa takut adalah keniscayaan. Ketakutan pada hal-hal yang mencederai agama bersumber dari egoisme gerombolan, politik jamaah dan hasrat mengalahkan golongan lain.

@mardiasih adalah penulis opini lepas dan penerjemah. Bergiat sebagai riset dan tim media Jaringan nasional Gusdurian Indonesia.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia adalah sepenuhnya opini penulis dan menjadi tanggung jawab penulis.

*Ingin ikut berdiskusi? Silakan tuliskan komentar Anda di sini