Kenapa mengkhawatirkan kampanye pemilu 2019 akan semakin memojokkan komunitas LGBT? Mochamad Husni beropini, kekhawatiran ini membatasi kebebasan partai sebagai institusi politik dalam sebuah republik.
Iklan
Belum lama ini saya membaca artikel singkat tulisan seorang kawan semasa kuliah. Saya dapat makalah itu setelah meminta dan dikirimi langsung oleh penulisnya yang bernama Dr. Robertus Robet.
Permintaan itu saya ajukan lantaran saya gagal hadir di ruang "kuliah” yang digelar organisasi Jurnal Perempuan dengan tema "moral dalam politik”. Sebagai narasumber, ia mengulas bahasan tersebut dengan judul "Moral Politik Machiavellian”.
Sangat menarik. Bukan saja mencerahkan tentang bagaimana sebenarnya pemikiran Niccolo Machiavelli --yang menulis buku The Prince sekitar tahun 1513 dan kemudian The Discourse-- tetapi juga amat membantu dalam membaca perilaku dan bagaimana politik itu sejatinya. Terutama, untuk sedikit mengomentari paparan Julia Suryakusuma perihal transgender dan politisasi LGBT.
Di artikel itu, Robertus meluruskan pemahaman pembaca bahwa kendati Machiavelli menyarankan pemisahan tegas "moral dari politik” (sekularisasi politik), namun sangatlah tidak tepat bila Machiavelli dianggap pemikir yang hanya menganjurkan politik tangan besi.
Bukan seorang hipokrit, Machiavelli adalah penganjur "the rule of man” tapi juga sekaligus "the rule of law”. Sebuah republik butuh keduanya: pemimpin kuat yang memerintah dengan "bebas”, dan negara berdasarkan hukum demi hidup bersama yang damai dan kokoh.
Landasan hukum sebagai aturan hidup bersama amat penting mengingat, "politik dan warga yang paling agung adalah politik sebagai upaya untuk tetap mengokohkan dan mempertahankan kebebasan, dignitas institusi politik dan konstitusi dalam situasi yang paling korup.”
Lantas, apa kaitannya dengan sikap Julia Suryakusuma yang tertuang di artikel itu?
Dalam uraiannya, ia mengkhawatirkan kampanye politik ke depan yang (mungkin) mengangkat isu-isu penuh kebencian dan kian memojokkan komunitas LGBT.
Meminjam penjelasan Machiavelli, kekhawatiran ini mengandung bibit-bibit pembatasan terhadap kebebasan partai sebagai institusi politik dalam sebuah republik.
Asia Perlahan Rangkul LGBT
Beberapa negara di Asia, perlahan mulai membuat langkah-langkah kecil dalam merangkul kalangan lesbian, gay, biseksual dan transjender(LGBT).
Foto: picture-alliance/dpa/R. B. Tongo
Taiwan
Mahkamah Konstitusi Taiwan membuka jalan yang melegalkan pernikahan sesama jenis. Parlemen punya waktu dua tahun untuk ubah undang-undang yang sebelumnya melarang pernikahan sesama jenis. Keputusan itu menjadikan Taiwan sebagai negara Asia yang tergolong paling toleran bagi kelompok LGBT.
Foto: picture-alliance/AP Photo/Chiang Ying-ying
Thailand
Thailand sejak lama dipandang sebagai benteng toleransi LGBT di Asia Tenggara. Negara ini telah mencabut larangan terhadap gay yang bertugas di militer. Sejak 1956, LGBT dilegalkan. Tidak ada larangan hukum untuk adopsi anak di antara pasangan gay. 2016, pasangan gay AS menangkan hak asuh atas bayi yang dilahirkan ibu penyewa rahim di Thailand, yang batal serahkan bayinya, saat tahu mereka gay.
Foto: picture-alliance/dpa/C. Sangnak
Vietnam
Tahun 2013, Vietnam menghapus denda yang dikenakan pada pernikahan homoseksual dan mengizinkan pasangan sesama jenis untuk tinggal bersama. Dua tahun kemudian, Vietnam melegalkan pernikahan sesama jenis. Vietnam juga melegalkan pergantian kelamin bagi kalangan transjender.
Foto: picture-alliance/dpa
Cina
Menjadi gay tidak ilegal di Cina dan sejak tahun 2001, homoseksualitas sudah tidak lagi diklasifikasikan sebagai gangguan mental. Meski demikian, prasangka dan diskriminasi terhadap kaum LGBT masih terus berlanjut.
Foto: picture-alliance/dpa/Imagechina/Q. Peng
Jepang
Seks homoseksual legal sejak 1880, meski di masyarakat secara umum LGBT masih dianggap tabu. Pasangan gay menikmati hak serupa hetereseksual, seperti kemudahan untuk menyewa apartemen. Survei tahun 2015 dari Universitas Hiroshima Shudo: 51% dari 1.300 responden dukung perubahan undang-undang negara untuk mengizinkan pernikahan sesama jenis.
Foto: DW/S. Assimenios
Kamboja
Tidak ada hukum yang melarang aktivitas LGBT di Kamboja. Sejak 2003, aktivis mulai gelar acara merayakan hak LGBT, dengan festival film dan pameran seni.
Meski demikian, kritikus mengatakan bahwa kaum gay dan lesbian masih terpinggirkan secara sosial. Bahkan tahun 2007, Perdana Menteri Hun Sen mengatakan dia "kecewa" bahwa anak angkatnya adalah seorang lesbian.
Foto: Getty Images
Korea Selatan
Homoseksualitas tidak ilegal di Korea Selatan, namun tidak ada undang-undang yang melarang diskriminasi. Tahun 2013, seorang sutradara film gay dari Korea Selatan secara simbolis menikahi pasangan jangka panjangnya dalam upaya untuk menyampaikan pesan bahwa minoritas seksual harus diberi hak yang sama.
Foto: Reuters/K. Hong-Ji
Nepal
Berabad-abad berstatus monarki religius, Nepal merangkul demokrasi dan sekularisme. Meski berjuang melawan kemiskinan dan lemahnya infrastruktur, bangsa yang konservatif secara sosial dan mayoritas Hindu ini melangkah maju dengan mengakui hak-hak gay dan minoritas, menjadi negara Asia Selatan pertama yang melegalkan homoseksualitas tahun 2007.
Foto: picture alliance/AP
Israel
Israel merupakan negara pertama di Asia yang mengeluarkan peraturan anti-diskriminasi untuk LGBT. Israel sangat melindungi kaum minoritas ini. Pasangan LGBT dapat mengadopsi anak dan melakukan inseminasi buatan. Namun hal ini menggusarkan kelompok Yahudi konsevatif. Tahun 2015 pernah terjadi serangan terhadap parade gay di Israel. (Ed: ap/as/rtr/berbagai sumber)
Foto: picture-alliance/AP Photo/O. Balilty
9 foto1 | 9
Toh, kalau pun benar hasil riset yang menemukan data bahwa mayoritas orang Indonesia mendukung LGBT, kekhawatiran semacam itu tidak perlu dikemukakan karena isu LGBT pasti tidak mendongkrak perolehan suara. Sebaliknya, malah membuat partai itu tidak populer.
Bawa dalam koridor hukum
Terlepas dari sikap saya yang lebih condong memandang LGBT sebagai "gangguan mental”, juga dalam konteks "kebebasan”, alangkah baiknya perjuangan para pendukungnya dilakukan melalui jalur-jalur dan mekanisme politik berlandaskan hukum yang telah disediakan.
Karena itu, justru mereka sebaiknya menggunakan partai politik serta masuk ke parlemen agar kepentingan-kepentingan kaum LGBT tersuarakan dan menjadi kekuatan "transenden” yang menjadi bagian utuh dalam kehidupan bersama di Republik Indonesia.
Sepanjang berada di koridor hukum, semua pihak harus mempersilakan proses edukasi yang berupaya memperkuat bahwa LGBT memang bukan gangguan mental. Begitu pula sebaliknya. Kita bangun Republik Indonesia yang damai dan kokoh karena ini rumah kita bersama.
Penulis: Mochamad Husni
Setelah menekuni profesi sebagai jurnalis selepas kuliah, mulai 2002 hingga sekarang aktif sebagai Public Relations sebuah perusahaan swasta dan penulis lepas.
Parade Gay Pride di Berlin
Berlin dilihat sebagai salah satu ibukota yang paling toleran di dunia. Dengan Parade Gay Pride, kota Berlin ingin menunjukkan keterbukaan dan memberi ruang kepada komunitas LGBT unjuk diri.
Foto: picture alliance/Eventpress Stauffenberg
Parade melawan intoleransi
Awal Juni, parlemen Jerman melegalkan pernikahan sejenis. Tema ini jadi sorotan utama di Christopher Street Day (CSD), atau Gay Pride, Berlin. Ibukota Jerman ini ingin menekankan pentingnya toleransi dan inklusivitas. Parade diselenggarakan di dekat lokasi serangan pasar Natal yang mematikan di Lapangan Breitscheidplatz tahun lalu.
Foto: Reuters/F. Bensch
Warna-warni pelangi
Parade tahunan Berlin bselalu menarik perhatian orang dengan kostum berwarna-warni dari peserta yang datang dari dekat dan jauh. Orang menari di jalanan dan merayakan keragaman. Berlin suda menggelar Gay Pride sejak 1979 dan makin lama pesertanya makin banyak.
Foto: Reuters/F. Bensch
Pesta musim panas
Selain di kota Köln,CSD Berlin adalah salah satu acara Gay Pride terbesar dunia, dengan hampir satu juta pengunjung. Beberapa bagian kota, seperti Kreuzberg, menggelar parade versi mereka sendiri sebagai pesta musim panas.
Foto: Picture Alliance/dpa/R. Jensen
Politisi gay memimpin parade
Para politisi ghay juga merayakan parade di Berlin.Politisi Partai Hijau Volker Beck (kanan) dan pejabat urusan hukum Dirk Behrendt (kiri) memimpin parade di baris depan. Pesan mereka: komunitas LGBT adalah bagian dari masyarakat.
Foto: Picture Alliance/dpa/J. Carstensen
Dari berbagai penjuru
Di banyak bagian dunia, komunitas LGBT masih belum diterima sebagai bagian dari masyarakat. Mereka masih menghadapi diskriminasi bahkan penganiayaan. Di berlin, mereka bebas unjuk diri. Peserta parade dari Venezuela ikut berpawai dan memberi warna multikultural serta menegaskan sikap keterbukaan kota ini.
Foto: Picture Alliance/dpa/J. Carstensen
Tolak kekerasan
Meski semakin banyak orang yang merasa nyaman untuk menyatakan diri sebagai LGBT, di beberapa tempat di Jerman masih ada aksi kekerasan terhadap komunitas ini. Parade Gay Pride tahun ini juga menekankan penolakan terhadap aksi kekerasan, dengan slogan "Nein zur Hassgewalt" ("Tolak kebencian dan kekerasan").