Melawan Depopulasi, Kota di Jerman Tawarkan Pondokan Gratis
27 Juni 2025
"Tidak ada masalah mencari akomodasi murah, tidak ada kemacetan lalu lintas, tidak ada jam sibuk, dan saya tidak pernah kesulitan menemukan tempat parkir," kata Anika Franze dengan wajah gembira dari balik meja kerjanya di pusat kota kecil Guben, dekat perbatasan Jerman-Polandia.
Perempuan berusia 38 tahun itu lahir di Berlin di bekas wilayah Jerman Timur dan menjalani sebagian besar hidupnya sebelum dan sesudah runtuhnya Tembok Berlin di ibukota Jerman, bahkan di distrik yang sama. Tetapi dia mengatakan kepadatan dan kesenjangan yang semakin lebar serta situasi perumahan yang buruk membuatnya ingin merantau.
Di radio, dia mendengar tentang skema "tinggal coba-coba" yang menawarkan orang kesempatan untuk menginap gratis hingga empat minggu di kota kecil Guben, di perbatasan Jerman-Polandia. Idenya adalah untuk mendorong lebih banyak orang datang dan menetap permanen di kota itu untuk melawan depopulasi.
Anika Franze kini telah tinggal di Guben selama delapan bulan dan mengelola proyek yang pertama kali membawanya ke kota itu. Di sini, dia mampu menyewa apartemen dua tingkat seluas 100 meter persegi, dengan harga lebih murah daripada harga satu kamar sederhana di Berlin.
Melawan tren populasi lokal yang menyusut dan menua
Guben hanyalah satu dari ratusan kota di bekas Jerman Timur yang mengalami perubahan demografi besar setelah penyatuan kembali Jerman pada tahun 1990. Angka kelahiran yang menurun dan emigrasi sebagian besar penduduk muda ke Jerman barat, mempercepat penuaan demografi di sini.
Saat ini, ada 16.600 orang yang tinggal di Guben, turun hampir setengahnya dari 29.100 pada tahun 1995. Jumlah penduduk diperkirakan akan turun lagi hingga 16% sampai tahun 2030, dengan estimasi penurunan sebesar 27% pada populasi usia kerja. Usia rata-rata saat ini ini di Guben adalah 58 tahun dan akan terus meningkat.
"Kita kehilangan satu generasi penuh," kata wali kota Guben, Fred Mahro, kepada surat kabar TAZ yang terbit di Berlin saat skema tersebut pertama kali diluncurkan.
Tahun lalu, Yayasan Bertelsmann menerbitkan sebuah studi yang menemukan bahwa Jerman perlu meningkatkan migrasi untuk memenuhi permintaan pasar tenaga kerjanya.Karena situasi demografi di negara-negara Eropa lainnya serupa, migrasi harus datang dari luar Uni Eropa.
"Dari sudut pandang ekonomi, kita perlu memastikan bahwa lokasi kita tetap menarik, dan memberikan insentif bagi bisnis untuk membangun usaha.Tapi ada hal lain yang lebih penting dari itu. Misalnya, budaya yang ramah dan interaksi sosial," kata Susanne Schultz, pakar kebijakan migrasi di Yayasan Bertelsmann.
Susanne Schultz merujuk pada penelitian yang diterbitkan Kementerian Tenaga Kerja Jerman baru-baru ini, yang menunjukkan bahwa lebih dari seperempat orang yang lahir di luar negeri dan berimigrasi ke Jerman antara usia 18 dan 65 tahun mempertimbangkan untuk pergi lagi dari Jerman tahun lalu.
"Ketidakpuasan terhadap situasi politik adalah salah satu alasan utamanya, dan saya pikir banyak di antaranya berkaitan dengan perkembangan selama satu setengah tahun terakhir," katanya kepada DW.
Jerman Timur berjuang melawan citra buruk ultra kanan
Dalam upaya untuk menarik lebih banyak penduduk baru, kota-kota di timur Jerman justru dirundung citra sebagai sarang ekstremisme ultra kanan. Guben sempat menjadi berita utama di Jerman tahun 1999, ketika seorang pencari suaka asal Aljazair, Farid Guendoul, mati kehabisan darah setelah diburu dan ditikam oleh kelompok neo-Nazi.
Hampir 42% penduduk lokal memilih partai ultra kanan AfD pada pemilihan parlemen 2025 bulan Februari lalu. AfD adalah partai dengan retorika antiimigrasi yang keras. Tetapi Anika Franze mengatakan, angka-angka tersebut tidak mencerminkan kehidupan sehari-hari di kota Guben. Hampir 60% pemilih di sini memilih partai moderat atau liberal.
"Orang-orang punya prasangka dan klise masing-masing, tetapi menurut pengalaman saya, Anda tetap bisa terhubung dengan orang lain, mereka mungkin hanya butuh sedikit waktu karena belum terbiasa dengan banyak keberagaman," jelas Anika Franze. "Saya tidak membayangkan hal ini akan berbeda dengan di kota-kota kecil Eropa lainnya."
Artikel ini dirilis pertama kali dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh: Hendra Pasuhuk
Editor: Rizki Nugraha