Hingga kini pertanian intensif diyakini sebagai jawaban atas kelaparan dan malnutrisi. Namun para pakar menantang ide tersebut, dengan mengedepankan kualitas serta varietas ketimbang kuantitas.
Iklan
"Pergilah keluar dan di mana-mana Anda lihat jagung, jagung dan jagung lagi," ujar Hans Rudolf Herren, presiden Yayasan Biovision dan pemenang Penghargaan Right Livelihood, saat menyampaikan pandangannya terkait masalah kelaparan global. "Di Afrika, di Brasil, di Amerika Anda bisa menyetir sepanjang ratusan kilometer dan yang terlihat hanya jagung! Digunakan untuk membuat etanol dan pakan ternak. Ini salah!"
Sekitar sepertiga hasil panen biji-bijian global dipakai untuk pakan ternak dan lebih dari 50 persen lari ke produksi industri dan pembangkitan energi. Tinggal kurang dari separuh untuk konsumsi manusia. Meski ini tidak menjadi masalah besar bagi warga negara-negara kaya, sekitar 800 juta orang di negara berkembang menderita kelaparan, terutama di Afrika Sub-Sahara dan Asia.
Bantuan tidak pernah mencukupi
Visi akan distribusi pangan global yang adil dan akses lebih luas terhadap nutrisi murah di negara-negara berkembang telah menjadi aspek penting agenda kebijakan pembangunan untuk waktu yang lama - sama halnya dengan keyakinan bahwa kelaparan merupakan akibat dari pertanian yang tidak produktif.
"Terutama di Amerika Serikat teori kami adalah 'Kami harus mendukung petani di negara berkembang! Kami memproduksi pangan secara lebih efisien dan murah dibandingkan negara berkembang'" ungkap Roger Thurow, seorang pakar pertanian global dari Dewan Chicago untuk Urusan Global. Negara-negara Afrika diharapkan untuk membeli pangan yang mereka butuhkan, jelasnya.
Namun semakin jelas bahwa pendekatan ini tidak cukup. Para pemilik ladang kecil - yang di beberapa negara Afrika mencakup sepertiga populasi - telah diubah menjadi penerima bantuan dengan kebijakan semacam ini. Negara-negara tersebut pada akhirnya memiliki sistem pertanian yang terbelakang. Menurut Thurow, bahkan pada saat baik hasil panen mereka tetap lebih kecil ketimbang para petani di negara maju.
Kiat Mengurangi Emisi Karbon Pertanian
Emisi karbon tahunan dari pertanian global dapat ditekan hingga sebanyak 90 persen pada tahun 2030, atau setara dengan menghilangkan seluruh kendaraan bermotor dari muka bumi. Berikut 10 strategi yang dianjurkan.
Foto: Fotolia/ArtHdesign
Mengubah Kebiasaan Makan
Laporan terbaru Climate Focus dan Asosiasi Lingkungan Kalifornia menyebut kiat terpenting dalam mitigasi produksi karbon pertanian adalah mengurangi konsumsi daging merah dan produk susu, karena pemamah biak mempunyai jejak karbon yang cukup tinggi. Laporan tersebut menganjurkan pengurangan konsumsi daging sebagai alternatif rendah karbon untuk semua negara.
Foto: Fotolia
Menggalakkan Arang Hayati
'Biochar' atau arang hayati kini tengah dijajaki sebagai perangkap karbon untuk mengurangi emisi karbondioksida. Arang hayati juga dapat ditanam untuk meningkatkan kesuburan dan produktivitas pertanian. Seperti arang biasa, biochar diciptakan dengan membakar biomassa tanpa oksigen. Apabila marak digunakan pada lahan pertanian, potensi pemerangkapan karbon oleh bumi dapat ditingkatkan.
Foto: picture-alliance/dpa
Menekan Metana Sapi
Gas metana yang dihasilkan sapi melalui proses fermentasi dalam pencernaan, mengakibatkan kerusakan pada atmosfer. Dengan memperbaiki kualitas pangan pada lahan penggembalaan, atau pakan ternak yang diproduksi pabrik, maka produksi daging dan produk susu akan memerlukan lebih sedikit hewan ternak, dan otomatis mengurangi emisi metana.
Foto: DW/C. Bleiker
Berhenti Menghamburkan Makanan
Pada sektor energi dan transportasi, banyak upaya yang dilakukan untuk meningkatkan efisiensi berbagai sistem. Namun sebaliknya, bisnis produksi makanan internasional justru sangat tidak efisien, menurut laporan. Di banyak negara, kehilangan pasca panen dan penghamburan makanan oleh konsumen sepanjang rantai suplai mencapai 30 persen lebih dari total produksi.
Foto: picture-alliance/dpa
Tingkatkan Pemerangkapan Karbon
Potensi penyimpanan karbon pada lahan penggembalaan adalah salah satu bidang yang belum banyak dijamah dalam mitigasi karbon pertanian, namun berpotensi besar, demikian menurut Organisasi Pangan dan Pertanian FAO. Pakar mengatakan bahwa dengan rehabilitasi lahan penggembalaan di Brasil, Cina dan Kenya, lahan yang selama ini salah penanganan dapat menyerap lebih banyak karbon dan mengurangi CO2.
Foto: DANIEL GARCIA/AFP/Getty Images
Efisiensi Pemupukan
Menurut laporan, Cina dan India adalah dua negara yang mengeksploitasi pemakaian pupuk sintetis. Amerika Serikat cukup efisien dalam hal input pupuk untuk setiap unit output, namun banyak lahan pertanian yang dapat diperbaiki terkait aplikasi gizi tanaman. Produksi pupuk sintetis secara berlebihan dari produk olahan industri minyak bumi menciptakan karbondioksida dalam jumlah besar.
Foto: CC/Rishwanth Jayaraj
Kurangi Emisi Kotoran Ternak
Produk akhir kotoran ternak yang membusuk adalah metana dan karbondioksida, keduanya merusak atmosfer. Laporan Climate Focus dan Asosiasi Lingkungan Kalifornia menemukan bahwa praktik mitigasi berbiaya rendah dalam mengelola kotoran ternak tersedia, namun alternatif terbaik sangat mahal dan tidak meningkatkan produktivitas peternakan. Uni Eropa, Amerika dan Cina adalah pengemisi terbesar.
Foto: DW/M. Scaturro
Perbaiki Industri Produksi Pupuk
Di Cina, emisi industri produksi pupuk tergolong tinggi karena batubara dipakai sebagai bahan baku dan pabrik yang memproduksi sudah sangat tua dan tidak efisien. Laporan ini merekomendasikan pengurangan besar-besaran jejak karbon dapat tercapai dalam jangka panjang dengan investasi peralatan baru dan konsolidasi industri.
Foto: GOU YIGE/AFP/Getty Images
Berhenti Makan Nasi?
Beras mempunyai salah satu jejak karbon tertinggi di antara tanaman pangan lainnya karena metana yang dihasilkan dari budidaya dalam sistem basah. Memperbaiki manajemen batang padi dan mengeringkan sawah secara reguler dapat mengurangi emisi secara signifikan.
Foto: Getty Images
Pemerangkapan Karbon dengan Wanatani
Metode lain pemerangkapan karbon adalah agroforestry atau wanatani, yakni kombinasi pohon dan semak dengan tanaman pangan. Sistem ini terutama menguntungkan bagi wilayah lembab atau dataran tinggi tropis karena pohon memberi keteduhan dan sejumlah keuntungan lain. Namun data potensi pemerangkapan karbon dengan wanatani masih terbatas, menurut laporan.
Foto: Fotolia/ArtHdesign
10 foto1 | 10
"Umumnya mereka kehilangan hingga 30 persen hasil panen karena penyimpanan yang buruk - metode yang digunakan sangat kuno," lanjut Thurow. "Hama dan hujan dapat masuk dan merusak hasil panen dalam beberapa minggu. Dan kalau mereka mau menjual sebagian hasil panen, tidak ada jalan yang memungkinkan pengangkutan dengan selamat ke pasar."
Perbaikan pertanian, perbaikan pangan
Thurow yakin jawaban terhadap masalah kelaparan bukanlah lebih banyak pangan namun kualitas yang lebih baik dan keanekaragaman pangan. Meski hasil panen meningkat di India, menurut ahli gizi Michael Krawinkel dari Universitas Gießen di Jerman, India masih memiliki lebih banyak orang kekurangan gizi dibandingkan negara lain di dunia. Sementara Eropa dan Amerika, di mana pertanian disubsidi dan pangan tergolong murah, tengah memerangi penyakit terkait diet seperti obesitas, diabetes dan tekanan darah tinggi.
"Makan cukup sudah tidak cukup lagi," jelas Krawinkel. "Kita butuh beragam vitamin dan gizi untuk merasa kenyang dan menjaga kadar gula dan lemak dalam darah untuk sehat yang seimbang."
Ia yakin budidaya beragam tanaman akan lebih baik daripada budidaya setiap tanaman dalam skala besar.
"Contohnya, tiga ketinggian tanaman yang berbeda dalam sepetak cukup lazim: sayuran di permukaan, lalu tanaman yang lebih tinggi, di atas itu adalah pohon yang meneduhi dan menghasilkan buah-buahan," papar Krawinkel. "Varietas semacam ini melindungi tanaman dari ancaman alamiah dan mendukung diet yang seimbang dan layak."
Itulah mengapa Hans Rudolf Herren memiliki misi untuk membuat pertanian berkelanjutan sebagai salah satu target pembangunan berkelanjutan, sebuah konsep yang kini tengah dikembangkan oleh sebuah dewan PBB. Namun pada akhirnya, konsumen yang harus pintar dalam berbelanja makanan, tambahnya.
"Saat berbelanja dan memilih produk, setiap orang bebas berkata, 'Saya akan membeli ini tapi tidak yang itu,'" tutur Herren. "Saya yakin industri akan mengikuti kemauan konsumen."