1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Alam dan LingkunganAmerika Serikat

Melawan Oligarki Kaya Pencemar Planet Bumi

Ajit Niranjan
4 Januari 2023

Dari kapal pesiar milik oligarki Roman Abramovich hingga gudang milik Jeff Bezos, gaya hidup dan minat bisnis kalangan super kaya telah memanggang planet ini.

Ilustrasi liburan musim panas
Ilustrasi liburan musim panasFoto: Fokke Baarssen/Zoonar/picture alliance

Baru-baru ini, jet pribadi milik selebritas seperti Taylor Swift dan Kim Kardashian terbang dengan jarak yang bisa ditempuh dalam beberapa jam. Perjalanan mereka melepaskan lebih banyak karbon dioksida dalam hitungan menit dibandingkan rata-rata emisi yang dikeluarkan oleh India dalam setahun.

Meski demikian, emisi selebritas yang dihasilkan di udara belum apa-apa dibandingkan emisi yang dihasilkan di laut. Kapal pesiar besar seperti milik oligarki Rusia Roman Abramovich sepanjang 162 meter, misalnya. Kapal yang dilengkapi dua helipad dan kolam renang ini mengeluarkan CO2 beberapa kali lebih banyak daripada gabungan kebanyakan rumah besar, pesawat, dan limusin.

Sebuah studi yang diterbitkan tahun 2021 bahkan memperkirakan bahwa kapal pesiar Abramovich mengeluarkan lebih banyak karbon dioksida pada tahun 2018 dibandingkan keseluruhan negara Tuvalu, negara kepulauan pasifik yang berpenduduk 11.000 orang.

"Ini sangat menyedihkan," ujar Beatriz Barros, peneliti di University of Indiana yang memimpin studi tersebut, "karena negara kepulauan juga merupakan negara yang lebih berisiko menerima konsekuensi perubahan iklim seperti naiknya permukaan laut."

Ketimpangan polusi karbon

Selama beberapa dekade, ketimpangan terbesar dalam emisi karbon terjadi antara negara kaya dan miskin. Kaum berpenghasilan terbesar di dunia yang mencakup 1% penduduk Bumi, yakni mereka yang berpenghasilan sekitar €124.000 (atau sekitar Rp2 miliar per tahun), bertanggung jawab atas seperlima dari pertumbuhan polusi karbon dalam 30 tahun terakhir. Mereka tinggal di kota-kota besar dari Miami hingga Mumbai.

"Kaum 1% teratas pada dasarnya menggunakan jumlah yang sama dengan golongan 50% terbawah umat manusia - dan sangat jelas bahwa ini adalah proporsi pengeluaran karbon yang konyol," kata Anisha Nazareth, ilmuwan di Institut Lingkungan Stockholm yang mempelajari ketimpangan emisi.

Memang tidak semua orang yang termasuk dalam golongan berpenghasilan tinggi itu menjalani gaya hidup mewah seperti para oligarki. Namun, mereka juga sering menggunakan kapal pesiar dan pesawat penumpang komersial.

Seperti diketahui, terbang adalah salah satu kegiatan paling berpolusi di dunia. Penerbangan menghasilkan sekitar 3% dari emisi karbon dioksida global. Para ahli memperkirakan hanya 2-4% populasi global yang naik pesawat setiap tahunnya.

Retribusi buat mereka yang sering terbang?

Para peneliti telah mencari cara untuk memperbaiki ketimpangan ini. Dengan menaikkan pajak, menutup celah hukum, dan menindak surga pajak, pembuat kebijakan dapat menghentikan pendanaan orang super kaya untuk membiayai gaya hidup mewah mereka yang berlebihan. Langkah ini juga dinilai dapat membebaskan lebih banyak uang untuk dipakai dalam berinvestasi di bidang infrastruktur energi bersih yang diperlukan untuk menghentikan pemanasan planet.

Namun, kebijakan untuk menaikkan pajak sering kali mendapat tentangan keras, bahkan dari mereka yang kemungkinan mendapat manfaat darinya. "Pada kenyataannya, kita melihat adanya dukungan yang mengejutkan terhadap gaya hidup orang yang sangat kaya," kata Stefan Gössling, profesor di Lund University di Swedia yang mempelajari ketidaksetaraan emisi penerbangan. Orang-orang yang dibesarkan dalam budaya yang mengidolakan orang kaya justru sering kali menentang kebijakan yang membatasi hidup mereka. 

Beban pajak penerbangan, misalnya, terutama akan dikenakan terhadap orang-orang yang lebih kaya, khususnya pelaku perjalanan bisnis. Di Uni Eropa, separuh pengeluaran untuk perjalanan udara berasal dari 20% orang terkaya. Sementara di Amerika Serikat dan Kanada, 19% orang dewasa yang melakukan lebih dari empat penerbangan dalam setahun. Beberapa ilmuwan dan politisi menyerukan adanya biaya retribusi bagi para frequent flyer.

Sebuah studi yang diterbitkan pada Oktober 2022 oleh International Council on Clean Transport, sebuah wadah pemikir di bidang lingkungan, menemukan bahwa retribusi frequent flyer global dapat menghasilkan dana hingga $121 miliar. Dana ini dapa dimanfaatkan dalam investasi tahunan untuk mendekarbonisasi penerbangan hingga tahun 2050. Frequent flyer yang melakukan lebih dari enam penerbangan per tahun, dan hanya 2% dari populasi dunia akan membayarnya.

Miliarder bisa ikut berkontribusi

Pembuat kebijakan juga dapat mengekang emisi yang dihasilkan kalangan super kaya dengan melarang penggunaan jet pribadi berbahan bakar kerosin. Larangan seperti itu hanya akan berlaku bagi sebagian kecil penerbangan dan dapat mendorong kaum super kaya untuk berinvestasi dalam teknologi untuk terbang dengan cara yang lebih ramah lingkungan.

Para ahli mengatakan investasi awal seperti ini akan membantu memajukan penggunaan bahan bakar berkelanjutan dan penerbangan berbahan bakar listrik untuk semua orang.

Para peneliti juga menekankan bahwa golongan 1% penghasilan teratas - dan bahkan 10% teratas yang menghasilkan €37.200 (sekitar Rp613 juta) setahun - seharusnya tidak hanya membatasi aksi penyelamatan iklim hanya pada apa yang mereka beli.

Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Nature pada 2021 mengungkapkan bahwa orang super kaya berperan besar dalam memperlambat perubahan iklim sebagai konsumen, investor, panutan, peserta organisasi, dan warga negara.

Hal ini dapat diwujudkan dalam bentuk tindakan menarik uang simpanan mereka dari bank-bank yang meminjamkan modal kepada perusahaan bahan bakar fosil, berkampanye menggunakan angkutan umum pada rapat dewan lokal, atau menekan manajemen di perusahaan mereka untuk menggantikan perjalanan bisnis dengan rapat virtual.

"Jika orang-orang di lapisan atas masyarakat secara aktif melakukan ini, kita akan melihat perubahan terjadi jauh lebih cepat daripada yang kita lihat saat ini," kata Kristian Nielsen, ilmuwan iklim dan penulis utama studi tersebut.

(ae/ha)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait