Melestarikan Ikan Tuna Lewat Pemijahan Rekayasa
3 Mei 2012Ikan tuna sirip biru merupakan jenis ikan yang paling digemari dan berharga paling mahal di pasar dunia. Permintaan utama datang dari Jepang. Lazimnya ikan tuna sirip biru dijadikan Sushi, makanan khas Jepang yng kini sudah mengglobal.
Tidak mengherankan jika jenis ikan tuna itu merupakan yang paling terancam kelestariannya. Sejumlah negara terus berusaha mengerem perburuan ikan pemangsa yang kini jadi jadi makanan kegemaran manusia, dengan cara menetapkan kuota penangkapan yang amat ketat.
Tapi godaan amat menggiurkan dari pasar ikan global, menyebabkan kuota itu semakin sering dilanggar. Sebagai ilustrasi, di pasar pelelangan ikan ibukota Jepang, Tokyo, seekor ikan tuna sirip biru seberat 200 kilogram, mencatat rekor penawaran hingga 100.000 Euro.
Cetuskan gagasan budidaya
Hagen Stehr yang dijuluki "raja ikan tuna Australia" sejak bebeberapa dasawarsa menjadi pemburu ikan tuna paling terkemuka di kawasan perairan "down under". Lapar akan ikan tuna di pasar global, menjadikan Stehr yang kelahiran Salzgitter Jerman, sebagai salah seorang nelayan multi-milioner di kota pelabuhan kecil Port Lincoln di kawasan pantai selatan Australia.
Akan tetapi di awal tahun 90-an, cadangan ikan tuna sirip biru di kawasan endemiknya perairan selatan Australia, merosot amat drastis. Pemerintah Australia mengambil langkah antisipasi untuk mencegah kepunahannya dengan menetapkan kuota penangkapan yang amat ketat.
Kebijakan ini memaksa Stehr banting setir, dari nelayan pemburu ikan tuna menjadi peternak budidaya tuna. Ia tidak lagi memburu ikan tuna dewasa yang memang semakin jarang, tapi membudidayakan anakan tuna di peternakan keramba lautnya. Dengan cerdik, lelaki keturunan Jerman yang sempat jadi anggota tentara legiun asing Perancis itu menyiasati aturan kuota penangkapan tuna.
Investasi mahal
Di keramba atau jaring terapung lautnya, Stehr membudiyakan lebih dari 3000 anakan tuna. Aquakultur atau budidaya perairan adalah bisnis yang investasinya amat mahal dengan risiko tinggi. Untuk menaikan bobot seekor ikan tuna sebanyak satu kiklogram, ikan ini harus memangsa sekitar 25 kilogram pakan berupa ikan kecil,
Di peternakan ikan tuna milik Hagen Stehr setiap harinya diperlukan pakan berupa ikan herring atau sarden sebanyak 30 hingga 40 ton. Bagi Stehr ini ibaratnya permainan taruhan untung-untungan. "Ibaratnya, kita setiap hari memegang uang 30.000 hingga 40.000 Dolar, dan membuangnya ke laut. Setelah itu kita berdoa kepada Tuhan, agar di akhir musim, panenan memberikan keuntungan", papar Stehr dengan serius.
Setiap enam bulan sekali dilakukan panen ikan tuna dari keramba budidaya. Sebagian besar ikan yang dipanen diekspor dalam bentuk ikan beku utuh ke Jepang.
Revolusi budidaya ikan tuna
Hagen Stehr sebetulnya bisa dengan tenang melanjutkan bisnis dari budidaya ikan tuna di jaring terapung yang sudah tergolong sukses. Juga ia bisa pensiun dan menikmati kekayaan yang dikumpulkannya. Namun Stehr justru memulai proyek baru yang amat ambisius.
Di kawasan pantai terpencil Arno Bay, sekitar 200 kilometer dari Port Lincoln, ia melaksanakan sebuah proyek rahasia. Yakni merekayasa pemijahan ikan tuna sirip biru di dalam keramba. Sejauh ini, pemijahan ikan tuna tidak alami seperti itu nyaris mustahil terjadi.
Areal perusahaan pemijahan ikan tuna "Clean Seas" di Arno Bay mirip dengan kubu pertahanan yang dijaga amat ketat. Stehr memanggil para ilmuwan pakar perikanan dari Denmark, Jepang dan AS untuk bekerja di lembaga risetnya. Sejauh ini sudah ditanamkan modal sekitar 35 juta Dolar dalam proyek penelitian itu.
"Ikan tuna jauh lebih peka dibanding jenis ikan lainnya", kata pakar biologi Morton Deichmann. "Jika merasa stres, ikan ini mogok makan dan mati. Amat sulit memeliharanya dalam keramba tanpa membuatnya cedera. Kami mula-mula harus belajar bagaimana hal itu bisa dilakukan", tambahnya.
Perjalanan virtual
Masalah lainnya, ikan tuna sirip biru biasanya memijah, setelah menempuh perjalanan ratusan kilometer pulang pergi di perairan bebas. Di Australia, biasanya ikan tuna menempuh rute perjalanan dari pantai selatan menuju pantai barat hingga ke Papua Nugini dan balik lagi ke tempat awal. Untuk menempuh jarak ini diperlukan waktu lima bulan.
Stehr melontarkan gagasan cemerlang yang kelihatannya sederhana. Yakni menipu ikan tuna, seolah-olah sdah menempuh perjalanan ratusan kilometer. Pada kolam pemeliharaan sepanjang 40 meter dilakukan rekayasanya. Arus air, kandungan garam serta suhu air terus diubah dan disesuaikan dengan kondisi rute alami ikan tuna.
Rahasia lainnya yang memainkan peranan amat besar, adalah instlasai pencahayaan yang dikendalikan komputer, yang menipu ikan tuna dengan fase siklus bulan mati hingga bulan purnama, hingga gambaran rasi bintang tertentu. "Kami menciptakan perasaan pada ikan-ikan itu sudah menempuh perjalanan ratusan kilometer. Dengan itu mereka kemudian akan memijah dan memproduksi banyak anakan", kata Stehr.
Sukses memijah
Experimen dimulai Oktober 2006. Helikopter menerbangkan induk ikan tuna seberat 200 kilogram ke instalasi riset "Clean Seas" di Arno Bay. Selama dua tahun terus dilakukan rekayasa perjalanan virtual. Terobosan sukses terjadi 12 Maret 2009, ketika pertama kalinya induk tuna memijah. Sebuah momen bersejarah bagi Stehr dan para ilmuwan penelitinya.
Namun hingga sukses budidayanya masih diperlukan waktu lama. Anakan ikan sepanjang 10 sentimeter dari pusat riset harus diternakan terlebih dahulu di keramba terapung di lautan. Baru pada tahun 2015 generasi pertama ikan tuna hasil pemijahan itu diperkirakan dapat dipasarkan.
Jika semua lancar, terbuka bisnis bernilai ratusan juta Dolar. Bagi Hagen Stehr itu bukan tujuan utama. "Cadangan ikan tuna sedunia semakin terancam. Apa yang kami lakukan di sini adalah jalan yang tepat, jika kita di masa depan masih ingin makan ikan tuna. Tidak ada alternatif lain", katanya.
Hagen Stehr yang dulu dengan armada penangkap ikan tunanya, ikut adil menguras cadangan alami, kini justru membudidayakannya, dan dengan itu sekaligus menjamin kelangsungan hidup ikan tuna serta bisnisnya
Norbert Lübbers/Agus Setiawan
Editor : Vidi Legowo