1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Melihat Buzzer Bekerja

Indonesien, Nadya Karima Melati, Bloggerin
Nadya Karima Melati
11 Januari 2020

"Lempar batu sembunyi tangan" adalah istilah yang tepat untuk menjelaskan bagaimana praktik hoaks dilakukan oleh politisi di era digital informasi. Bagaimana cara kerjanya, simak opini Nadya Karima Melati berikut ini.

Foto: picture-alliance/dpa/M. Skolimowska

Hoaks, pendengung dan perebutan kekuasaan adalah tiga entitas tidak bisa dipisahkan dari politik praktis di Indonesia hari ini. Saya menggunakan istilah buzzer daripada pendengung karena istilah ini lebih sering digunakan khususnya setelah pertarungan politik pemilu.

Selayaknya anak muda zaman sekarang, akun-akun buzzer bisa dianalogikan sebagai akun alter ego dari penguasa.

Mengapa alter ego? Sebab pemerintah/penguasa biasanya sudah memiliki akun resmi untuk memberitakan kegiatannya yang bersifat positif. Sedangkan untuk mengalahkan lawan atau menaikan isu tertentu, muncul konsultan komunikasi yang bertugas untuk mengatur akun buzzer/alter ego penguasa yang memproduksi berita bohong.

Ambil contoh kontroversi hashtag #SawitBaik yang diluncurkan di Twitter oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP), Kemenko Perekonomian, dan Kemkominfo pada bulan September 2019 tepat di saat bencana alam kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan sedang membara.

Tentu kementerian-kementerian tidak perlu membuat pernyataan secara resmi dan terang-terangan terkait kampanye #SawitBaik dan tinggal menuduh konsultan komunikasi dan para pendengung yang melakukannya untuk dijadikan sasaran amarah kebijakan yang nirempati di tengah bencana asap.

Dengan kehadiran sistem buzzer, kementerian bisa mencuci tangan sehingga publik bisa menyasar orang per orang untuk dimusuhi.  Tulisan ini akan mengupas sistem kerja buzzer dan hubungannya dengan kekuasaan oligarki di Indonesia. 

Penulis: Nadya Karima MelatiFoto: N. K. Melati

Kemunculan hoaks, buzzer dan politik penguasa

Pemerintah Indonesia sedang gencar-gencarnya untuk melakukan pendidikan publik untuk memberantas hoaks. Berbagai koalisi masyarakat sipil dibentuk untuk memberantas hoaks yang berbedar seperti Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) dan MIAH (Masyarakat Indonesia Anti Hoaks).

Baca juga: TikTok Jadi Andalan Rumah Sakit Jerman Ini Untuk Gaet Peminat Kerja

Hoaks, dianggap sebagai musuh bersama karena melakukan perpecahan dalam masyarakat dengan menyebarkan informasi yang salah atas suatu hal.

Berbagai institusi pemerintah beramai-ramai melakukan kampanye dan puluhan juta anggaran digelontorkan untuk membuat edukasi publik menolak hoaks. Tentu program ini hadir sebagai ironi karena kenyataannya hoaks-hoaks yang selama ini muncul di masyarakat juga tidak jarang diproduksi oleh penguasa.

Sebut saja hoaks Gerakan 30 September (G/30S) yang masih belum diselesaikan hingga hari ini atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang harus dibersihkan dari 'unsur-unsur Taliban'. Selain itu, kegiatan-kegiatan edukasi kebanyakan menyasar anak muda atau bahasa kerennya, "milenials" padahal kenyataannya literasi digital lebih dibutuhkan oleh generasi baby boomers daripada millenial yang native digital.

Program pemberantasan hoaks yang tidak tepat sasaran dan dilakukan oleh pemerintah ini menjadi lahan basah untuk buang-buang anggaran. Sebab, kehadiran hoaks atau berita bohong tidak bisa dipisahkan tanpa kehadiran buzzer (pendengung) yang menyampaikan pesan tersebut.

Khususnya apabila berhubungan dengan politik praktis, maka benang merah antara produksi berita bohong, buzzer dan penguasa akan jelas terlihat. Fenomena DS adalah contoh nyata. DS membuat tulisan-tulisan yang mendukung Jokowi tanpa cela.

Khususnya pada pemilihan presiden kemarin, ia rajin sekali membagikan tulisan-tulisan dukungan dan pembelaan terhadap Joko Widodo, kala itu sebagai kandidat presiden 2019, menyebar melalui status Facebook, Twitter, unggahan Instagram hingga pesan berantai di Whatsapp.

Setiap buzzer biasanya tidak bekerja sendiri, ia memiliki pendonoran, tim dan bekerja sebagai konsultan komunikasi. Mereka bekerja untuk membuat konten, framing hingga sistem penyebaran informasi. Setiap isu yang dilempar bertalian dan saling berbalasan satu sama lainnya.

Baca juga: Twitter Larang Iklan Politik, Pengamat: Di Indonesia Buzzer Lebih Berpengaruh

Jenis-jenis isu yang dimainkan oleh buzzer bisa dikategorikan dengan tiga, tergantung dari pendonoran. Pertama pendengung produk atau istilahnya endorse seperti yang sering dilakukan selebriti di instagram.

Kedua, buzzer isu/politik seperti dalam isu kekerasan di Papua atau segala hal yang berkaitan dengan kepentingan investasi dan pembangunan. Dan terakhir gabungan keduanya seperti kampanye #SawitBaik.

Di media sosial Twitter, diskusi terkait isu sosial/politik bisa menjadi bola panas dengan cara pelemparan isu oleh buzzer mengikuti pola e-demokrasi masyarakat sipil era digital. Sebuah isu atau wacana digelontorkan dan didengungkan bersama-sama secara sistematis.

Buzzer sebagai industri jasa dan komunikasi

Trio Macan 2000, Krw, J dan DS adalah deretan pendengung kawakan. Secara sistem kerja mereka tidak berbeda. Pertama mereka akan mencari pendonor atau istilahnya "bohir" yang akan mensponsori kerja kantor konsultan komunikasi mereka.

Konsultan komunikasi bisa bekerja dalam tugas melakukan branding politisi atau penyerangan isu terhadap lawan politik. Hal yang membedakan mereka adalah siapa yang membayar kerja-kerja komunikasi mereka.

Buzzer tidak bekerja sendirian, pada umumnya mereka diperkerjakan oleh konsultan atau perusahaan komunikasi untuk menaikkan sesuai isu. DS pernah dengan sengaja membagikan foto cara kerja timnya dalam menaikkan isu ketika debat calon presiden berlangsung. Hal ini membuktikan bahwa kerja buzzer tidaklah sendirian.

Saya mewawancarai seorang kawan lama, sebut saja Jono, yang bekerja sebagai buzzer di salah satu perusahaan 'konsultan komunikasi' dan dari penuturannya saya memahami bahwa tiap-tiap buzzer punya klasifikasi dan mereka bekerja secara sistematis dalam sebuah perusahaan.

Klasifikasi buzzer politik pertama adalah kelas influencer, kemudian kelas bot/akun ternak dan kelas pegawai pasugihan. Kelas influencer adalah kelas tertinggi di mana seseorang ini telah dikenal sebagai selebriti di dunia maya dan ditandai oleh banyaknya pengikut di media sosial.

Baca juga: UU Anti-Hoaks di Asia Tenggara Ciptakan Rezim Digital yang Otoriter

Biasanya mereka dibayar percuitan/postingan yang diunggah. Kelas ini dikenali berdasarkan nama mereka sendiri. Anonimitas hanya menjadi prasyarat buzzer kelas dua dan tiga untuk menaikan isu tanpa harus ada tanggung jawab dari informasi yang disampaikan.

Buzzer kedua adalah kelas bot atau ternak. Ciri dari akun ini adalah dengan memanfaatkan anonimitas di media sosial.

Nama-nama yang digunakan biasanya campuran angka dan huruf dan menggunakan foto pribadi seseorang secara acak yang ditemukan di internet. Di Twitter, akun bot biasanya memiliki jumlah pengikut sedikit. Istilah 'bot' muncul karena akun-akun anonim ini dikendalikan biasanya oleh satu orang. Saya pernah mengalami diserang oleh sebuah akun dengan kalimat provokatif.

Setelah saya telusuri, akun tersebut dikendalikan oleh satu orang yang menuliskan terang-terangan di bio Twitternya bahwa akun itu adalah salah satu dari enam akun yang digunakan untuk 'menggoreng isu'.

Kelas selanjutnya adalah kelas pegawai pasugihan di mana orang-orang biasa direkrut untuk menjual akun yang telah dimiliki sebelumnya. Buzzer kelas pasugihan dihadirkan untuk mengecoh algoritma Twitter yang secara otomatis memberantas akun-akun bot/ternak.

Untuk itu dihadirkanlah orang-orang biasa yang telah memiliki akun dan pengikut sebelumnya dan akunnya digunakan untuk mengunggah konten yang sesuai dengan permintaan klien.

Orang-orang yang direkrut ini bekerja layaknya pegawai kantoran yang mendapat gaji dan mempunyai sif. Jono adalah salah satu orang yang direkrut oleh sebuah konsultan komunikasi ini.

Dia berkata perusahaan komunikasi ini menyewa sebuah rumah besar di Jakarta Selatan dan mereka bekerja sesuai sif pagi dan malam. Jika kalian mengecek satu persatu akun buzzer #SawitBaik, pembaca bisa melihat kesamaan pola perekrutan yakni semuanya jebolan kolumnis di media tertentu. Ini membuktikan ada pola dalam perekrutan pula yang terjadi di balik industri buzzer.

Kesimpulan

Kehadiran buzzer dalam percaturan politik layaknya pekerja informal. Buzzer adalah kaki-tangan oligarki karena hanya orang yang punya uang dan kuasa yang menggunakan jasa kampanye semacam ini. Dengan memahami sistem kerja buzzer, kita mempunyai amunisi untuk menyaring informasi-informasi yang sibuk dan lalu-lalang padat di internet.

Mengetahui bagaimana sistem industri konsultan komunikasi ini bekerja juga penting untuk mengklasifikasi dan mencurigai setiap wacana dan isu yang digoreng. Dan dari contoh-contoh kasus tersebut kita mengetahui bahwa dalam kampanye melawan hoaks, justru penguasa sendiri yang memiliki semua infrastruktur untuk memproduksinya.

@Nadyazura adalah essais dan pengamat masalah sosial.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Bagaimana  komentar Anda atas opini di atas? Silakan tulis dalam kolom komentar di bawah ini.​​​​​​​