1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Melihat ke Dalam Penjara Evin yang Terkenal Kejam di Iran

Niloofar Gholami
21 Oktober 2022

Kebakaran mematikan di penjara Evin di Teheran di tengah konflik sosial Iran berhasil menarik perhatian atas pelanggaran HAM di baliknya. Dua mantan tahanan berbagi kisah mereka kepada tim DW.

Penjara Evin di Iran, setelah tragedi kebakaran
Hangus terbakar setelah api melahap sebagian besar bangunan penjara Evin di Teheran, IranFoto: WANA NEWS AGENCY via REUTERS

Penjara Evin di ibu kota Iran, Teheran, menjadi penjara paling terkenal karena pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan perlakuan buruk terhadap para tahanan politiknya. Pekan lalu, kebakaran besar melanda beberapa bagian penjara dan menewaskan sedikitnya delapan orang tahanan.

Anoosheh Ashoori adalah seorang pengusaha asal Inggris-Iran yang dipenjara selama kurang lebih empat tahun di Evin. Ia menghabiskan dua tahun di antara masa tahanannya di bagian penjara yang habis terbakar. Ashoori ditangkap pada 2017 dengan tuduhan sebagai mata-mata untuk Israel, saat tengah mengunjungi ibunya di Iran,

"Saya sangat terkejut. Kepala sampai kaki saya mati rasa. Saya tidak tahu apa yang terjadi, dan saya ditangkap dengan mata tertutup," kata Ashoori menceritakan tragedi penangkapannya.

Dia memberi tahu tim DW tentang kondisi penjara yang sangat kotor dan beberapa tindakan pelecehan yang diterimanya selama masa penahanan di bangsal 7, aula 12, penjara Evin Iran.

"Situasi di aula 12 sangat mengerikan. Kami berjuang menghadapi kutu busuk, kecoak, tikus besar, dan makanan busuk," kata Ashoori. Bahkan, sekitar 70 orang ditempatkan di aula 12 dalam empat ruangan kamar, tambahnya.

Ashoori sangat mengingat area luas, yang dikenal sebagai "pusat budaya" di ruang bawah tanah bangsal 7. Area itu dulunya adalah kolam renang, tetapi kemudian diubah menjadi pabrik garmen, tempat para narapidana bekerja menggunakan mesin jahit untuk membuat seragam tahanan.

Ashoori juga mengatakan bahwa sangat mungkin jika kebakaran itu terjadi di ruang jahit tersebut, tetapi dia tidak dapat memastikannya. Dia juga masih mengingat bahwa ada anak tangga terbuat dari besi di luar pusat budaya yang mengarah ke titik sudut pemandangan yang indah.

"Kadang-kadang kami biasa makan siang di sana (tangga besi) karena itu adalah salah satu dari sedikit tempat di mana Anda dapat melihat Pegunungan Alborz di utara Teheran," tambahnya.

Tangga besi di penjara Evin yang terukir dalam ingatan AshooriFoto: Irna

Penyiksaan psikologis

Namun, titik terendah dari pengalaman Ashoori di penjara Evin adalah 45 hari yang dia habiskan di sel isolasi, dan mengalami apa yang dia sebut sebagai "penyiksaan psikologis."

"Ada interogator utama, tapi sering kali saya merasakan kehadiran orang lain di ruang interogasi yang kecil itu," kata Ashoori. "Mereka bahkan mengancam akan menyakiti anggota keluarga saya," tambahnya.

Ashoori mengatakan bahwa lampu sorot di sana dinyalakan sepanjang hari dan malam, membuatnya sulit tidur. Dia juga mengatakan sering mendengar tangisan terus-menerus dari sel tahanan lainnya. Rasa sakit dan rasa takut akan keselamatan keluarganya telah memaksa Ashoori untuk melakukan percobaan bunuh diri.

"Saya pikir, mungkin, cara paling terbaik adalah jika saya tidak ada, membuat ancaman itu hilang," katanya. Ashoori juga pernah melakukan aksi mogok makan selama kurang lebih 17 hari sebagai protes atas penangkapannya yang dirasa tidak adil.

Maret 2022 Ashoori akhirnya dibebaskan dari penjara Evin setelah pemerintah Inggris membayar tebusan sejumlah £400 juta (setara Rp7 triliun) kepada rezim pemerintah Iran. Dia dibebaskan bersamaan warga berkewarganegaraan ganda lainnya, yakni Nazanin Zaghari-Ratcliffe.

Ashoori kini tengah menulis sebuah buku tentang pengalamannya di penjara Evin, dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran atas situasi pelanggaran HAM yang mengerikan di Iran.

Pada tanggal 2 Oktober lalu, Ashoori mengikuti ajang maraton di London, dan mengenakan poster organisasi Amnesty Internatinal di dadanya, sembari membawa selebaran mendukung gerakan hak-hak perempuan Iran.

"Saat berlari, saya membayangkan semua teman yang dulu juga ikut berlari bersama saya di halaman penjara kecil itu, seolah-olah mereka ada di sebelah saya. Saya seakan berbicara dengan suara lantang kepada mereka. Saya tidak bisa menjelaskan perasaan itu," katanya.

"Itu terasa sangat menyakitkan karena mereka masih terus mengalami penderitaan tanpa tahu kapan akan dibebaskan," tambah Ashoori.

Setelah mendengar kabar tentang tragedi kebakaran itu, Ashoori mengatakan bahwa pikiran dan hatinya terfokus pada orang-orang yang dia kenal selama berada di penjara Evin.

"Saya tidak akan tinggal diam, sampai mereka semua dibebaskan dan mereka kembali ke rumah bersama keluarga," tegasnya.

Anoosheh Ashoori menyelesaikan lomba maraton di London dengan membawa ingatan penjara Evin di pikirannyaFoto: privat

Mata ditutup dan diculik dalam perjalanan ke bandara

Bahkan sebelum revolusi Islam tahun 1979 di Iran, penjara Evin telah digunakan untuk mengurung tahanan politik, mulai dari warga asing dan warga berkewarganegaraan ganda.

Ketika gelombang  aksi protes untuk kebebasan terus berlanjut di Iran menyusul kematian Mahsa Amini yang ditahan oleh "polisi moral" karena dianggap tidak menggunakan jilbab dengan benar, justru semakin banyak warga Iran yang dipenjara.

Nizar Zakka, pengusaha asal Lebanon yang dipenjara di Evin tahun 2015, masih ingat bagaimana dia membayangkan suatu hari mereka yang ditahan di penjara itu dapat "dibebaskan oleh para pengunjuk rasa."

Zakka mengatakan kepada tim DW bahwa dia diculik oleh sekelompok pria dalam perjalanan menuju bandara, setelah dia berpidato di sebuah konferensi urusan perempuan dan keluarga di Teheran atas undangan pemerintah Iran.

"Saya tidak mengerti bahasa mereka, jadi saya tidak tahu apa yang saat itu tengah terjadi," katanya.

Zakka menghabiskan masa tahanan selama empat tahun di penjara Evin, dan dituduh sebagai mata-mata untuk Amerika Serikat (AS), tempat ia telah menjadi penduduk tetap. Zakka mengatakan bahwa bangsal 7 di penjara itu benar-benar penuh sesak, 20 orang harus berbagi kamar dengan seluas hanya 5 meter persegi.

Pihak berwenang Iran belum dapat menentukan apa penyebab kebakaran di penjara EvinFoto: KOOSHA MAHSHID FALAHI/MIZAN/AFP/Getty Images

Pihak berwenang Iran pernah meminta Zakka membuat sebuah pengakuan di TV, tapi ia menolak. "Petugas interogasi datang setiap enam minggu sekali, dan menanyakan apakah saya punya sesuatu untuk dikatakan. Saya mengatakan tidak ada, dan saya masuk kembali ke dalam (penjara)," jelasnya. Zakka juga mengatakan bahwa terkadang interogasi juga dapat berubah menjadi lebih kejam.

"Ketika Anda tidak menjawab pertanyaan, mereka (interogator) akan membuat Anda berdiri atau duduk dalam posisi yang tidak nyaman sampai Anda lelah dan pingsan. Kemudian mereka akan mulai berjalan berkeliling, berbicara satu sama lain, dan menginjak tangan Anda," tambahnya.

'Saya memimpikan tembok itu runtuh'

Zakka juga pernah menghabiskan 18 bulan di sel isolasi, ia juga melakukan beberapa kali aksi mogok makan untuk memprotes alasan penahanannya. Zakka mengatakan bahwa dia ditahan di ruangan yang sangat kotor dengan luas hanya 8 meter persegi dan lampu yang selalu menyala.

"Tidak ada apa-apa di sana. Anda hanya punya barang seperti karpet dan selimut untuk menutupi tubuh Anda. Kami terjangkit berbagai infeksi, karena sebagian besar bantal dan selimut itu kotor dan dipenuhi serangga," katanya.

"Saya ingat mereka pernah membawa saya saat tengah malam. Saya tidak dapat berbicara dengan siapa-siapa. Pada bulan Oktober dan November, saat itu begitu dingin dan kami tidak diizinkan memakai kaus kaki. Bahkan kami hanya punya sandal jepit, kalau kami ingin pergi keluar. Itu adalah pengalaman yang sangat buruk,” tambah Zakka.

Pada Juni 2019, pemerintah Iran akhirnya membebaskan Zakka setelah permintaan dari Presiden Lebanon Michel Aoun, yang terus mengikuti advokasi internasional untuk kebebasannya selama bertahun-tahun.

Nizar Zakka telah mendirikan organisasi nirlaba bernama Hostage Aid Worldwide yang membantu advokasi untuk para tahanan, bersama dengan sekelompok mantan tahanan politik lainnya "untuk memastikan apa yang terjadi pada mereka tidak akan terjadi pada orang lain."

"Ketika saya berada di Evin, saya bermimpi mungkin suatu saat akan terjadi kebakaran besar, mungkin juga akan terjadi gempa bumi yang besar, dan semua tembok itu akan runtuh, dan kami semua dapat melarikan diri dan kembali ke rumah,” kata Zakka.

"Saya berharap mimpi itu akan menjadi kenyataan, dan semua orang di sana akan dibebaskan oleh para pengunjuk rasa, suatu hari nanti."

(kp/ae)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait