1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Meliput ke Yaman, Kawasan Perang Yang Dilupakan Dunia

13 Agustus 2019

Tidak mudah mendapat izin meliput ke Yaman. Setelah setahun mencoba, reporter DW Fanny Facsar akhirnya mendapat visa. Fanny menyaksikan sebuah negara yang terkoyak oleh konflik yang dilupakan dunia.

Jemen Fanny Fascar Reportage
Foto: DW

Juli lalu, saya mendapat telepon dari Aden, ibu kota sementara Yaman. Petugas memberitahukan bahwa saya telah mendapat visa masuk ke negara itu. Hampir setahun saya berusaha mendapat visa itu. Jadi saya bertanya-tanya, apakah usaha saya akhirnya berhasil, atau apakah mereka di bandara Yaman nanti akan mengirim saya kembali ke Amman, Yordania, seperti yang terjadi dengan banyak jurnalis lain.

Saya akhirnya berangkat dari studio DW di Lagos, Nigeria, melalui Kairo, lalu Amman, dan akhirnya tiba di bandara internasional Aden, Yaman. Jauh hari, sepuluh bulan sebelumnya, saya sudah menjalin kontak dengan beberapa tenaga lokal yang akan membantu saya melakukan syuting. Begitu tiba di Yaman, saya segera bergabung dengan mereka.

Suasana tidak aman dan tegang memang sangat terasa. Kami melewati banyak pos pemeriksaan di Aden dan sekitarnya. Beberapa pos pemeriksaan ini dijaga pasukan pemerintah - atau apa yang tersisa dari mereka. Pos pengawasan lain dijaga pasukan asing dukungan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab yang mendukung pasukan pemerintah.

Beberapa pos pemeriksaan dikendalikan oleh kubu separatis Dewan Transisi Selatan (STC), yang ingin mendirikan negara mereka sendiri di Yaman selatan. Ada juga beberapa kelompok Islam militan yang beroperasi di Aden, tapi mereka kebanyakan terlibat dalam serangan gelap.

Kelompok separatis merebut Istana Presiden di Aden, Yaman Selatan, Agustus 2019Foto: picture-alliance/AP Photo

Bekerja dan hidup di tengah kekalutan dan konflik politik

Bekerja sebagai jurnalis di negara di mana aliansi politik berubah-ubah sangat berbahaya, terutama bagi orang asing. Atas alasan ini - dan untungnya saya seorang perempuan - saya menyembunyikan identitas saya dengan mengenakan kerudung penuh (foto artikel). Dengan begitu, saya malah bisa mendapat akses ke bagian-bagian kehidupan yang terlarang bagi lelaki di sebuah masyarakat yang begitu konservatif. Hal ini juga membantu saya ketika melakukan investigasi tahun lalu di Arab Saudi.

Saya bertemu dengan Fatima, dokter perempuan yang memberi saya gambaran tentang kehidupan di Yaman. Dia sekarang bekerja di sebuah rumah sakit umum, di tengah kondisi serba kekurangan.

"Kadang-kadang," ujar Fatima, "kami bahkan tidak punya cukup oksigen ketika kami perlu menangani seseorang dengan cepat." Suatu kali, mereka terpaksa menggunakan inhalator uap untuk merawat anak berusia 18 bulan yang berjuang untuk bernapas. Akhirnya, mereka berhasil membuat tangki oksigen terhubung tepat pada waktu sehingga berhasil menyelamatkan nyawa anak itu. Tapi tidak semua anak seberuntung itu, kata Fatima.

Hidup sebagai perempuan di tengah masyarakat Yaman yang sangat konservatif tidak mudah. "Saya masih lebih beruntung daripada yang lain karena keluarga saya jauh lebih terbuka dibanding keluarga lain di Yaman," kata Fatima. "Ayah mendukung rencana saya untuk melanjutkan studi ke Jerman sendirian."

Apakah rencana Fatima ke Jerman benar akan terwujud, masih harus ditunggu.

Reporter DW Fanny Facsar di Yaman SelatanFoto: DW

Perang yang terlupakan

Di beberapa tempat, masih ada supermarket yang beroperasi, sementara di tempat lain, banyak orang sangat putus asa. Di pasar lokal misalnya, seorang wanita tua terdengar melampiaskan kemarahannya: "Saya hanya mendapatkan dua ikan untuk tujuh orang. Apa yang harus kami makan?" katanya setengah berteriak.

Di tempat lain, saya bertemu orang-orang yang masih berusaha mempertahankan kehidupan budaya. Mereka bermimpi pergi ke bioskop dan menonton teater. Mereka tidak hanya prihatin dengan kesengsaraan dan kematian di sekitarnya, mereka juga sangat prihatin dengan matinya kehidupan budaya, yang menurut mereka sangat penting "untuk memelihara jiwa."

Masalah lain adalah para pengungsi Afrika, yang tidak banyak tahu tentang konflik Yaman dan mencoba melewati padang pasir Yaman untuk  mencapai Arab Saudi demi kehidupan yang lebih baik.

Beberapa hari setelah saya meninggalkan Yaman, seorang pengebom bunuh diri menyerang kantor polisi dekat rumah sakit tempat kami syuting. Yaman tetap menjadi negara berbahaya, juga bagi wartawan. Namun sangat penting untuk melakukan liputan ke sana dan menceritakan penderitaan akibat perang. Sangat penting menceritakan kehidupan dan nasib orang-orang di sana, ketika situasi di Yaman tampaknya telah dilupakan dunia, karena perhatian global saat ini bergeser ke ketegangan  Iran dan Amerika Serikat atau perang dagang AS-Cina. Sementara "perang yang terlupakan" di Yaman terus berlangsung.

Pasukan Southern Transitional Council (STC) berpatrolsi di Aden, Agustus 2019 Foto: Getty Images/AFP/N. Hasan

hp/ae

Fanny Facsar Koresponden internasional senior DW yang meliput berita dunia