1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialBelanda

Melukis Jadi Panggilan Hidup dan Pembuka Jalan

Marjory Linardy
19 Desember 2022

Mengaku dulunya "barbar budaya", Melda Wibawa sekarang jadi pelukis yang punya nama di Belanda. Meskipun demikian dia tetap rendah hati. Bagi dia itu pekerjaan serius yang juga jadi sarana penampungan ide dan emosi.

Malerin Melda Wibawa aus Indonesien
Foto: privat

Melda Wibawa lahir di Jakarta. Dia pergi ke Belanda karena cinta, katanya, sambil mengenang masa lalu. Tetapi ternyata hubungan itu tidak tahan lama, dan Melda menikah dengan pria Belanda lain yang sampai sekarang jadi suaminya.

Dulu di Jakarta, dia berkuliah jurusan arsitektur di Universitas Tarumanegara, tapi dia mengaku sebetulnya tidak pernah bercita-cita untuk jadi arsitek. Sebetulnya yang sangat ia sukai adalah fotografi. Itu jugalah mata pelajaran ekstrakurikuler yang ia pilih ketika SMA di Tarakanita. “Tapi fotografi kan mahal. Di samping itu saya juga suka menggambar.” Tapi sayangnya dari segi finansial tidak ada dukungan dari orang tuanya.

Setelah tamat SMA, dia kesulitan untuk memutuskan jurusan mana yang akan dia pilih di universitas. “Sebenernya saya pengen ke IKJ [Institut Kesenian Jakarta], tapi ga boleh sama papa, sama orang tua saya,” cerita Melda. “Soalnya, taunya tuh, kalo seniman tuh, yang rambutnya panjang kaya di Ancol,” kata Melda sambal tertawa. Akhirnya dia memilih jurusan arsitektur, karena di jurusan itu dia bisa menggambar.

Ketika berkuliah di jurusan arsitektur, dia juga mendapat pelajaran seni selama dua tahun, karena arsitektur juga berkaitan dengan warna. Tetapi mereka hanya melukis dengan cat air, bukan cat minyak. Akhirnya ia sibuk di dunia arsitektur. Dia pernah bekerja di P. T.  Atelier Enam, juga di Ciputra. “Terutama saya sibuk dengan urban desain [desain perkotaan],” kata Melda.

Begitu pindah ke Belanda, dia langsung mendapat pekerjaan menjadi web designer [desainer web]. Untungnya dulu di Jakarta dia juga sempat mendapat pendidikan di bidang itu. Dia bercerita, tidak melamar posisi sebagai arsitek, mengingat ijazah arsitekur di Indonesia tidak diakui di Belanda. Jadi jika mau, maka dia harus berkuliah arsitektur lagi di Belanda. Selama itu dia juga tidak melukis, tetapi pekerjaannya selalu menggunakan kreativitas.

Melda WibawaFoto: privat

Tapi di suatu hari tahun 2010 atau 2011 muncul keinginannya untuk belajar melukis. Tapi gaya yang digunakan oleh gurunya adalah gaya melukis yang fein [halus]. Sedangkan Melda lebih suka gaya yang free [bebas]. Ia memberikan contoh, pelukis Belanda Rembrandt misalnya, adalah pelukis yang bergaya bebas. “Kalau dari dekat, sebetulnya lukisannya terdiri dari banyak goresan, tapi kalau dilihat dari jauh kelihatannya membentuk muka, atau tangan.” Ketika menyadari bahwa dia bisa melukis dengan gaya halus, dia merasa senang. Tetapi itu boleh dibilang hanya hobi saja. Dia melukis sekali seminggu, sedangkan tiap hari harus bekerja. Di rumah dia tidak pernah melukis.

Dari cultural barbarian menjadi pelukis yang dikenal orang

Setelah beberapa tahun berlalu, dia beralih dari bekerja sebagai desainer web di perusahaan, menjadi desainer web mandiri, sehingga jadi punya lebih banyak waktu luang. Kemudian dia mendapat tawaran untuk menempuh pendidikan di sekolah seni swasta, De Foudgumse School di Friesland, Belanda bagian utara. “Sejak saya masuk sekolah itu, saya benar-benar fall in love sama melukis,” kata Melda. Pendidikan di sana dia tempuh dari 2014 sampai 2019.

Meskipun sudah lulus, dia belum berani beralih profesi sepenuhnya menjadi pelukis. Karena jika belum punya nama, seorang pelukis kebanyakan hanya menghabiskan uang saja, kata Melda. “Beli cat minyak, beli kanvas, tapi ga kejual.” Jadi dia tidak melepas pekerjaannya sebagai web designer.

Tahun 2019 ketika masih bersekolah lukis, dia pernah ikut berpartisipasi dalam acara TV nasional yang bernama Project Rembrandt, yang berupa acara perlombaan. Yang ikut serta 10 orang. Setiap minggu, dari 10 orang itu ada yang gugur, sampai akhirnya hanya ada satu orang yang jadi pemenangnya. Melda menjelaskan, “Dari 960 orang yang mendaftar, akhirnya cuma 50 yang diterima.” 50 orang itu kemudian disaring lagi, dengan cara harus melukis selama dua hari. Di hari pertama sudah gugur 30 orang. Melda masih ikut perlombaan di hari pertama, tetapi tidak terpilih ke dalam kelompok 10 orang terakhir.

Tapi Melda diundang ke acara promosi untuk perlombaan itu, di mana dia harus melukis di sebuah talk show yang terkenal di Belanda. Ketika itu, produsen acara TV itu membesarkan hati Melda untuk ikut melamar lagi di acara sama season [musim] ke dua tahun 2020. Kali itu, dia berhasil masuk di antara 10 orang yang terakhir. Tapi sayangnya, dari delapan episode, dia hanya berhasil ikut lima.

“Ketika saya gugur, Twitter meledak,” kata Melda sambal tertawa. Banyak orang marah, dan menyebut juri sudah gila. Itulah awalnya bagaimana Melda dikenal orang di Belanda. Dan dia mulai melukis berdasarkan komisi. “Kalau penjualan memang belum sampai seperti kacang goreng, tapi saya banyak dapet commission [pesanan],” begitu diutarakan Melda. Selain itu, sejak tampil di siaran TV dia jadi punya banyak penggemar. “Tapi saya tetap Melda,” katanya.

Lukisan diri Rembrandt van Rijn (1606-1669)Foto: Arne Dedert/dpa/picture alliance

Tapi yang lebih seru lagi, banyak orang kemudian ingin belajar melukis dari dia, dan dia dapat tawaran mengajar dari sekolahnya dulu. Itulah yang sekarang jadi penghasilan tetapnya. Sementara itu, dia masih punya beberapa langganan tetap untuk jasa desainer web yang dia tawarkan.

Walaupun tidak setiap hari mengajar dan bekerja sebagai desainer web, Melda selalu disiplin dalam penggunaan waktu. Di hari-hari, di mana dia harus bekerja di atelir, dia pasti sudah berada di sana paling lambat pukul 9:30 pagi. Jam 16 sore biasanya dia sudah pulang. “Karena kalau melukis, apalagi di kanvas yang besar, itu bukan saja pekerjaan mental, melainkan juga pekerjaan fisik yang berat,” begitu dijelaskan Melda.

Dulu dia berpikir, kalau melukis, orang tidak menggunakan otak. Tapi sekarang dia sadar, sebenarnya otak bekerja sangat intensif jika orang dalam proses mencipakan sesuatu yang kreatif. “Kadang rasanya seperti gemetar, karena saya punya banyak ide, dan itu semua harus keluar.” Dalam kondisi itu dia merasa seolah punya solusi untuk semua masalah di dunia ini, kata Melda dengan kebahagiaan yang emosional.

Dia menekankan, setelah melakukannya sendiri, yaitu melukis, mempraktekkan seni, dia mengerti, apa gunanya seni bagi manusia dan peradabannya. “Kalo dulu tuh saya bener-bener cultural barbarian [barbar budaya],” katanya sambal tertawa terbahak-bahak, dan menjelaskan, dulu dia hidup sangat jauh dari kesenian dan kerap mencibir: “Untuk apa kebudayaan, buang-buang uang!” Sekarang dia berubah 180 derajat.

Seniman kurang didukung di Belanda

Dia bercerita, terakhir ke Indonesia tahun 2019, dan Ketika itu tentu tidak ada sedikitpun tanda-tanda akan ada Corona. “Orang rencananya mau datang 2020 mau pameran. Gara-gara Corona habislah semua rencana,“ kata Melda.

“Tapi namanya seniman, ya, walaupun diapain juga, tetep aja hidup. Udah ga punya uang, tapi karena namanya udah dari hati, tetep musti ngelukis.” Melda menambahkan, lebih baik tidak makan daripada tidak melukis. Memang ketangguhan seperti itu sangat dibutuhkan banyak seniman yang tidak bisa mengadakan pertunjukan atau pameran selama restriksi berlangsung di masa Corona.

Terlebih lagi, di Belanda, memang tidak banyak sokongan dari pemerintah bagi seniman, dibanding dengan di Jerman. Melda mengungkap, sektor kebudayaan di Belanda adalah sektor yang mendapat subsidi paling sedikit dari pemerintah, dan paling sering mengalami pemotongan anggaran, jika keadaan perekonomian negara memburuk.

Salah satu lukisan Rembrandt yang paling terkenal, De Nachtwacht (ronda malam)Foto: Peter Dejong/dpa/AP/picture alliance

Dia bercerita lebih jauh, dulu tahun 2000 ketika dia baru pindah ke Belanda, sebenarnya masih banyak dukungan bagi seniman. Ketika itu, pelajaran kesenian masih masuk kurikulum pelajaran di sekolah-sekolah. Tetapi dia waktu itu belum terjun ke bidang seni, dan sekarang, pelajaran musik misalnya, juga sudah menghilang dari sekolah-sekolah di Belanda. “Tapi kalau orang yang kreatif mendapat tekanan, mereka bisa tetap menggunakan kreatifitasnya, sehingga akhirnya bisa survive [selamat] dan tetap sehat,“ kata Melda.

Perlu lebih dari satu kesibukan untuk jaga keseimbangan

Dia yakin, jika seseorang sudah ditakdirkan untuk menjadi seniman, apapun yang terjadi, walaupun jalannya berliku-liku, dia nantinya tetap akan jadi seniman. Tapi dengan berada di Belanda, mungkin jalannya untuk menjadi seniman jadi lebih mudah.

Bagi Melda, di Belanda ia jadi belajar menjadi open minded [berpikiran terbuka] dan asertif. “Kalau di Indonesia kan, kita tuh iya, iya, iya, gitu. Kalau kita ga senang tuh, kita ga bela diri sendiri.“ Kalau di Belanda, yang melindungi dan membela diri kita adalah kita sendiri, begitu ditegaskan Melda. Di Eropa orang belajar menjadi independen. “Dulu saya di Indonesia ga bisa masak!“ katanya sambil tertawa terbahak-bahak, “sekarang bisa bikin rendang, bikin lemper.“

Walaupun sudah menemukan panggilan hidupnya untuk jadi pelukis, Melda mengaku, dia tetap saja menghadapi tantangan. “Seperti dalam pekerjaan lain, di sini juga ada ups and downs [yang menyenangkan dan tidak menyenangkan]. Kalau udah begitu, saya udah, sehari jangan melukis dulu,“ kata Melda. Untungnya, dia juga masih menawarkan jasa desainer web untuk membuat situs.

Pekerjaan sebagai desainer web mengimbangi pekerjaan sebagai pelukis. Karena sebagai pembuat situs yang bekerja mandiri, dia harus selalu terorganisir dan teratur. Karena harus pergi ke klien atau harus membuat janji dengan orang lain. Itu membantu Melda untuk tetap hidup dan berpikir teratur. Dia bercerita, rekan-rekannya yang bekerja sebagai seniman, cara berpikirnya kerap tidak teratur. Dia selalu dapat menjaga keseimbangan karena malakukan dua pekerjaan.

Jangan biarkan keadaan buruk merusak suasana Natal

Ketika ditanya apa tantangan yang ia hadapi sekarang, Melda menjawab: “Sama seperti di Jerman, listrik mahal, dan gas naik!“ katanya sambil tertawa terbahak-bahak. Dia menjelaskan, banyak orang di Belanda yang merasa depresi menghadapi situasi berat, sampai benar-benar sakit. “Untung, I am a happy person [orang yang berpembawaan riang],“ kata Melda. Kalau sedih sebentar saja, seperti bola yang bisa mengapung di air. Begitu jugalah dia menyikapi masa-masa sulit akibat naiknya harga energi akibat perang.

Dia mengatakan, mengingat adanya perang, harga energi yang meningkat drastis dan perubahan iklim, bagi dia Natal tahun ini dalam situasi yang mengkhawatirkan. Dia bercerita, suaminya selalu bisa menenangkan. Sehingga dia kerap berpikir, memang kita tidak bisa mengubah keadaan di dunia ini. “Kita hanya bisa berdoa,“ kata Melda. Semoga hal yang lebih buruk tidak terjadi. Semoga akhirnya ada jalan keluarnya, dan jangan sampai terjadi Perang Dunia III.

“Saya kan udah jatuh cinta ama melukis, ya, kalau ga melukis, saya ga tau mau ngapain.“ Ia kemudian mengemukakan, “Saya pikir, saya ga bisa ngapa-ngapain untuk mengubah situasi. Tapi yang jelas, jangan sampai kekhawatiran saya itu, merusak suasana Natal.“

Bagi orang Indonesia yang ingin bekerja di Eropa dan pembaca lainnya, Melda mengungkapkan semboyan hidupnya: never let the chance go by. Jangan biarkan peluang berlalu. (ml/hp)

Lukisan karya Melda Wibawa bisa Anda lihat di sini.