1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Memahami Kabinet Gemuk Prabowo

22 November 2024

Sudah banyak tinjauan terhadap postur kabinet Prabowo, yang cenderung gemuk atau jumbo. Beberapa tinjauan di antaranya bersifat kritis, sehubungan soal koordinasi dan kinerja kabinet kelak.

Kabinet Indonesia yang baru dibentuk
Kabinet baru di bawah pimpinan Presiden Prabowo Subianto Foto: Achmad Ibrahim/AP Photo/picture alliance

Saya merasa tidak kompeten untuk menilai prospek kabinet Prabowo. Namun saya berusaha memahami mengapa Prabowo sampai memilih postur kabinet yang bisa dikatakan jumbo.

Penulis sudah mengamati Prabowo sejak dekade 1980-an, ketika Prabowo masih berpangkat kapten atau mayor, saat masih menjadi Wadanyon (kemudian Danyon) 328/Kujang II Kostrad. Dalam pandangan penulis, pilihan Prabowo membentuk formasi kabinet dalam postur seperti itu, sesuai dengan karakter Prabowo sebagai mantan komandan pasukan. Benar dalam benak Prabowo, anggota kabinet, termasuk kepala badan dan pejabat lain setingkat menteri, dianggapnya sebagai komandan satuan, kira-kira setara  danyon (komandan bataliyon).

Kita jadi paham bila minggu pertama kegiatan kabinet, salah satunya diisi dengan kegiatan berkumpul (camp) di kampus Akmil (Magelang), tempat Prabowo dulu dicetak sebagai perwira, sebagai lulusan Akmil 1974. Pengalaman batin Prabowo saat masih taruna rupanya masih  berjejak sampai hari ini, kendati sudah berlalu setengah abad. 

Bagi sosok yang sudah sangat matang dari segi usia dan keahlian, seperti Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan) atau Satriyo Soemantri Brojonegoro (Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan teknologi), tentu saja kegiatan berkumpul di Magelang tidak banyak berarti. Kalau mereka berdua akhirnya terlibat, selain karena hirarki,  keterlibatan itu justru memperlihatkan kematangan pribadi mereka, bahwa inilah harga yang harus dibayar ketika masuk dalam kabinet Prabowo.

Benar, kekuasaan di negara berkembang seperti Indonesia, menjadi sangat personal, masing-masing presiden menampilkan gaya masing-masing. Kita bandingkan saja dengan dua presiden terakhir. Jokowi ketika menjadi presiden, dan tinggal di Istana Bogor, membawa serta juru masak dari Solo, untuk menyiapkan kuliner khas Solo, yang merupakan santapan Jokowi sehari-hari, seperti lentho dan mie toprak.

Informasi atau pencitraan Jokowi seperti itu, tentu membuat publik tenang. Demikian juga dengan SBY, saat periode kampanye menjelang Pilpres 2004, dalam sesi wawancara dengan stasiun televisi atau media yang lain, SBY selalu memilih tempat di perpustakaan pribadinya di Cikeas, sebagai bentuk pencitraan dirinya sebagai intelektual, melampaui masa lalunya sebagai perwira tinggi TNI. Citra SBY semakin diperkuat, ketika sehari menjelang Pilpres 2004, SBY menyempatkan diri ke Blitar, untuk minta doa restu pada ibunya, dengan cara bersujud (sungkem).

Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Kini giliran  Prabowo yang juga mengambil kesempatan  menjelaskan siapa dirinya, di hari-hari pertama kekuasaannya. Cara Prabowo adalah melakukan dengan mengajak anggota kabinetnya ke Magelang. Bila informasi atau pencitraan Jokowi dan SBY, membuat publik tenang, tidak demikian halnya dengan gaya Prabowo. Tampilan Prabowo sejak hari-hari pertama berkuasa,  seolah melestarikan citra dirinya sebagai mantan komandan pasukan, membuat publik sedikit menahan napas, sebagian mungkin cemas.

Kecemasan publik beralasan, bisa dihubungkan dengan ingatan masa lalu Prabowo sebagai lingkaran dalam Soeharto. Wajar jika ada kecemasan seperti itu, atau Prabowo dianggap sebagai rezim Soeharto jilid II. Hanya Prabowo sendiri yang bisa memastikan, bahwa dirinya bukan pelanjut gaya Soeharto yang militeristik.

Kontradiksi atau kekhawatiran publik sudah mulai tampak, salah satunya dengan ditangkapnya Thomas Lembong, mantan Menteri Perdagangan (2015-2016), dengan alat bukti yang masih dianggap sumir. Dalam  situasi ketidakpastian yang bakal membayangi rezim Prabowo,  apa yang sebaiknya kita lakukan ?

Saya teringat kembali dialog antara Jenderal Soemitro (Pangkopkamtib) dan sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer (Pak Pram) di kamp Pulau Buru. Pada seputar Oktober 1973 Jenderal Soemitro berkesempatan berkunjung Pulau Buru, jadi hanya beberapa bulan sebelum Peristiwa Malari (1974), sebuah peristiwa yang akhirnya mengakhiri karir militer cemerlang Jenderal Soemitro.

Dalam pertemuan empat mata dengan Pak Pram, Jenderal Soemitro berpesan, agar Pak Pram  bisa berlaku sebagai layang-layang, dalam konteks kehidupan Pak Pram yang sedang menghadapi berbagai tekanan selaku tapol Pulau Buru. Maksud Soemitro adalah, agar Pak Pram bisa beradaptasi dengan keadaan, (seperti layang-layang) ada angin diulur, tak ada angin kita tarik. Nasihat Jenderal Soemitro inilah,  yang mungkin menjadi katalis bagi Pak Pram untuk terus menulis (karya sastra Buru) dalam situasi sesulit apa pun.

Pesan Soemitro kepada Pak Pram, kiranya masih relevan, dan bisa diadopsi di tengah ketidakpastian situasi. Bagaimana masyarakat tetap kreatif dalam menyiasati segala kesulitan hidup, terlebih di tengah kabar soal kelas menengah yang "terjun bebas”.

Sosok kiri tipis-tipis

Bila hanya mengingat soal postur kabinet, mungkin sebagian orang akan pesimis. Seandainya kabinet (gemuk) Prabowo ini adalah sebuah lorong gelap, tentu di ujung lorong itu ada seberkas cahaya, yang kiranya bisa memperpanjang nafas asa kita. Selain masih ada nama-nama dengan kapabilitas tinggi seperti Sri Mulyani Indrawati dan Satriyo, yang membuat publik tenang. Masih ada nama lain, seperti Fadli Zon (Menteri Budaya) dan Budiman Sujatmiko, dua rising star Kabinet Merah Putih, yang kebetulan juga memiliki basis intelektual  kuat.

Fadli Zon diharapkan bisa melanjutkan angan-angan mantan Presiden Jokowi,  yang pernan ingin merevisi film "Pengkhianatan G30S/PKI”. Gagasan Jokowi disampaikan usai nobar (nonton bareng) film tersebut di Markas Korem (Komando Resort Militer) Bogor, akhir September 2017, bersama Panglima TNI (saat itu) Jenderal Gatot Nurmantyo.

Tentu saja publik tidak paham apa yang dimaksud  revisi oleh  Jokowi, pada bagian mana yang perlu direvisi.  Pengetahuan Jokowi juga mungkin terbatas soal wacana Peristiwa 1965 tersebut. Bagian paling penting untuk direvisi adalah  sehubungan peran Soeharto.

Dalam versi Orde Baru, peran Soeharto digambarkan demikian sakral, dan seolah tidak bisa diganggu gugat. Pada titik ini Fadli Zon bisa memberikan kontribusinya, sebagai salah seorang yang dianggap paling paham soal gerakan kiri di Indonesia, sejak era kolonial sampai tahun 1965. Fadli Zon bisa berangkat dari pertanyaan kunci: memang seagung itukah peran Soeharto dalam Peristiwa 1965.

Harapan berikutnya adalah ada pada Budiman Sudjatmiko (Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan), yang seolah memberikan sentuhan "kiri” pada kabinet sekarang. Selain Budiman sebagai lokomotif, masih ada nama-nama mantan aktivis pergerakan kiri lainnya, seperti Mugiyanto, Agus Jabo, Faisol Reza, dan Nezar Patria.

Sejarah seperti berulang

Di masa Orde Baru, kendati tidak setebal kabinet sekarang, pernah juga "orang kiri” masuk elite pemerintahan, yaitu Adam Malik saat diangkat sebagai Wapres (1978-1983). Adam Malik adalah kader Tan Malaka di Partai Murba. Tan Malaka sendiri adalah tokoh kiri, namun uniknya justru menjadi musuh besar  PKI.

Saat Adam Malik menjadi Wapres, Pak Adam memberikan kontribusi penting, yang kiranya bisa dijadikan referensi Budiman Sudjatmiko dan kawan-kawan. Budiman dkk sebagai orang kiri, juga bisa memberikan terobosan signifikan, tidak sekadar nimbrung pada kekuasaan. Setidaknya ada dua kontribusi penting yang dilakukan Pak Adam. Pertama, mengusahakan pembebasan tapol Golongan B terkait Peristiwa 1965, baik yang ada (terutama) di Pulau Buru dan Lembaga Pemasyarakatan lainnya. Kedua, menghadang wacana  pembongkaran Patung Tani  (Jakarta Pusat, tidak jauh dari Markas Komando Korps Marinir TNI AL), yang digagas oleh Sarwo Edhie Wibowo (selaku Kepala BP7). Bila sampai hari ini Patung Tani masih berdiri kokoh di tengah Kota Jakarta, tentu ada sebagian sumbangsih Adam Malik di sana.

Budiman telah memperoleh momentumnya, kesempatan tidak datang dua kali. Rasanya tidak berlebihan bila Budiman dianggap sebagi "reinkarnasi” Tan Malaka. Sejak usia belia, saat masih duduk di bangku SMA Muhammadiyah 1 (MUHI) Yogyakarta, Budiman sudah giat membaca buku karya Tan Malaka. Penulis sendiri sempat menyaksikan Budiman duduk mojok di salah satu ruangan rumah kontrakan Komunitas Rode, tak jauh dari TMP Kusumanegara.  Komunitas Rode sendiri sampai hari ini masik eksis.

Fadli Zon dan Budiman rasanya sudah sangat siap di panggung itu, sebagai reseprentasi Generasi 1990-an. Hanya mereka sendiri yang bisa menjawabnya, akan menjadi the legend kelak, atau sekadar numpang lewat.

 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

 

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial Terima kasih.

 

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait