Menyimak film-film tempo doeloe membawa kita berimajinasi bagaimana peradaban bangsa kita saat itu. Jika melihat kualitas film sekarang, bagaimana generasi mendatang memandang peradaban kini? Opini Andibachtiar Yusuf.
Iklan
“Film adalah potret peradaban sebuah bangsa, penanda sejarah yang menggambarkan seperti apa bangsa itu di masa tersebut,” demikian ujar Usmar Ismail. Sosok yang kerap disebut sebagai ‘Bapak Perfilman Nasional' itu membuktikannya sendiri lewat hampir semua karyanya. Beliau yang berkarya pada kurun waktu 1949-1964 membuktikannya di nyaris semua karyanya, beberapa yang pernah saya tonton adalah Enam Djam di Djogja (1951), Tamu Agung (1955), Lewat Djam Malam (1954) dan Tiga Dara (1956).
Lewat Djam Malam secara lugas tak hanya menggambarkan situasi politis saat itu, tetapi juga bagaimana pola kehidupan remaja Indonesia atau tepatnya Jakarta di tahun-tahun itu. Bagaimana dansa-dansi adalah hal lumrah dan setelan suit adalah sesuatu yang biasa.
Pola pergaulan pun tak jauh berbeda dengan saat ini, hanya medium yang digunakan yang berbeda. Juga di Tiga Dara yang juga direstorasi dan sedang ditayangkan di tanah air, jelas menggambarkan bahwa pada dasarnya generasi muda relatif melakukan hal yang sama.
Kedua film tadi membuat saya dan siapapun yang menontonnya mampu memahami Indonesia atau setidaknya Jakarta di saat itu. Bahwa kawasan Cilincing pernah menjadi tempat plesiran yang menarik karena dipenuhi pohon kelapa dan pantai yang indah. Jalanan kawasan Mahakam yang lebar dan luas, pada masanya lenggang serta adalah tempat bermain yang cocok untuk anak-anak.
Lewat film Tamu Agung saya pun memahami bahwa tak ada yang berubah dari bangsa kita yang selalu mudah dibuai oleh seseorang hanya karena tampilan luarnya.
Semua film di era Usmar dan kemudian di era 1970-an ketika sutradara-sutradara lebih muda muncul selalu menggambarkan keadaan di masa itu. Indonesia yang berubah, tak lagi seperti di masa 1950-an saat identitas kita sangat jelas sekali jika melihat di kota besar.
Kebiasaan memakai setelan bahkan pada situasi tak resmi sudah tidak ada lagi di film-film 1970-an sampai 1980-an. Kedua era itu dipenuhi oleh berbagai genre yang membuat penontonnya bisa melakukan aneka pilihan. Mulai dari film-film Rhoma Irama yang menasbihkan dangdut sebagai music of my country, sampai karya-karya terbaik dari Teguh Karya.
5 Film Terlaris Sepanjang Zaman
"Star Wars: The Force Awakens" catat rekor pendapatan 1 milyar US Dolar setelah 2 minggu diputar. Tapi masih perlu waktu untuk lampaui raihan pendapatan lima film terlaris sepanjang sejarah.
Foto: Disney/Lucasfilm
Avatar (2009)
Inilah film yang meraih rekor pemasukan tertinggi hingga saat ini: 2,78 milyar US Dolar. Fiksi ilmiah karya sutradara James Cameron yang dibintangi Sam Worthington, Zoe Saldana dan Sigourney Weaver ini menceritakan konflik abad 22 terkait kolonialisasi dan penambangan sumber alam di Pandora yang dihuni warga Na'vi'. Cameron dikabarkan memproduksi sekuel berikutnya yang akan dirilis 2017.
Foto: picture-alliance/dpa
Titanic (1997)
Film karya Cameron beberapa tahun sebelumnya, juga catat rekor pemasukan: 2,19 milyar US Dolar. Film drama yang dibintangi Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet ini mengisahkan tenggelamnya kapal penumpang Inggris pada 1912 setelah menabrak gunung es di Atlantik.
Foto: AP/Paramount Pictures
Jurassic World (2015)
Sekuel Jurassic Park (1993) karya Steven Spielberg ini dirilis bulan Mei 2015 dan sudah meraup pendapatan 1,7 milyar US Dolar. Lanjutan film ini direncanakan dirilis 2018. Perlu dicatat, empat dari lima film terlaris sepanjang zaman dirilis tahun 2015.
Foto: picture alliance/AP Photo/C. Zlotnick
The Avengers (2012)
Film karya sutradara Joss Whedon tentang super hero Iron Man, Captain America, the Hulk dan Thor dari komik Marvel ini meraup pendapatan 1,52 millyar US Dolar. Sekuel berikutnya, Avengers: Age of Ultron yang dirilis Mei 2015 sudah meraup 1,4 milyar US Dolar. Dua sekuel lanjutan direncanakan dirilis 2018 dan 2019.
Foto: picture alliance/dpa/Jay Maidment/Marvel
Furious 7 (2015)
Sekuel ketujuh Fast and the Furious yang disutradarai James Wan ini telah meraup pendapatan 1,51 milyar US Dolar. Ini juga film terakhir Paul Walker yang meninggal 30 November 2013 akibat kecelakaan mobil. Catatan: film-film berikut juga sudah tembus pendapatan lebih dari 1 Milyar US Dolar. Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2(2011), Frozen(2013), Iron Man 3 (2013) dan Minions (2015).
Foto: picture-alliance/Universal Pictures
5 foto1 | 5
Saya mengenang masa kanak-kanak di tahun itu sebagai saat ketika selera dangdut terlihat jelas di bioskop-bioskop kita. Banyolan slapstick khas Les Charlots yang diterjemahkan secara Indonesia oleh trio Warkop kemudian Bagito, Sersan Prambors dan seterusnya, praktis adalah gambaran seperti apa selera komedi kita saat itu.
Melihat sebuah bangsa yang termudah praktis adalah dengan melihat rekaman visualnya, dan sinema selalu memiliki kemewahan itu.
Sampai ketika perfilman kita disebut mati suri… apakah mati?
Tercatat per tahunnya di dekade 1990-an ada sekitar 35-80 film dirilis yang praktis lebih banyak dibandingkan dekade awal 2000-2010. Nyaris semuanya memang bertema seks, tapi mungkin memang seperti itulah situasi bangsa kita di masa itu.
Situasi ketika mendadak tak ada lagi film lain dibuat selain dengan genre drama seks. Entah dengan pendekatan komedik ala Gloria Guida atau Edwidge Fenech di tahun 1970-an atau malah yang serius seperti Sylvia Kristel di 1980-an. Yang pasti sinema Indonesia saat itu dipenuhi oleh kisah-kisah seksual. Bisa jadi memang.
Nonton Bioskop Ditemani Bulan dan Bintang
Udara musim panas yang menyengat tak menghalangi pencinta film di Jerman melewati malam dengan nonton bioskop di sinema udara terbuka di bawah langit bertaburan bintang. Pilihan filmnya pun beragam.
Foto: Daimler AG
Tempat Nyaman di Taman
Ingin nonton film sembari berpiknik dengan santai? Di sinema udara terbuka Berlin di Friedrichshain, keduanya mungkin. Pengunjung dapat mencari tempat di bangku taman atau meja kafe tepat di depan layar tancap, atau menggelar alas yang nyaman di atas rumput dengan berbekal selimut serta keranjang piknik.
Foto: picture-alliance/dpa
Hawa Antik
'Kino, Mond & Sterne' atau 'Bioskop, Bulan dan Bintang' telah mempertontonkan film di udara terbuka Westpark, München, sejak tahun 1995. Penonton bisa duduk di 13 undakan batu amfiteater berbentuk setengah lingkaran dan mencermati layar yang ditancapkan ke sebuah panggung di tepi Westsee. Begitu film selesai, penikmat film dapat nongkrong di taman urban, bersantai atau pesta barbekyu.
Foto: KINO, MOND & STERNE
Olympiapark München
Lokasi Olimpiade 1972 ini masih digunakan untuk beragam acara, dan populer sebagai tujuan pencinta olahraga dan tempat berjalan kaki. Olympiapark München juga menjadi satu-satunya sinema udara terbuka di Jerman yang menayangkan film-film 3D. Dari pertengahan Mei hingga pertengahan September, penayangan film pada tengah hari bahkan sudah mungkin berkat teknologi LED.
Foto: Kino am Olympiasee
Sinema Pinggir Elbe
Nonton bioskop malam hari di bawah bintang-bintang di pinggir Sungai Elbe di Dresden termasuk pengalaman sinema terbaik di Jerman. Dikelilingi pemandangan kota tua yang bermandikan cahaya lampu, film-film disajikan mulai dari bulan Juni hingga September. Dengan kapasitas sebanyak 3.300 tempat duduk, nonton bioskop udara terbuka di pinggir Elbe merupakan yang terbesar di Jerman.
Foto: Toni Kretschmer – Filmnächte am Elbufer
Suasana Khidmat
Di kota Alpirsbach di Baden-Württemberg, hingga 300 pencinta film dapat menikmati hiburan malam hari yang disematkan di antara tembok-tembok batu pasir biara Benediktin. Pengunjung dapat melepas dahaga dengan bir lokal yang diproduksi pabrik pembuatan bir di samping biara.
Foto: Matthias Zizelmann
Film dan Industri
Di Duisburg, film bisa dibilang hiburan sampingan. Berlatar belakang oven udara memukau yang sudah tidak beroperasi lagi, film-film menghiasi layar perak pada lebih dari 40 malam musim panas. Kelar setiap penayangan, sebuah pertunjukan cahaya menyinari bekas pabrik peleburan itu dengan lautan warna fantastis.
Foto: filmforum GmbH/Thomas Berns
Ikon Film Bisu
Pada pekan kedua bulan Agustus, pelataran Universitas Bonn menjadi hidup berkat film-film bisu klasik. Mahakarya yang dibintangi Marlene Dietrich, Buster Keaton dan Charlie Chaplin hanya menjadi bagian kecil dari program Festival Film Bisu Internasional ke-30. Persis seperti masa lalu, film-film yang diputar secara gratis ini tayang diiringi musik live.
Foto: T. Beu
Tak Lagi Durjana
Di Hamburg, pencinta film memadati Schanzenpark untuk menikmati film-film musim panas. Areal yang dulunya dikenal rawan aktivitas ilegal dan kriminal ini, sekarang telah menjadi bagian penting bagi lanskap kultur kota. Selain film populer Hollywood, film-film independen dan dokumenter juga ikut masuk program acara.
Foto: Outdoor Cine GmbH
Seni dalam Barak
Di Ludwigsburg, film dipertontonkan di udara terbuka Karlskaserne - barak-barak militer yang dibangun pada awal abad ke-20. Pernah digunakan sebagai areal latihan militer, lokasi ini sekarang menjadi tempat menikmati beragam suguhan kreatif. Film-film dipertunjukkan di sini setiap musim panas, tepatnya pada dua minggu pertama bulan Agustus.
Foto: KinoKult e.V.
Atmosfer Futuristis
Juga pada bulan Agustus, Museum Mercedes-Benz di Stuttgart disulap menjadi sinema udara terbuka. Pada lebih dari 16 malam penayangan, hingga 700 penonton menikmati film-film populer dan klasik di lokasi futuristis ini.
Foto: Daimler AG
10 foto1 | 10
Harapan baru bagi Indonesia?
Banyak orang menyebut tahun-tahun ini adalah era baru sinema Indonesia. Lahirnya sutradara-sutradara baru serta citarasa sinemanya yang praktis lebih modern dan sangat teknis membuat film Indonesia masa kini disebut punya pengharapan baru. Apalagi teknologi digital membuat semakin banyak anak muda muncul dan melahirkan film-film mereka.
Seperti apa Indonesia masa kini digambarkan dengan jelas di film-film kita sekarang. Saya sering bertanya-tanya, seperti apakah generasi mendatang misalnya di tahun 2076 memahami Indonesia lewat sinema.
Apakah mereka akan coba memahaminya lewat Laskar Pelangi, Pintu Terlarang, Pocong Kesurupan, 99 Cahaya di Langit Eropa ataukah malah lewat Opera Jawa atau malah Babi Ngepet Jatuh Cinta. Saya rasa menarik untuk menantikannya.
Penulis:
Andibachtiar Yusuf, Filmmaker & Traveler
@andibachtiar
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Jika Lansia Jerman Main Film Terkenal
Awalnya hanya untuk kalender, tetapi sekarang itu sudah jadi sensasi di internet. Lansia dari panti wreda Jerman berpose seperti di film-film klasik Hollywood.
Foto: Werntges Studios
Bond. James Bond.
Apakah itu Sean Connery yang sedang melakukan tugas 007-nya yang terakhir? Usianya hampir mirip, 89 tahun. Tetapi ini foto Wilhelm Buiting. Pose sebagai Bond ini adalah salah satu foto untuk kalender yang menunjukkan warga lansia dari beberapa panti wreda di negara bagian Nordrhein Westfalen. Hanya dibuat 5.000 eksemplar, untuk mereka sendiri, keluarga dan pekerja panti wreda.
Foto: Werntges Studios
Born to be wild
Walter Loeser (98, sebagai Billy alias Dennis Hopper) dan Kurt Neuhaus (90, sebagai Wyatt alias Peter Fonda), menikmati sekali berpose untuk foto dari film "Easy Rider," yang dibuat tahun 1969. Katanya kedua bapak ini tidak bersedia lagi turun dari sepeda motor setelah berpose, dan ingin benar-benar mengendarainya.
Foto: Werntges Studios
Hebat
Ketika film berjudul "Giant" populer dan ramai diputar di berbagai bioskop tahun 1956, Joanna Trachenberg (81, sebagai Leslie Lynnton) dan Horst Krischat (78, sebagai Jett Rink) umurnya hampir sama dengan pemeran asli, Elizabeth Taylor dan James Dean.
Foto: Werntges Studios
Stayin' alive
Dalam usia 87 tahun, Siegfried Gallasch masih bisa menggoyangkan pinggul seperti John Travolta dalam perannya sebagai Tony Manero dalam film "Saturday Night Fever" (1977). Ia dan Irmgard Alt, yang berusia 79 tahun dan berperan sebagai Stephanie Mangano (dalam film dimainkan Karen Lynn Gorney) sedang menggoyang lantai dansa.
Foto: Werntges Studios
"I have the time of my life!"
Komputer harus membantu sedikit dalam film ini. Johann Liedtke, 92, tidak benar-benar bisa mengangkat Marianne Pape, 79, dalam pose dari film "Dirty Dancing" (1987). Tetapi tokoh aslinya, Johnny Castle (yang diperankan Patrick Swayze) dan "Baby" Houseman (yang diperankan Jennifer Grey) juga perlu waktu lama untuk melakukan gerakan ini dengan baik.
Foto: Werntges Studios
Menyanyikan Nada Blues
Salah satu dari dua "Blues Brothers" ini perempuan. Margarete Schmidt (77, kanan) dan Lothar Wischnewski (76) berpose sebagai dua penyanyi blues tersebut. Aslinya, kedua kakak beradik itu dimainkan John Belushi serta Dan Aykroyd, dalam film yang diproduksi tahun 1980.
Foto: Werntges Studios
"I'm flying, Jack!"
Bagaimana perasaan Anda? Erna Rütt (86) dan Alfred Kelbach (81) berpose untuk skenario tersohor dari film "Titanic" (1997) yang menunjukkan Jack (Leonardo DiCaprio) dan Rose (Kate Winslet) pertama kali berciuman dalam perjalanan dengan kapal pesiar.
Foto: Werntges Studios
Hembusan Udara Segar
Baju berwarna putih yang dikenakan Ingeborg Giolbass (84) mirip dengan yang dikenakan Marilyn Monroe dalam film komedi berjudul "The Seven Year Itch" 1955. Baju asli yang dikenakan Monroe dilelang dengan harga 3,2 juta Euro. Tetapi Giolbass dan Erich Endlein (88) yang berpose sebagai Richard Sherman, aslinya dimainkan Tom Ewell, juga menikmati udara segar.
Foto: Werntges Studios
Moon River
Dalam foto ini, Marianne Brunsbach (86) memainkan Holly Golightly, dalam film produksi tahun 1961 yang berjudul "Breakfast at Tiffany's." Dalam film itu Audrey Hepburn berperan sebagai Holly Golightly.