Tahun ini Indonesia, khususnya Jakarta, menjadi tuan rumah bagi perayaan hari Kebebasan Pers Internasional WPFD. Apakah ini sebuah prestasi atau justru tamparan keras bagi kita? Verlyana Hitipeuw membagi pandangannya.
Iklan
Bulan Mei selalu diawali dengan beberapa peringatan penting, seperti hari Buruh Internasional, hari Pendidikan Nasional, dan yang tak kalah penting juga hari Kebebasan Pers Internasional (World Press Freedom Day/WPFD).
Sejak 1993 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjadikan tanggal 3 Mei dijadikan sebagai hari kebebasan pers internasional. Pada hari ini dunia diingatkan kembali pada prinsip-prinsip dasar kemerdekaan pers dan diajak untuk meninjau bagaimana implementasinya di setiap negara. Hari ini juga didedikasikan untuk memberi penghormatan bagi pekerja pers dari berbagai negara yang kehilangan nyawanya saat bertugas. Tidak hanya sampai di situ, melalui banyak perayaan yang dilangsungkan oleh berbagai komunitas pers untuk memperingati hari ini, publik juga diajak ikut serta dalam memerjuangkan dan mengawasi kebebasan pers.
Penulis sendiri meyakini bahwa kebebasan pers bukan hanya untuk para pekerja media. Sesungguhnya kita, publik yang mengonsumsi media, juga akan merasakan dampak dari kebebasan pers. Oleh karena itu, walaupun bukan wartawan, di hari peringatan kebebasan pers ini perlu kita semua mengambil waktu sejenak untuk refleksi dan bertanya, apakah kebebasan pers di Indonesia sudah mendorong kemajuan demokrasi bangsa ini, apakah kita berkontribusi aktif untuk memerjuangkan dan mengawasinya, ataukah kita justru termasuk termasuk konsumen yang gampang terprovokasi berita bohong atau bahkan ikut menyebarluaskannya?
Prestasi Kebebasan Pers Indonesia
Perlu kita ketahui bahwa laporan terbaru Reporters Without Borders (RSF)mengenai Indeks Kebebasan Pers Dunia menyatakan bahwa pada 2017 Indonesia menduduki peringkat ke-124 dari 180 negara. Ini berarti Indonesia naik enam tingkat dari tempat sebelumnya. Namun, kenaikan ini bukanlah pertanda kebebasan pers sudah membaik, karena sepuluh tahun lalu Indonesia ada di peringkat ke-100. Selain itu, total skor tahun ini adalah 39,93 yang berarti Indonesia masih berada di zona merah, satu tingkat dari yang terburuk yaitu zona hitam. Beberapa negara lain seperti Afghanistan (peringkat ke-120) dan Nigeria (peringkat 122) berada di peringkat lebih tinggi sedikit dari Indonesia, yang selalu dipandang sebagai demokrasi terbesar ketiga di dunia dengan mayoritas penduduk Muslim. Bahkan negara muda seperti Timor Leste berhasil mendapatkan peringkat ke 98.
RSF menekankan bahwa di masa kepemimpinan Presiden Jokowi masih terjadi pelanggaran kebebasan media yang serius, termasuk kurangnya akses media ke Papua, di mana kekerasan terhadap wartawan lokal terus berkembang. Selain itu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melaporkan bahwa intimidasi dan bahkan kekerasan terhadap wartawan tidak hanya terjadi di Papua. Kelompok agama radikal juga menimbulkan ancaman bagi jurnalis untuk memberi informasi kepada publik. Banyak wartawan mengatakan bahwa mereka melakukan swasensor (self censorship) karena ancaman hukuman pidana penodaan agama dan Undang-Undang Informasi & Transaksi Elektronik. Catatan ini bukanlah sesuatu yang asing untuk kita yang belakangan ikut menyaksikan bagaimana media belakangan mengalami intimidasi dari kelompok tertentu.
Namun hal lain yang belakangan memberi nilai merah bagi perkembangan kebebasan pers di Indonesia adalah kegagalan media untuk memberikan informasi yang benar dan tidak berpihak. Beberapa outlet media arus utama yang hanya dikuasai 12 kelompok besar kehilangan kredibilitas karena harus mengikuti keinginan penguasanya untuk membela isu dan tokoh tertentu. Sementara itu media abal-abal yang menyebarkan berita bohong dan kebencian juga ikut menjamur. Bahkan bagian yang terburuk adalah ketika publik, yang dalam sistem demokrasi seharusnya menjadi penerima manfaat dan pengawas kebebasan pers, tidak lagi menjadi konsumen yang cerdas, tetapi justru meyakini kebohongan sebagai kebenaran, ujaran kebencian sebagai kewajaran, dan malah ikut-ikutan menyebarkannya. Untunglah belakangan semakin banyak inisiatif dari pelaku media dan masyarakat yang aktif mempromosikan anti hoax.
Peringkat Kebebasan Pers Negara Muslim
Benarkah radikalisme agama ikut mengancam kebebasan pers? Berikut peringkat negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar dalam Indeks Kebebasan Pers Internasional versi Reporters Sans Frontières.
Foto: picture-alliance/dpa
Kekuasaan Musuh Kebebasan
Kekhawatiran bahwa gerakan radikal Islam membatasi kebebasan pers hampir sulit dibuktikan. Kebanyakan penindasan yang terjadi terhadap awak media di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim dilakukan oleh pemerintah, bukan ormas atau masyarakat, kecuali di kawasan konflik seperti Irak, Suriah atau Libya. Berikut peringkat kebebasan pers sejumlah negara muslim terbesar.
Foto: picture-alliance/ZB/J. Büttner
#120 Afghanistan
Wartawan di Afghanistan memiliki banyak musuh, selain Taliban yang gemar membidik awak media sebagai sasaran serangan, pemerintah daerah dan aparat keamanan juga sering dilaporkan menggunakan tindak kekerasan terhadap jurnalis, tulis RSF. Namun begitu posisi Afghanistan tetap lebih baik ketimbang banyak negara berpenduduk mayoritas muslim lain.
Foto: Getty Images/AFP/M. Hossaini
#124 Indonesia
Intimidasi dan tindak kekerasan terhadap wartawan dilaporkan terjadi selama masa kampanye Pilkada DKI Jakarta. Terutama kelompok radikal seperti FPI dan GNPF-MUI tercatat terlibat dalam aksi pemukulan atau penangkapan terhadap awak media. Namun begitu kaum radikal bukan dianggap ancaman terbesar kebebasan pers di Indonesia, melainkan militer dan polisi yang aktif mengawasi pemberitaan di Papua.
Foto: Getty Images/AFP/W. Kurniawan
#139 Pakistan
Wartawan di Pakistan termasuk yang paling bebas di Asia, tapi kerap menjadi sasaran serangan kelompok radikal, organisasi Islam dan dinas intelijen, tulis Reporters sans frontières. Sejak 1990 sudah sebanyak 2,297 awak media yang tewas. April silam, Mashal Khan, seorang wartawan mahasiswa tewas dianiaya rekan sekampus lantaran dianggap menistakan agama.
Foto: Getty Images/AFP/F. Naeem
#144 Malaysia
Undang-undang Percetakan dan Penerbitan Malaysia memaksa media mengajukan perpanjangan izin terbit setiap tahun kepada pemerintah. Regulasi tersebut digunakan oleh pemerintahan Najib Razak untuk membungkam media yang kritis terhadap pemerintah dan aktif melaporkan kasus dugaan korupsi yang menjerat dirinya. Selain itu UU Anti Penghasutan juga dianggap ancaman karena sering disalahgunakan.
Foto: Getty Images/R. Roslan
#155 Turki
Perang melawan media independen yang dilancarkan Presiden Recep Tayyip Erdogan pasca kudeta yang gagal 2016 silam menempatkan 231 wartawan di balik jeruji besi. Sejak itu sebanyak 16 stasiun televisi, 23 stasiun radio, 45 koran, 15 majalah dan 29 penerbit dipaksa tutup.
Foto: picture-alliance/dpa/U. Baumgarten
#161 Mesir
Enam tahun setelah Revolusi Januari, situasi kebebasan pers di Mesir memasuki masa-masa paling gelap. Setidaknya sepuluh jurnalis terbunuh sejak 2011 tanpa penyelidikan profesional oleh kepolisian. Saat ini paling sedikit 26 wartawan dan awak media ditahan di penjara. Jendral Sisi terutama memburu wartawan yang dicurigai mendukung atau bersimpati terhadap kelompok Ikhwanul Muslimin.
Foto: Reuters/A.A.Dalsh
#165 Iran
Adalah hal ironis bahwa kebebasan pers menjadi salah satu tuntutan revolusi yang menanggalkan kekuasaan Shah Iran pada 1979. Namun janji itu hingga kini tidak ditepati. Iran masih menjadi kuburan dan penjara terbesar bagi awak media, tulis Reporters Sans Frontières. Saat ini tercatat 29 wartawan dipenjara dan belasan media independen diberangus oleh pemerintah.
Foto: MEHR
#168 Arab Saudi
Berada di peringkat 168 dari 180 negara, Arab Saudi nyaris tidak mengenal pers bebas. Internet adalah satu-satunya ranah media yang masih menikmati sejumput kebebasan. Namun ancaman pidana tetap mengintai blogger yang nekat menyuarakan kritiknya, seperti kasus yang menimpa Raif Badawi. Ia dihukum 10 tahun penjara dan 10.000 pecutan lantaran dianggap melecehkan Islam. (rzn/yf - sumber: RSF)
Foto: imago/Mauersberger
9 foto1 | 9
Semoga Lebih Dari Sekedar Perayaan
Sebagai tempat utama perayaan perhelatan utama WPFD 2017 di beberapa sudut kota Jakarta digelar spanduk-spanduk promosi yang bertema "Pikiran Kritis untuk Waktu yang Kritis: Peran media dalam memajukan masyarakat yang damai, adil dan inklusif. " Belakangan panita penyelenggara seperti Kementerian Komunikasi dan Informasi juga mengadakan sosialisasi dan temu pers agar rangkaian kegiatan yang akan berlangsung dari 1-4 Mei dan dihadiri lebih dari 1000 delegasi dari berbagai negara ini dapat berjalan lancar dan didukung oleh semua pihak.
Tentu kita patut bangga jika Indonesia diberi kesempatan untuk menjadi tuan rumah. Memang jika dibandingkan dengan sebelum reformasi sudah ada kemajuan terkait kebebasan pers yang dapat dicapai negeri ini. Namun hendaknya pemerintah dan pers Indonesia tidak hanya memberitakan kemajuan, tetapi juga menggarisbawahi ancaman dan tantangan terhadap kebebasan pers di dalam negeri; seperti peraturan yang dapat mengkriminalkan jurnalis, perlawanan fisik terhadap jurnalis, konglomerasi kepemilikan media, serta penyebaran berita bohong dan kebencian oleh media dan publik. Organisasi Freedom House pun mencatat bahwa pada 2016 secara global tingkat kebebasan pers turun ke titik terendah dalam 13 tahun terakhir, dan ancaman bahkan dialami oleh wartawan dan media di negara-negara demokrasi besar. Ini berarti Indonesia tidak sendiri, bersama dengan negara demokrasi lainnya Indonesia masih harus terus melakukan perbaikan.
Mencemooh PM Najib Razak Lewat Karikatur
Kartunis Malaysia, Zunar, diancam 43 tahun penjara lantaran menggugat budaya korupsi di negerinya. Ironisnya ia dikenakan UU Penghasutan 1948 yang ditetapkan pemerintahan kolonial Inggris
Foto: Getty Images/AFP/M. Rasfan
Bahasa Kebebasan
Tidak jarang Zunar berurusan dengan pemerintah Malaysia. Berulangkali ia dibui lantaran karikaturnya dinilai terlalu kritis terhadap negara. Namun ia bersikukuh. "Mereka bisa merantai tangan saya, kaki saya, leher atau seluruh tubuh saya," ujarnya, "tapi saya tidak akan berhenti menggambar."
Foto: Zunar
Perdana Menteri Perampok
Adalah Perdana Menteri Najib Razak yang paling sering muncul dalam karya Zunar. Ia belum lama ini diduga terlibat dalam skandal korupsi sebesar 2,6 miliar Dollar AS dari dana investasi Malaysia 1MDB. Sekitar 700 juta Dollar AS diantaranya mendarat di rekening pribadi Razak. Sang perdana menteri berdalih uang itu merupakan "dana sumbangan kampanye" dari Arab Saudi.
Foto: Zunar
Hartawan Berdosa
Zunar menilai Razak adalah kelptokrat paling tamak sedunia. Ia bahkan menggeser Presiden Zimbabwe, Robert Mugabe, di tempat kedua. Resminya harta Mugabe diklaim sebesar 10 juta Dollar AS. Tapi sang diktatur punya seribu cara menilap uang negara tanpa menyisakan bukti hukum.
Foto: Zunar
Keadilan Terarah
Perdana Menteri Razak tidak perlu mengkhawatirkan langkah hukum terkait dugaan keterlibatannya dalam kasus korupsi 1MDB, keluh Zunar. "Kami punya seorang menteri kehakiman, mahkamah agung dan gedung pengadilan, tapi kami tidak punya keadilan," ujarnya.
Foto: Zunar
Kebebasan di Balik Jeruji
Buat menghadapi suara-suara kritis pemerintah Malaysia menggunakan Undang-undang dari era penjajahan Inggris. "Sedition Act" alias UU anti Penghasutan melarang perdebatan umum yang memiliki tendensi "subversif." Aturan tersebut kini sering digunakan buat membungkam wartawan, seniman dan penulis seperti Zunar.
Foto: Zunar
Demi Kepentingan Bisnis
Zunar juga mengritik Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Buatnya perjanjian perdagangan bebas dan kemitraan yang baik dengan Malaysia lebih penting ketimbang perlindungan HAM dan situasi mengenaskan tahanan politik di negeri tersebut.
Foto: Zunar
Kritik Bergambar
Karya karikatur Zunar saat ini sudah berjumlah ribuan. Sejak dua dekade ia berjuang melawan korupsi dengan pensil dan kertas. Kendati terancam hukuman ia tetap bersikukuh menggambar karikatur yang bersifat kritis. Zunar bahkan menyediakan gambar karikaturnya secara gratis di situs pribadinya, www.zunar.my
Foto: Getty Images/AFP/M. Rasfan
7 foto1 | 7
Semoga perayaan WPFD 2017 berjalan lancar dan aman, serta dapat menjadi momentum yang mencerahkan, bukan hanya bagi pemerintah dan pelaku media, tetapi juga bagi kita para konsumen. Karena sistem demokrasi hanya dapat berjalan dengan baik jika pilar keempatnya, yakni media berfungsi sebagai watchdog, baik terhadap pemerintah maupun kepentingan-kepentingan lainnya. Namun karena watchdog tersebut dapat dimanfaatkan oleh pihak tak bertanggung jawab untuk menjual sensasi, kebohongan, dan ujaran kebencian, maka hanya kecerdasan konsumenlah yang dapat menjadi jurus ampuh untuk melawannya, yang bodoh malah menjadi agen hoax. Selamat merayakan WPFD 2017!
Penulis:
Verlyana (Veve) Hitipeuw adalah alumni program master International Media Studies di DW Akademie yang mendapatkan beasiswa penuh dari pemerintah Jerman selama dua tahun. Ia juga sempat bekerja untuk Global Media Forum, konferensi internasional tahunan di Bonn. Sekarang ia bekerja di Jakarta sebagai Senior Consultant di Kiroyan Partners. Tulisan ini adalah pendapat pribadi.
@V2_Veve
Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Wartawan dan Kebebasan Pers
Sebuah studi mengungkap, situasi yang dihadapi wartawan masih buruk. Berikut negara-negara yang dianggap berbahaya buat awak pers.
Foto: AFP/Getty Images/P. Baz
"Setengah Bebas" di Indonesia
Di Asia Tenggara, cuma Filipina dan Indonesia saja yang mencatat perkembangan positif dan mendapat status "setengah bebas" dalam kebebasan pers. Namun begitu Indonesia tetap mendapat sorotan lantaran besarnya pengaruh politik terhadap media, serangan dan ancaman terhadap aktivis dan jurnalis di daerah, serta persekusi terhadap minoritas yang dilakukan oleh awak media sendiri.
Foto: picture-alliance/ dpa
Kebebasan Semu di Turki dan Ukraina
Pemberitaan berimbang, keamanan buat wartawan dan minimnya pengaruh negara atas media: Menurut Freedom House, tahun 2013 silam cuma satu dari enam manusia di dunia yang dapat hidup dalam situasi semacam itu. Angka tersebut adalah yang terendah sejak 1986. Di antara negara yang dianggap "tidak bebas" antara lain Turki dan Ukraina.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Serangan Terhadap Kuli Tinta
Turki mencatat serangkain serangan terhadap wartawan. Gökhan Biçici (Gambar) misalnya ditangkap saat protes di lapangan Gezi. Menurut Komiter Perlindungan Jurnalis (CPJ), awal Desember lalu Turki memenjarakan 40 wartawan - jumlah tertinggi di seluruh dunia. Ancaman terbesar buat kebebasan pers adalah pengambil-alihan media-media nasional oleh perusahaan swasta yang dekat dengan pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images
Celaka Mengintai buat Suara Kritis
Serangan terhadap jurnalis juga terjadi di Ukraina, terutama selama aksi protes di lapangan Maidan dan okupasi militan pro Rusia di Krimea. Salah satu korban adalah Tetiana Chornovol. Jurnalis perempuan yang kerap memberitakan gaya hidup mewah bekas Presiden Viktor Yanukovich itu dipukuli ketika sedang berkendara di jalan raya. Ia meyakini, Yanukovich adalah dalang di balik serangan tersebut.
Foto: Genya Savilov/AFP/Getty Images
"Berhentilah Berbohong!"
Situasi kritis juga dijumpai di Cina dan Rusia. Kedua pemerintah berupaya mempengaruhi pemberitaan media dan meracik undang-undang buat memberangus suara kritis di dunia maya. Rusia misalnya membredel kantor berita RIA Novosti dan menjadikannya media pemerintah. Sebagian kecil penduduk Rusia pun turun ke jalan, mengusung spanduk bertuliskan, "Berhentilah Berbohong!"
Foto: picture-alliance/dpa
Mata-mata dari Washington
Buat Amerika Serikat, mereka adalah negara dengan kebebasan pers. Namun kebijakan informasi Washington belakangan mulai menuai kecaman. Selain merahasiakan informasi resmi dengan alasan keamanan nasional, pemerintah AS juga kerap memaksa jurnalis membeberkan nara sumber, tulis sebuah studi. Selain itu dinas rahasia dalam negeri AS juga kedapatan menguping pembicaraan telepon seorang jurnalis.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Terseret Kembali ke Era Mubarak
Setelah kejatuhan Presiden Mursi yang dianggap sebagai musuh kebebasan pers, situasi di Mesir pasca kudeta militer 2013 lalu terus memanas. Belasan jurnalis ditangkap, lima meninggal dunia "di tangan militer," tulis Freedom House. Media-media yang kebanyakan tunduk pada rejim militer Kairo membuat pemberitaan berimbang menjadi barang langka di Mesir.
Foto: AFP/Getty Images
Situasi di Mali Membaik
Mali mencatat perkembangan positif. Setelah pemilu kepresidenan dan operasi militer yang sukses menghalau pemberontak Islamis dari sebagian besar wilayah negara, banyak media yang tadinya dibredel kembali beroperasi. Kendati begitu perkembangan baru ini diwarnai oleh pembunuhan dua jurnalis asal Perancis, November 2913 silam.
Foto: AFP/Getty Images
Tren Positif di Kirgistan dan Nepal
Beberapa negara lain yang mengalami perbaikan dalam kebebasan pers adalah Kirgistan, di mana 2013 lalu tercatat lebih sedikit serangan terhadap jurnalis. Nepal yang juga berhasil mengurangi pengaruh politik terhadap media, tetap mencatat serangan dan ancaman terhadap awak pers. Loncatan terbesar dialami oleh Israel yang kini mendapat predikat "bebas" oleh Freedom House.
Foto: AFP/Getty Images
Terburuk di Asia Tengah
Freedom House menggelar studi di 197 negara. Setelah melalui proses penilaian, lembaga bentukan bekas ibu negara AS Eleanor Roosevelt itu memberikan status "bebas", "setengah bebas" dan "tidak bebas" buat masing-masing negara. Peringkat paling bawah didiami oleh Turkmenistan, Uzbekistan dan Belarusia. Sementara peringkat terbaik dimiliki oleh Belanda, Norwegia dan Swedia.